NovelToon NovelToon
Kau Rebut Calon Suami Ibuku, Kurebut Suamimu

Kau Rebut Calon Suami Ibuku, Kurebut Suamimu

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang / Beda Usia / Pelakor / Identitas Tersembunyi
Popularitas:5.4k
Nilai: 5
Nama Author: ila akbar

‎Menjalin hubungan dengan pria lajang ❌
‎Menjalin hubungan dengan duda ❌
‎Menjalin hubungan dengan suami orang ✅
‎Mawar tak peduli. Bumi mungkin adalah suami dari tantenya, tapi bagi Mawar, pria itu adalah milik ibunya—calon ayah tirinya jika saja pernikahan itu dulu terjadi. Hak yang telah dirampas. Dan ia berjanji akan mengambilnya kembali, meskipun harus... bermain api.


Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ila akbar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22

Beberapa hari kemudian...

Udara pagi yang sejuk menyelimuti rumah megah milik Bumi dan Lusi. Embun masih melekat di dedaunan, menyisakan kesejukan yang menenangkan. Mawar, yang telah beberapa hari bekerja di sana, mulai terbiasa dengan rutinitasnya. Dengan tenang, ia menyiram tanaman di halaman depan, menikmati momen-momen damai yang jarang ia rasakan.

Namun, ketenangan itu terusik ketika suara ketukan terdengar di pintu gerbang. Mawar menoleh dan melihat seorang perempuan paruh baya baru saja turun dari mobil. Karena satpam rumah sedang berada di belakang, Mawar bergegas membukakan pintu.

Begitu gerbang terbuka, napasnya tercekat.

Ibu Mutia.

Oma-nya.

Sekelebat perasaan menyeruak dalam dadanya. Mata Mawar berbinar, merasakan kerinduan yang mendalam.

Setelah seminggu sejak pertemuan pertama mereka, ini adalah kali pertama Ibu Mutia datang berkunjung ke rumah ini, dan mereka kembali bertemu.

Namun, Mawar menahan diri. Ia tak boleh menunjukkan apa pun. Ia hanya bisa berdiri mematung, menekan gejolak emosinya yang meluap-luap di dada.

“Oma...” bisiknya dalam hati, nyaris tanpa suara.

Di sisi lain, Ibu Mutia juga terdiam. Sorot matanya menelisik wajah Mawar dengan seksama, seolah mencari sesuatu yang tak kasat mata.

Tanpa sadar, tangan tuanya terangkat. Jemarinya yang hangat menyentuh pipi Mawar dengan lembut, membelai kulitnya perlahan.

Mawar terpejam. Untuk sesaat, ia membiarkan dirinya larut dalam sentuhan itu—sentuhan yang seharusnya ia dapatkan sejak dulu.

Namun, kebahagiaan itu hanya berlangsung sekejap.

Ibu Mutia buru-buru menarik tangannya kembali, seolah tersadar dari sesuatu. Ia membuang napas kasar, wajahnya mendadak tegang. Ada sesuatu yang menggelitik hatinya, sesuatu yang tak bisa ia pahami.

Untuk mengalihkan pikirannya, ia menyerahkan kantong kecil berisi makanan kepada Mawar.

“Nak, tolong bawakan ini ke dalam,” katanya, suaranya sedikit bergetar.

Mawar menelan ludah, lalu mengangguk pelan. “Baik, Bu.”

Mereka berjalan menuju rumah, melangkah berdampingan dalam keheningan yang terasa begitu berat. Namun, di tengah perjalanan, Ibu Mutia akhirnya membuka suara.

“Bagaimana, Nak? Betah bekerja di sini?”

Mawar menoleh, tersenyum kecil—senyum yang ia paksakan agar terlihat tulus.

“Betah, Bu,” jawabnya dengan suara ringan.

Begitu mereka memasuki ruang makan, suara riang seorang gadis kecil langsung memenuhi ruangan.

“Oma!”

Dengan seragam sekolah lengkap yang sudah melekat di tubuhnya, Raya melompat dari kursinya dan berlari ke arah Mutia, memeluknya erat dengan mata berbinar penuh kegembiraan.

Ibu Mutia tertawa kecil, mengusap rambut gadis kecil itu penuh kasih. “Sayang, Oma bawakan bubur kesukaanmu.”

“Asyiiik! Terima kasih, Oma!” Raya bersorak kegirangan, semakin erat memeluk neneknya.

Di meja makan, Lusi dan Bumi tersenyum melihat kehangatan itu. Bumi masih mengenakan baju tidurnya, sementara Lusi sudah rapi, siap berangkat kerja.

Mereka tak menyadari bahwa ada sepasang mata yang menatap pemandangan itu dengan tatapan dingin.

Mawar.

Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, menahan gejolak emosi yang berputar-putar dalam dadanya.

“Seharusnya, aku juga mendapatkan kasih sayang itu. Seharusnya, aku yang berada di tengah kebahagiaan ini... bersama mereka.”

Saat itu juga, Ibu Mutia menoleh ke arah Mawar. “Nak, bisa tolong siapkan bubur ini untuk Raya?”

Mawar menarik napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. Dengan suara setenang mungkin, ia menjawab, “B-baik, Bu.”

Namun, sebelum Mawar sempat melangkah, Ibu Mutia menahannya.

“Oh iya, Nak, Ibu baru sadar kita belum sempat berkenalan waktu itu. Siapa namamu?”

Jantung Mawar berdegup kencang.

Ia menatap mata perempuan tua itu dalam-dalam, berharap... berharap ada sesuatu yang muncul di sana.

Sebuah ingatan.

Sebuah pengakuan.

Dengan suara yang nyaris bergetar, ia menjawab, “N-namaku... Mawar.”

Deg!

Dada Ibu Mutia seketika bergemuruh. Matanya melebar, napasnya tercekat.

“M-Mawar?”

Seketika, ingatan lama berkelebat di benaknya—kenangan yang telah ia kubur begitu dalam.

Empat belas tahun lalu...

Di depan rumah keluarga mereka, ia berlutut, memeluk dua gadis kecil dengan penuh kasih.

“Mawar, Anjani... jaga diri baik-baik, ya? Oma dan Opa akan pergi ke luar kota selama seminggu.”

Dua bocah itu mengangguk ceria, mata mereka berbinar polos.

“Oke, Oma, Opa! Hati-hati di jalan!”

Pak Wira, suaminya, hanya tersenyum dan mengusap kepala cucu-cucunya dengan penuh sayang.

Dan itu adalah terakhir kalinya ia melihat mereka.

Sekarang, di hadapannya berdiri seorang gadis yang membawa nama itu. Wajahnya berbeda, tapi... entah mengapa, ada sesuatu yang terasa begitu familiar.

Air mata menggenang di pelupuk matanya. Hatinya bergetar hebat.

Mawar tetap memasang wajah tenang, tapi di dalam dirinya, ia menunggu... menunggu reaksi berikutnya.

Dan akhirnya, Ibu Mutia berbisik, suaranya nyaris pecah.

“Cucu Oma... Mawar... Anjani...”

Tiba-tiba, suara bentakan Lusi memecah ketegangan.

“Ibu! Sudah! Jangan mengungkit itu lagi!”

Nada suaranya tajam, penuh ketegangan yang ditahan.

Mata Ibu Mutia berkilat, tapi ia menelan emosinya. Ia menghela napas berat, sementara Lusi menoleh ke arah Mawar dengan ekspresi dingin.

“Mawar, siapkan bubur itu sekarang.”

Mawar menunduk. Bukan karena patuh, tetapi untuk menyembunyikan kilatan tajam di matanya.

“Baik, Bu.”

Sementara itu, Bumi hanya bisa menghela napas panjang, mengurut pelipisnya yang tiba-tiba terasa berdenyut.

Di sisi lain, Raya yang tak mengerti apa-apa mengusap punggung neneknya dengan lembut. “Oma, jangan sedih, ya? Mama jangan marah-marah sama Omaaa...”

Ibu Mutia tersenyum samar, berusaha menyembunyikan kesedihan yang masih mengendap di hatinya.

Tak lama, mereka semua duduk untuk sarapan bersama.

Dari kejauhan, Mawar menatap pemandangan itu dengan sorot mata yang sulit diartikan.

Kepedihan.

Kekecewaan.

Dendam yang kembali membara.

Perlahan, jemarinya mengepal di sisi tubuhnya, begitu kuat hingga kukunya hampir menembus telapak tangannya. Namun, rasa sakit itu tak sebanding dengan gejolak emosi yang bergemuruh dalam dadanya.

Takdir telah membawanya kembali ke tengah keluarga ini.

Dan ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.

Dengan gerakan tenang, ia melangkah ke dapur, pura-pura menyeka lemari kayu yang mengilap. Namun, fokusnya bukan pada debu yang menempel, melainkan pada setiap kata yang keluar dari meja makan.

Di sana, Ibu Mutia masih terisak. Tangannya menggenggam sapu tangan putih, menggigil menahan kesedihan yang tak lagi bisa dibendung.

“Ibu… Ibu terus memikirkan mereka…” suaranya parau, nyaris tenggelam dalam kepedihan. “Resti, Mawar, Anjani… Di mana mereka sekarang? Bagaimana keadaan mereka? Apa mereka baik-baik saja?”

Mawar merasakan matanya memanas, tapi ia segera mengedip cepat, menolak membiarkan air matanya jatuh.

Namun, sebelum ada yang sempat menenangkan, suara Lusi kembali terdengar, tajam seperti pisau yang mengiris tanpa ampun.

“Sudah, Bu! Jangan memikirkan mereka lagi!”

Hening seketika. Semua menoleh ke arah Lusi yang kini menatap ibunya dengan sorot tegas.

“Ini semua sudah menjadi pilihan mereka! Pilihan Mbak Resti yang pergi diam-diam membawa anak-anaknya!”

Deg!

Napas Mawar tercekat. Matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

“Apa…? Pilihan Ibu?”

Jantungnya berdegup kencang, nyaris menyakitkan. Kata-kata Lusi bergema di kepalanya, mengiris kesadarannya seperti belati.

1
Aqilah Azzahra
semangat kak
Ila Akbar 🇮🇩: ♥️♥️♥️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!