Langit Neo-Kyoto malam itu selalu sama: kabut asam bercampur polusi elektronik yang membuat bulan tampak seperti koin usang. Hujan buatan yang beraroma logam membasahi jalanan, memantulkan cahaya neon raksasa dari papan reklame yang tak pernah padam. Di tengah kekacauan visual itu, sosoknya berdiri tegak di atap gedung tertinggi, siluetnya menentang badai.
Kaelen. Bukan nama asli, tapi nama yang ia pilih ketika meninggalkan masa lalunya. Kaelen mengenakan trench coat panjang yang terbuat dari serat karbon, menutupi armor tipis yang terpasang di tubuhnya. Rambut peraknya basah kuyup, menempel di dahi, dan matanya memancarkan kilatan biru neon yang aneh. Itu adalah mata buatan, hadiah dari seorang ahli bedah siber yang terlalu murah hati. Di punggungnya, terikat sebuah pedang besar. Bukan pedang biasa, melainkan Katana Jiwa, pedang legendaris yang konon bisa memotong apa saja, baik materi maupun energi.
WORLD OF CYBERPUNK: NEO-KYOTO
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FA Moghago, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27: Kelemahan dan Latihan Mandiri
Kaelen merasa marah. Ia tahu, ia harus melakukan sesuatu. Ia harus menggunakan kekuatan yang ia rasakan di dalam Katana Jiwa-nya. Ia memejamkan mata, dan ia memfokuskan semua energinya ke dalam pedang itu.
Katana Jiwa bersinar, dan cahaya keemasan muncul dari pedang itu. Kaelen membuka matanya, dan ia menyerang instruktur itu dengan kecepatan yang luar biasa. Instruktur itu terkejut, namun ia berhasil menangkis serangan Kaelen.
"Menarik," bisik instruktur itu. "Kau bisa mengendalikan auramu, namun tidak stabil. Itulah kelemahanmu."
Pertarungan berlanjut. Kaelen, dengan kekuatannya yang tidak stabil, kesulitan untuk melawan instruktur itu. Ia jatuh berulang kali, dan ia terluka. Namun, ia tidak menyerah. Ia tahu, ia harus menang.
Di saat yang paling kritis, Kaelen ingat mimpi buruknya. Ia ingat cahaya keemasan, ia ingat pedang kuno, dan ia ingat pertempuran. Ia tahu, ia harus mengendalikan kekuatannya.
Ia bangkit, dan ia memfokuskan semua energinya. Katana Jiwa bersinar, dan kali ini, cahaya itu stabil. Kaelen, dengan kekuatannya yang kini stabil, menyerang instruktur itu dengan kecepatan dan kekuatan yang luar biasa. Instruktur itu terkejut, namun ia berhasil menangkis serangan Kaelen.
"Kau semakin baik," kata instruktur itu. "Tapi kau masih memiliki jalan yang panjang."
Instruktur itu, dengan satu ayunan pedangnya, berhasil mengalahkan Kaelen. Kaelen jatuh ke tanah, tak sadarkan diri.
Ketika ia terbangun, ia berada di sebuah ruangan medis. Patra dan Mita berada di sampingnya. "Kau baik-baik saja?" tanya Patra, suaranya khawatir.
Kaelen mengangguk. "Aku baik-baik saja."
"Instruktur itu," kata Mita. "Ia adalah salah satu dari Hhiga. Ia adalah seorang instruktur kelas 2.3 yang menyamar untuk menguji kemampuanmu. Ia ingin melihat apakah kau layak."
Kaelen terkejut. Ia tidak menyangka akan diuji oleh salah satu Hhiga.
"Ia mengatakan," lanjut Mita, "kau memiliki potensi, namun kau harus belajar mengendalikan kekuatanmu. Ia ingin kau lebih fokus dalam latihan."
Kaelen mengangguk. Ia tahu, ia memiliki jalan yang panjang untuk ditempuh. Namun, ia tidak sendirian. Ia memiliki teman, dan ia memiliki tujuan. Ia tahu, ia akan menjadi lebih kuat.
Setelah pertarungan singkat namun intens dengan instruktur yang ternyata adalah salah satu Hhiga, Kaelen menyadari kelemahannya yang paling mendasar: ia tidak bisa mengendalikan kekuatannya. Kekuatan Katana Jiwa muncul secara acak, terutama saat ia berada di bawah tekanan ekstrem atau dalam keadaan emosional yang kuat. Kekuatan itu tidak dapat diandalkan, membuatnya rentan.
Kaelen kembali ke kamarnya di asrama, merenung di tengah cahaya hologram yang redup. Ia mengeluarkan Katana Jiwa dan menatap pantulan dirinya di bilahnya yang berkilauan. Ia bukan hanya ingin mengalahkan orang lain, tetapi juga menguasai dirinya sendiri. Ia harus bisa memanggil kekuatan pedang itu kapan saja ia butuh, tidak hanya saat ia berada di ambang kekalahan.
Keesokan harinya, ia mulai mengubah rutinitas latihannya. Alih-alih hanya berduel dengan Patra dan Mita, ia menghabiskan waktu sendirian. Ia duduk di posisi meditasi, berusaha menenangkan pikirannya dan menyelaraskan energi di dalam tubuhnya dengan energi yang ia rasakan di dalam pedang. Ia mencoba memanggil kekuatan Katana Jiwa tanpa harus berada dalam keadaan emosional. Awalnya, ia gagal. Pedang itu tetap diam, seolah menolak untuk bekerja sama. Namun, ia tidak menyerah.
Patra dan Mita, yang mengamati perubahan pada Kaelen, mendukungnya. Mereka tidak mengganggunya saat ia bermeditasi, dan mereka terus mendorongnya untuk tidak menyerah. "Kau bisa melakukannya, Kaelen," kata Mita suatu hari. "Aku tahu kau bisa."
Hari-hari berlalu menjadi minggu, dan minggu menjadi bulan. Ujian kenaikan kelas semakin dekat. Kaelen terus berlatih, dan ia mulai merasakan perubahan. Kekuatan Katana Jiwa tidak lagi terasa seperti sebuah entitas yang terpisah, melainkan sebuah perpanjangan dari dirinya sendiri. Ia mulai bisa mengendalikan aura emas dari pedang itu, meskipun hanya dalam waktu singkat.
Ujian kenaikan kelas tiba. Semua murid berkumpul di aula besar, di mana para instruktur dan Kepala Sekolah berdiri di atas panggung. Kepala Sekolah, dengan tatapan tajamnya, mengumumkan, "Ujian ini akan menentukan siapa di antara kalian yang layak naik ke kelas berikutnya. Kalian akan diuji dengan tiga tantangan: Pelepasan Aura, Pertarungan Kelompok, dan Misi Keluar."
Tantangan pertama, Pelepasan Aura, dimulai. Semua murid, satu per satu, berdiri di atas panggung, mencoba melepaskan Kfors, aura yang mereka miliki. Beberapa berhasil, beberapa gagal. Kaelen, dengan hati berdebar, berdiri di atas panggung. Ia memejamkan mata, dan ia memfokuskan semua energinya. Katana Jiwa di tangannya mulai bersinar, dan ia berhasil melepaskan aura emas dari pedang itu, yang menyebar ke seluruh aula. Semua orang, termasuk Kepala Sekolah, terkejut.
Kaelen berhasil melewati ujian pertama. Namun, ia tahu, ini hanyalah awal. Ujian kedua dan ketiga, Pertarungan Kelompok dan Misi Keluar, akan jauh lebih sulit. Ia harus bekerja sama dengan teman-temannya, dan ia harus menghadapi tantangan yang lebih besar di luar sekolah.
Di ruang observasi khusus, Kepala Sekolah Qpo Xeas menatap layar monitor dengan tatapan tajam. Di sampingnya, wakil kepala sekolah yang bertanggung jawab atas ujian, Takeda, terlihat terkejut. Takeda adalah seorang pria paruh baya yang tenang, namun kini ia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
"Aura emas itu..." gumam Takeda, "Itu adalah aura yang sama yang kita lihat saat dia pertama kali masuk. Tapi sekarang, ia bisa mengendalikannya. Setidaknya untuk beberapa saat."
Kepala Sekolah mengangguk. "Itulah yang membuatku tertarik. Anak itu memiliki potensi besar, tapi kekuatannya tidak stabil. Dia seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja." Ia tersenyum tipis. "Ujian ini akan menjadi menarik. Aku merasa dia akan menjadi kunci dari takdir yang akan datang."
Setelah ujian pertama selesai, semua murid kembali berkumpul di aula besar. Instruktur yang bertanggung jawab mengumumkan ujian kedua. "Selamat untuk yang telah berhasil. Sekarang, untuk ujian kedua: Pertarungan Kelompok! Kalian harus mencari rekan tim kalian sendiri, satu tim terdiri dari lima orang. Ujian ini akan diadakan besok."
Ruangan itu langsung dipenuhi keramaian. Para murid mulai mencari teman dan membentuk tim. Kaelen, Patra, dan Mita langsung berkumpul. Mereka tahu, mereka adalah tim. Tapi mereka masih butuh dua orang lagi.
Patra melihat sekeliling. "Siapa yang akan kita ajak?"
Mita menunjuk ke arah pemuda dengan dua pedang Blade. "Bagaimana dengan dia? Dia terlihat kuat."
Kaelen ragu. Pemuda itu terlihat dingin dan tidak ramah. Tapi Mita benar, ia terlihat kuat. Kaelen berjalan menghampirinya.
"Hei," sapa Kaelen. "Namaku Kaelen. Ini Mita dan Patra. Kami ingin mengajakmu bergabung dengan tim kami."
Pemuda itu, yang bernama Kenzo, menatap Kaelen dengan tatapan dingin. "Kenapa aku harus bergabung denganmu? Aku tidak butuh tim."
Keren Thor Aku ikutin novelnya😉😉😉