Sagara mengalami hilang ingatan setelah kecelakaan tragis, tidak ada kenangan Lania dalam pikirannya.
Lania merasa sedih, terlebih-lebih Sagara hanya mengingat sekertaris-nya yang tak lain adalah Adisty.
Peristiwa ini dimanfaatkan Adisty untuk menghasut Sagara agar menceraikan Lania.
Lantas, dapat kah Liana mempertahankan rumah tangganya?
Apakah ingatan Sagara akan kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megatron, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyusup
Malam merambat pelan di atas atap rumah Lania, menyisakan keheningan yang hanya dipecah oleh suara jarum jam di dinding yang berdetak ritmis. Di luar, angin malam menyelinap lewat celah-celah jendela, membawa hawa panas ibu kota. Lampu ruang tamu sengaja dibiarkan menyala redup, hanya cukup untuk menenangkan pikiran Lania yang masih saja sulit terlelap.
Dia duduk di ujung sofa, membungkus tubuhnya dengan selimut tipis sambil memandangi layar ponsel yang tak kunjung menampilkan balasan pesan dari Sagara. Wajahnya letih, tetapi matanya masih terjaga, seperti ada firasat yang membuatnya enggan memejamkan mata.
Hingga tiba-tiba—suara lirih menyusup indra pendengaran, seperti kunci yang diputar perlahan dari luar.
Lania langsung menegakkan tubuh. Suara itu terlalu nyata bila dianggap ilusi, terlalu familiar untuk bukan berasal dari pintu utama. Dia menahan napas, berusaha memastikan. Tak ada langkah kaki. Hening. Namun setelah menunggu beberapa saat, terdengar suara engsel pintu berdecit...
Pintu rumah yang seharusnya terkunci rapat, perlahan terbuka.
Lania melangkah pelan ke belakang sofa, tangannya meraba ponsel lalu meraih benda terdekat—sebuah pengharum ruangan yang cukup berat untuk dijadikan senjata darurat. Nafasnya memburu, tetapi dia berusaha tetap tenang. Bayangan seseorang mulai tampak di lorong masuk, samar dan tertahan, seakan-akan masih menunggu atau memeriksa sesuatu di ambang pintu.
Bayangan itu bergerak... masuk. Seseorang benar-benar menyelinap ke dalam rumah.
Langkahnya nyaris tak bersuara, menunjukkan bahwa orang itu tahu persis apa yang dilakukan. Mengenakan pakaian gelap, topi menutupi sebagian wajahnya, dan tangan yang terbungkus sarung lateks.
Lania menggigit bibir, menahan rasa panik. Dia tahu harus mengambil keputusan cepat, memilih tetap bersembunyi, melarikan diri ke kamar dan mengunci diri, atau mencoba diam-diam menghubungi seseorang. Jari-jarinya terlalu gemetar saat menyentuh layar ponsel. Dan sebelum sempat berpikir lebih jauh—
Orang itu berhenti. Menoleh ke arah ruang tengah. Ke arah tempat Lania berdiri dalam diam.
Mata mereka bertemu dalam sepersekian detik.
Dan malam pun berubah dari sunyi menjadi teror yang nyata.
Lania membeku. Jantungnya berdetak begitu keras hingga seolah memekakkan telinganya sendiri. Dalam hening yang menegang itu, waktu terasa melambat. Tubuhnya ingin lari, tetapi kakinya seakan tertambat ke lantai dingin yang kini tak lagi terasa akrab.
Orang itu tak bergerak. Dia hanya berdiri menatap Lania, seolah sedang menakar reaksi, menimbang langkah selanjutnya. Udara di antara mereka menjadi berat, menyesakkan, seperti ruangan sempit tanpa ventilasi.
Lania perlahan bergerak mundur, menyelip ke balik lemari sudut ruang, tempat cahaya tak terlalu menjangkau. Dia tahu, satu gerakan keliru saja bisa memancing tindakan dari penyusup itu. Nafasnya dipaksa perlahan, ditahan sejenak, lalu diembuskan tanpa suara.
Dari celah tipis antara furnitur, dia melihat sosok itu mulai menjelajah rumah. Langkahnya tenang, terlatih, setiap gerakannya minim bunyi. Orang itu tidak memeriksa meja, laci, tetapi justru melirik ke arah kamar tidur.
Ada sesuatu yang membuat orang itu berhenti, mungkin kehadiran Lania yang terlalu dini terungkap, atau memang hanya mencari sesuatu—dan bukan ingin mencuri.
Di persembunyian, Lania memperhatikan dengan cermat. Tangan masih menggenggam erat ponsel yang tadi disembunyikan di balik selimut, jari-jarinya bergerak perlahan untuk membuka layar. Sinar lembut yang muncul dari ponsel menarik perhatian penyusup itu.
Seketika, sosok asing itu berbalik. Gerakannya cepat, nyaris seperti kilatan.
Lania tak menunggu lagi. Dia melompat berdiri dan berlari ke arah dapur, tubuhnya menabrak kursi hingga terdengar suara berderak keras. Tanpa menoleh ke belakang, dia meraih pintu belakang—yang untungnya belum dikunci—dan melesat keluar ke pekarangan gelap.
Udara malam membalut kulitnya dengan dingin menusuk, tak sebanding dengan rasa takut yang menghantam dadanya. Dia terus berlari menuju rumah tetangga, langkahnya pincang karena terburu-buru.
Di belakangnya, suara pintu dibanting terdengar pelan—orang itu mengejarnya.
Rasa takut sekaligus kalut memerintah Lania agar tidak menoleh. Dia hanya tahu satu hal malam itu, rumahnya tak lagi aman. Dan seseorang telah melangkah terlalu jauh ke dalam hidupnya.
Lania menerobos pekarangan gelap dengan napas memburu, langkahnya tak lagi terarah. Pikiran kacau, tubuh gemetar, dan jantung berdetak kuat. Tanpa sadar, dia menyebrang jalan kecil di depan rumahnya—dan saat itu pula, cahaya terang dari lampu mobil memantul di matanya.
Suara klakson meraung keras, diikuti suara decit ban yang mengoyak keheningan malam.
Dalam sepersekian detik, tubuh Lania hampir terseret ke depan kap mobil yang melaju. Pengemudi itu menginjak rem dalam panik, membuat kendaraan terguncang keras. Lania terhuyung, jatuh berlutut di tengah jalan beraspal, wajahnya pucat dan penuh debu.
“Oh, Tuhan,” pekik Lania
Mobil berhenti hanya beberapa jengkal dari tubuhnya. Pintu sisi pengemudi terbuka cepat. Seorang pria—sekitar usia empat puluhan—melangkah keluar dengan panik, memeriksa Lania yang masih terguncang hebat. Cahaya dari lampu jalan memantulkan kilau ketakutan di wajahnya.
“Aduh, kalau nyebrang lihat kiri kanan, Mbak.”
Lania berusaha berdiri, tetapi lututnya lemas. Dia menunjuk ke arah rumahnya yang berada beberapa meter di belakang, lalu buru-buru membalik arah, takut kalau-kalau bayangan penyusup itu masih mengintainya dari kegelapan. Tubuhnya bersimbah keringat dingin, walau malam tak benar-benar panas.
“Maaf, maaf, bisa bantu saya. Saya butuh tumpangan.” Baru sekarang, Lania mencuri lihat ke belakang. “Saya mohon.”
Pengemudi itu menatapnya sesaat, kebingungan, lantas menangkap kesan urgensi dari wajah Lania yang pucat dan cemas. Dia segera membuka pintu belakang mobilnya. Tanpa pikir panjang, Lania masuk dan menutup pintu erat, tangannya menggenggam tepi jok seolah keselamatannya tergantung di sana.
“Gini ya Mbak, saya sebetulnya tidak bisa membantu, takut ada yang salah paham,” kata orang itu hati-hati, “Mbaknya kabur dari rumah?”
“Ada yang mengikuti saya,” ungkap Lania jujur.
Keterkejutan terlihat jelas di mata orang itu. “Apa sekarang Mbaknya minta di antar ke kantor polisi terdekat?”
“Tidak, tolong antar saya ke rumah mertua saya.”
“Di mana?” tanya orang itu.
Lania menengok ke luar kaca jendela, kegelapan di luar membuat ngeri. “Komplek sebelah.”
“Oh, oke.”
Mobil melaju kembali di jalan lengang, meninggalkan rumah yang kini terasa seperti sarang ancaman. Sepanjang perjalanan, Lania beberapa kali menoleh ke belakang, memastikan tak ada kendaraan membuntuti mereka.
Rasa lega belum sepenuhnya hadir dan lampu-lampu kompleks perumahan mertuanya mulai terlihat di kejauhan.
Untuk malam itu, satu-satunya tempat yang bisa dituju adalah rumah keluarga Sagara. Di sanalah satu-satunya rasa aman yang bisa disinggahi—sekaligus tempat untuk menyampaikan bahwa ada sesuatu yang jauh lebih serius tengah mengincarnya.
jujur selain hasutan nenek lampir, atau ingatan ttg Lania, smp saat ini keinginan sagara sendiri ga jelas
kamu dapat inspirasi dari mana jal
hai sayang. aku datang karena penasaran