Hannah, seorang perempuan yang tuli, bisu dan lumpuh. Ketika melihat perut Hannah terus membesar, Baharudin—ayahnya—ketakutan putrinya mengidap penyakit kanker. Ketika dibawa ke dokter, baru diketahui kalau dia sedang hamil.
Bagaimana bisa Hannah hamil? Karena dia belum menikah dan setiap hari tinggal di rumah.
Siapakah yang sudah menghamili Hannah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Suasana di depan supermarket yang biasanya ramai oleh pembeli kini berubah mencekam, sepi, dan tertutup garis polisi yang melintang kaku. Papan "TUTUP SEMENTARA" terpajang miring di pintu masuk. Para karyawan berdiri mematung, cemas dan bingung, menanti kepastian dari atasan. Di antara mereka, Arka dan Arman berdiri bersebelahan, namun batin mereka bergejolak dalam arah yang berlawanan.
Arman yang sedang marah dan kecewa mencoba mengambil tindakan, hendak menarik garis polisi untuk menerobos masuk. Namun, tangannya dihentikan oleh genggaman Arka yang kuat namun penuh ketenangan.
"Arman, jangan gegabah," bisik Arka pelan tapi tegas. Pandangannya menyorot tajam, memberi peringatan halus. "Sekarang ini, mereka cuma nunggu satu kesalahan kecil dari kita buat dijadikan bahan pembenaran. Kita harus tetap tenang."
Arman menatap kakaknya beberapa detik, lalu menurunkan tangannya perlahan, walau raut wajahnya masih menunjukkan amarah yang belum padam.
Sementara itu, tiga orang yang mengaku sebagai polisi berdiri agak terpisah. Sorot mata mereka liar, terus mengawasi sekitar seperti menilai ancaman yang bisa muncul kapan saja. Arka mendekati mereka, langkahnya mantap dan penuh percaya diri.
"Siapa yang sudah buat laporan, Pak?" tanya Arka langsung, tanpa basa-basi.
Salah satu dari mereka, pria bertubuh tambun dengan kumis tebal seperti seekor walrus, melangkah ke depan. Suaranya berat dan berlagak resmi, “Tentu saja ada warga yang melapor. Korbannya anak kecil tertabrak motor.”
Arka menyipitkan mata. “Apa keluarga korban yang menelepon?”
Pria tambun itu terdiam sejenak, lalu melirik rekan-rekannya. Salah satu dari mereka mengangguk tipis.
“Iya,” jawabnya singkat, berusaha terdengar meyakinkan.
"Hey, jangan—" Arman hendak menyela, namun langsung bungkam saat Arka melotot tajam ke arahnya. Tatapan itu cukup membuatnya sadar bahwa sekarang bukan waktunya untuk meledak lagi.
Arka dan Arman sama-sama tahu, kebohongan sedang dilontarkan di depan mereka. Hannah dan Pak Baharuddin tak mungkin melakukan pelaporan secara diam-diam. Mereka tahu pasti, sejak kejadian di rumah sakit, tak ada satu pun dari keluarga korban yang berbicara soal pelaporan ke pihak kepolisian.
“Kapan keluarga korban melapor? Karena sejak kejadian sampai barusan, kita bersama mereka di rumah sakit,” tanya Arka, suaranya kini terdengar lebih tajam.
Orang ketiga yang sedari tadi bungkam tampak gugup. Ia akhirnya bicara dengan suara bergetar, “A-da ke-rabat-nya yang me-lapor.”
Arka menyilangkan tangan di dada, pandangan mata tajam menembus wajah-wajah mereka. “Boleh minta tanda pengenal kalau kalian memang polisi?”
Permintaan itu seperti cambuk yang mencambuk rasa panik mereka. Wajah ketiganya mulai menegang. Gerakan mata mereka gelisah, saling melirik, seolah mencoba mencari jawaban di wajah satu sama lain. Namun, tak ada yang angkat bicara.
Keraguan itu cukup membuat Arman tersenyum sinis. “Kenapa? Apa kalian tidak punya?”
Suara bisik-bisik langsung pecah dari para karyawan yang menyaksikan dari kejauhan. Salah satu dari mereka berbisik dengan nada panik, “Mereka polisi gadungan!”
Melihat situasi yang semakin jelas, Arka langsung mengambil alih. “Arman, telepon Pak Kapolres Bambang, sekarang!” titahnya tajam dan berwibawa.
“Oke!” sahut Arman refleks. Tangannya cepat merogoh ponsel dari saku celana. Namun, di balik ekspresi tenangnya, jantungnya berdebar tak karuan. “Aku, kan, nggak punya nomor Kapolres. Nama lengkapnya aja nggak tahu. Jangan-jangan Arka cuma bluffing? Atau aku yang harus pura-pura?” batin Arka.
Walau dilanda kebingungan, Arman memainkan perannya. Dia membuka kontak terakhir dan menekan nama "Karin" — satu-satunya yang tercatat paling atas.
Dia meletakkan ponsel di telinga dan bicara dengan suara mantap. “Halo, Pak Bambang, ini aku Arman. Mau melaporkan, saat ini di supermarket ada tiga polisi gadungan. Harap segera datang ke sini! Iya, akan saya tahan dulu mereka, Pak.”
Setelah itu, dia menutup panggilan dan kembali menyelipkan ponsel ke sakunya, seolah percakapan barusan benar-benar terjadi.
Sementara itu, ketiga pria yang mengaku polisi mulai gelisah. Tangan mereka bergetar, dan langkah kaki mundur perlahan. Tatapan orang-orang di sekitar mulai berubah dari curiga menjadi beringas.
"Kayaknya kalian akan kena pasal berlapis. Laporan palsu, pemalsuan identitas karena sudah menyamar jadi polisi. Belum lagi aku akan ikut menuntut kalian karena sudah membuat kegaduhan dan merugikan tempat usahaku," ucap Arka dengan nada tajam, menyeringai. Sorot matanya seperti pisau yang mengiris kepercayaan para penyamar itu.
Arman menyambung dengan langkah santai tapi penuh tekanan. "Jangan kalian kira kami tidak kenal orang-orang penting di pemerintahan," katanya dengan angkuh. Suaranya tenang, tapi mengandung ancaman yang jelas. "Bersiaplah membusuk di penjara. Kami punya pengacara hebat dan backing-an kuat."
Para karyawan supermarket yang sejak tadi menyaksikan adegan itu mulai saling bisik-bisik, kagum dengan keberanian dua bos mereka. Siapa sangka, dua pria sederhana yang hampir tiap hari mereka lihat di kasir atau gudang, ternyata punya koneksi yang luar biasa.
Tiga polisi gadungan yang tadinya berlagak garang, kini mendadak ciut. Mereka jatuh terduduk di lantai, lutut gemetar dan wajah pucat pasi. "Ampun! Ampun! Jangan laporkan kami ke polisi," pinta mereka dengan suara bergetar. Tak ada sisa keberanian di mata mereka, hanya ketakutan yang menguasai.
Arka menatap tajam. "Katakan! Siapa yang menyuruh kalian datang ke sini dan membuat kekacauan?" Suaranya dingin, tapi tegas. Napasnya berat menahan amarah.
Ketiganya saling melirik, tampak ragu dan berniat tutup mulut.
Arman maju satu langkah, lalu mencengkeram kerah salah satu dari mereka—yang masih muda dan paling banyak bicara. "Katakan!" desisnya, penuh tekanan.
"Kita… tidak disuruh siapa-siapa. Hanya memanfaatkan kejadian tadi buat cari uang," sahut polisi buncit sambil menunduk, keringat dingin membasahi pelipisnya.
"I-iya… k-kita ha-hanya me-ma-… manfaat-kan ke-a-daan," tambah polisi yang bicara gagap, suaranya nyaris tak terdengar.
Arman mengepalkan rahang. "Kalian pikir kami bodoh?! Aku yakin ada yang menyuruh kalian!" Tangannya mencengkeram lebih keras hingga pria itu meringis kesakitan.
Arka memilih cara yang lebih tenang tapi tak kalah efektif. Ia merampas ponsel dari tangan pria buncit itu. Jari-jarinya cekatan membuka aplikasi pesan dan daftar panggilan. Di layar, sebuah chat muncul di paling atas, memperlihatkan tangkapan layar bukti transfer sejumlah uang.
"Haris Hermanto," gumam Arka, bibirnya menyunggingkan senyum miring. "Siapa dia? Tidak usah dijawab, aku bisa mencarinya sendiri."
Ketiga penyamar itu terdiam. Wajah mereka berubah panik, jelas nama itu bukan nama asing bagi mereka.
Sebelum salah satu dari mereka sempat memberi penjelasan, tiba-tiba suara sirene polisi terdengar dari kejauhan. Beberapa detik kemudian, sebuah mobil polisi berhenti di depan supermarket.
Arman terkejut setengah mati. Tadi dia hanya berpura-pura menelepon polisi untuk menggertak—tapi sekarang polisi benaran datang.
“Bagaimana bisa?” batinnya, matanya membulat.
Sementara itu, Arka melirik ke arah Arman dan bergumam dalam hati, “Ternyata dia beneran panggil polisi. Kayaknya urusan ini bakal makin panjang.”
Dua polisi turun dari mobil dengan sikap tegas. "Kami dapat laporan ada polisi gadungan di sini. Apa mereka bertiga?" tanya salah satu petugas, tubuhnya tegap dan raut wajahnya penuh wibawa.
"Benar, Pak," jawab Arman cepat. Ia langsung memanfaatkan situasi. "Tolong bawa mereka, Pak. Mereka berusaha memeras dan mencemarkan nama baik."
Tanpa banyak bicara, ketiga polisi gadungan itu langsung diborgol dan digiring masuk ke mobil. Tak ada perlawanan. Sorot mata mereka penuh penyesalan.
"Berhati-hatilah, sekarang ini banyak penipuan dengan modus menyamar sebagai aparat keamanan," kata salah satu polisi asli sambil menatap Arman dan Arka dengan serius.
"Iya, Pak. Terima kasih sudah datang tepat waktu," jawab Arman.
Arman lalu melirik Arka. "Siapa yang sudah telepon polisi, ya?" gumamnya pelan.
Arka membalas dengan dahi berkerut. "Hah? Jadi bukan kamu?"
"Bukan," sahut Arman, jujur.
"E… itu saya, Pak." Seorang perempuan—karyawan bagian kasir—mengangkat tangan perlahan. Wajahnya malu-malu, tapi ada kebanggaan terselip di matanya. "Saya tadi menelepon polisi sebelum Bapak berdua datang."
Arka dan Arman saling pandang, lalu mengangguk. Dalam hati mereka sama-sama menertawakan kebodohan para penyamar tadi dan keberuntungan kecil yang datang dari inisiatif seorang karyawan biasa.
Setelah kejadian itu, Arka langsung menyelidiki nama Haris Hermanto. Dengan jaringan yang dimilikinya, dia tak butuh waktu lama untuk mengungkap bahwa pria itu adalah suruhan dari pesaing bisnis supermarket mereka di kota.
Tak lama, para oknum polisi gadungan pun mengakui semuanya. Haris Hermanto akhirnya ditangkap dan divonis dua tahun penjara, subsider enam bulan kurungan, serta diwajibkan membayar ganti rugi sebesar enam ratus juta rupiah.
***
Arman berdiri di depan sebuah rumah yang dulu terasa begitu akrab. Rasa rindu dan penasaran berkecamuk di dadanya. Sudah sebulan lamanya ia tidak bertemu dengan Karin. Pekerjaan menumpuk dan kasus Haris Hermanto menyita hampir seluruh perhatiannya. Tapi hari ini, ia sengaja datang. Ingin memperbaiki jarak yang mulai terasa aneh di antara mereka.
"Karin! Karin!" teriak Arman sambil mengetuk pintu berulang-ulang. Suaranya menggema di pekarangan yang tampak lebih sepi dari biasanya.
Tak lama, terdengar suara kunci diputar dari dalam. Pintu terbuka, dan yang muncul bukanlah wajah manis Karin seperti yang ia bayangkan. Tapi seorang pria paruh baya dengan garis-garis usia di wajahnya berdiri kaku di ambang pintu.
"Cari siapa?" tanya pria itu datar.
Arman spontan membalas, "Anda siapa?"
Mereka saling tatap, bingung sesaat.
"Saya pemilik rumah baru ini," jawab pria itu kemudian, tenang tapi tegas.
Arman mengernyit. “Ini rumah Karin … kekasihku.”
Pria itu tampak iba, namun tetap jujur. “Saya beli rumah ini dua minggu yang lalu. Pemiliknya menjual langsung kepada saya. Tanpa perantara.”
Deg.
Seolah dunia berhenti berputar sesaat. Arman melangkah mundur, napasnya tercekat. Kata-kata pria itu bergema dalam kepalanya, menyayat pikirannya yang sudah kacau. Karin—menjual rumah ini? Tanpa memberitahunya?
“Apa …?” desis Arman pelan. Matanya kosong, tak percaya. Ada yang tidak beres. Ini bukan hal sepele.
Dengan jari gemetar, ia mengeluarkan ponselnya dan mencoba menghubungi Karin. Tapi suara monoton dari operator menghantam telinganya: “Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi.”
Arman mencoba lagi. Tetap sama.
Seketika, semua momen bersama Karin berkelebat dalam benaknya. Tawa mereka, obrolan larut malam, rencana-rencana kecil yang sempat mereka susun. Kini terasa menguap tanpa jejak. Satu bulan lebih mereka memang tak saling kabar, tapi Arman tak pernah mengira akan sejauh ini.
Udara malam yang dingin terasa menyesakkan. Di depan rumah yang kini bukan lagi rumah Karin, Arman diam berdiri terpaku. Ditinggalkan—tanpa kata perpisahan, tanpa penjelasan.
***
❤❤❤❤❤
❤❤❤❤❤
siapakah pelaku yg udah buat trauma hannah 🤔
kalo krna trauma berarti hannah masih bisa disembuhkan ya,,suara yg hilang sm kelumpuhan kakinya dn pendengarannya kan bisa pake alat dengar 🤔
masih banyak yg blm terjawab dn bikin makin penasaran 🤗🤗