NovelToon NovelToon
Istri Rahasia Tuan Davison

Istri Rahasia Tuan Davison

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Aliansi Pernikahan / Nikah Kontrak / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: Rembulan Pagi

Pura-pura menikah dengan tetangga baru? Tentu bukan bagian dari rencana hidup Sheina Andara. Tapi semuanya berubah sejak tetangga barunya datang.

Davison Elian Sakawira, pria mapan berusia 32 tahun, lelah dengan desakan sang nenek yang terus menuntutnya untuk segera menikah. Demi ketenangan, ia memilih pindah ke sebuah rumah sederhana di pinggir kota. Namun, hari pertama justru dipenuhi kekacauan saat neneknya salah paham dan mengira Sheina Andara—tetangga barunya—adalah istri rahasia Davison.

Tak ingin mengecewakan sang nenek, Davison dan Sheina pun sepakat menjalani sandiwara pernikahan. Tapi saat perhatian kecil menjelma kenyamanan, dan tawa perlahan berubah menjadi debaran, masihkah keduanya sanggup bertahan dalam peran pura-pura?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rembulan Pagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22. Hari Yang melelahkan

Suara di sekelilingnya masih terdengar seperti dari balik air, jauh, terdistorsi, tidak nyata. Semua terasa melambat, kecuali detak jantungnya sendiri yang terus memukul dari dalam dada, nyaris menyakitkan.

Tangannya mencengkeram lutut. Nafasnya pendek. Pandangannya tertunduk dalam. Ia tahu dunia di sekitarnya sedang bergerak, tapi tubuhnya belum bisa ikut.

Davison tidak tahu berapa lama ia berjongkok di situ. Beberapa detik, atau menit. Ia hanya tahu satu hal: ia belum siap kembali berdiri.

Lalu, suara itu datang. Lembut. Nyaris seperti bisikan. Tapi justru karena itu, suara itu menembus lebih dalam.

"Gapapa."

Ia tidak menoleh. Tapi tubuhnya bereaksi. Tegang yang tadinya menggantung di bahu perlahan melonggar.

"Gapapa, Pak Dev."

Sheina. Suaranya pelan, hati-hati, seperti seseorang yang menyentuh luka tanpa menyentuh kulitnya langsung.

Davison menutup matanya. Ia belum bisa menjawab. Tapi ia mendengar semuanya. Merasakan semuanya.

“Saya nggak tahu Bapak kenapa,” lanjut Sheina. “Dan saya nggak akan maksa Bapak cerita.”

Davison masih diam. Tapi gemetar di jemarinya sudah tak sekuat tadi.

“Cuma saya di sini. Itu aja.”

Tak ada tangis dalam suara Sheina. Tak ada nada iba. Hanya ketulusan sederhana yang datang dari tempat yang tidak dibuat-buat. Sehangat sentuhan kecil di bahunya tadi. Selembut jeda di antara kata-katanya.

Davison tidak tahu harus menjawab apa. Ia merasa napasnya tidak sependek tadi. Kepalanya tak seberat tadi. Dan diamnya tidak selama tadi.

Davison menarik napas perlahan. Udara panas siang itu terasa lebih nyata sekarang. Debu yang melayang di udara. Suara sendal anak-anak yang berlarian. Suara kursi plastik yang diseret entah ke mana.

Ia membuka matanya perlahan, menatap tanah di depannya yang retaknya membentuk garis-garis tak beraturan. Kering. Seperti dirinya sendiri.

Lalu, tanpa berkata apa-apa, ia mengangkat tangannya, menyeka wajahnya perlahan, seakan ingin menghapus sisa-sisa dari sesuatu yang tidak bisa dilihat siapa pun.

Sheina masih di sebelahnya. Tidak mendekat, tidak menjauh. Hanya tetap ada.

Akhirnya, dengan gerakan lambat, Davison mendorong tubuhnya berdiri. Ia nyaris kehilangan keseimbangan, tapi berhasil menstabilkan pijakannya. Ia tidak menoleh langsung pada Sheina. Hanya berdiri diam beberapa detik, lalu berkata pelan,

“Terima kasih.”

Sheina menoleh. Tidak menjawab. Tapi ia mengangguk sekali, dalam. Matanya lembut, tapi tak mencoba menembus terlalu dalam.

Davison belum bicara. Tapi napasnya mulai lebih teratur. Matanya sudah tidak sekelam tadi.

Sheina menatapnya sebentar, lalu berkata pelan, “Saya mau bantu cari Boby.”

Ia tak menunggu jawaban. Langsung berbalik, melangkah cepat ke arah keramaian.

Davison menatap punggungnya sesaat. Lalu ikut bergerak, tanpa banyak tanya.

Di tenda utama, suasana makin tak terkendali. Beberapa anak kecil terlihat gelisah, ada yang mulai menangis ikut-ikutan. Orang tua murid tampak resah, berdiri berkelompok sambil menebak-nebak apa yang terjadi. Ibu Boby masih dikuatkan oleh dua guru lain, tampak hampir limbung karena panik.

“Sheina! Coba ke arah lapangan!” teriak salah satu guru dari kejauhan.

“Boby! Bobyyyy!” panggil yang lain, nadanya sudah bercampur panik.

“Sheina, kamu ke arah dalam! Cek ke ruang guru!” seru Ibu Nurul sambil melambaikan tangan.

Sheina langsung menyusuri pinggiran tenda. Matanya menyapu ke segala arah. Di sela semua kegaduhan itu, ia mencoba mengingat. Terakhir Boby terlihat saat bilang ingin mencari dirinya. Setelah itu, tidak ada yang tahu pasti.

“Boby! Nak! Kalau kamu denger suara Ibu, jawab ya!” Sheina ikut berseru, langkahnya cepat menuju gedung utama.

Davison ikut menoleh ke arah halaman, lalu kembali menyusul Sheina. Sambil berjalan, ia juga berteriak,

“Boby! Di mana kamu!”

Beberapa guru lain terdengar masih memanggil dari arah lapangan dan parkiran.

“Bobyyyy! Jawab, Nak!”

Tapi tidak ada suara.

Tanpa pikir panjang, Sheina langsung menyusuri lorong masuk yang terhubung ke ruang guru dan kantor kepala sekolah. Davison mengekor di belakangnya. Gedung itu jauh lebih tenang. Hanya suara AC dan langkah mereka sendiri yang terdengar. Kontras sekali dengan hiruk pikuk di luar.

Dan saat melewati ruang kepala sekolah yang pintunya tidak sepenuhnya tertutup, sebuah suara kecil terdengar dari dalam.

“Kenapa sih ribut banget siang-siang."

Sheina menghentikan langkah. Matanya melebar.

Pintu ruang kepala sekolah terbuka perlahan dari dalam. Dan muncullah seorang anak kecil berambut acak-acakan, mata setengah terbuka, dan mulut belepotan sisa kue coklat.

“Kenapa kalian ribut-ribut manggil nama aku?” tanya Boby, setengah menguap.

Sheina terpaku.

Davison yang berdiri di belakangnya, nyaris tidak bisa berkata apa-apa.

Boby berdiri sambil mengucek mata. “Aku cuma numpang tidur doang kok. Tadi udah kenyang abis makan kue.”

Ia mengangkat sisa plastik berisi kue coklat dari saku jaketnya. Lalu menguap panjang. Mata kecilnya masih berair, tapi ekspresinya sangat tidak bersalah.

Sheina akhirnya mengembuskan napas panjang, nyaris terduduk di lantai. Ia menutup wajah sebentar, lalu tertawa kecil tanpa suara.

Davison, masih berdiri tegak, akhirnya menoleh ke Sheina. Lalu menggeleng pelan. “Anak ini.”

“Pak Dev,” gumam Sheina, masih setengah pasrah. “Saya kayaknya mau nangis dan ketawa sekaligus.”

“Silakan. Saya jagain pintu,” balas Davison, nadanya datar tapi matanya hampir tertawa.

Boby menatap dua orang dewasa di depannya dengan bingung. “Aku salah ya?”

Sheina menatapnya lama. Lalu merentangkan tangan.

“Ke sini.”

Boby mendekat pelan, lalu langsung jatuh ke dalam pelukan Sheina, masih dengan pipi yang penuh coklat dan bau bantal yang khas anak-anak baru bangun tidur.

Sheina menarik napas panjang saat memeluk Boby. Anak itu hangat, lembek, dan masih menguap pelan.

“Yuk, kita keluar. Ibu kamu udah nyari dari tadi.”

Boby mengangguk kecil, lalu menggenggam tangan Sheina. Davison membuka pintu lebih lebar, membiarkan mereka berjalan lebih dulu keluar dari ruangan.

Begitu mereka muncul dari lorong gedung utama, suara gaduh dari lapangan langsung terdengar lagi. Teriakan nama Boby masih bersahut-sahutan dari berbagai arah.

“Boby! Ada yang lihat Boby?”

“Sheina, gimana?!”

Sheina melangkah lebih cepat, lalu mengangkat tangan tinggi-tinggi sambil berteriak,

“Dapet! Boby ketemu!”

Semua kepala menoleh. Beberapa guru langsung refleks lari ke arah mereka. Ibu Boby yang tadi duduk lemas di bangku, sontak berdiri dan berjalan cepat.

“Ya Allah Bobyyyy!”

Boby kaget. “Ibu?”

Ibunya langsung memeluknya erat, hampir membuat anak itu mundur setengah langkah.

“Kamu ke mana aja, Nak? Ya Allah Ibu hampir pingsan!”

Boby mengerjap, bingung. “Aku tidur.”

Beberapa guru tertawa kecil, beberapa lainnya masih sibuk menenangkan orang tua yang ikut panik. Tapi fokus semua orang akhirnya jatuh ke Boby yang kini berdiri dengan pipi belepotan coklat dan mata merah karena baru bangun tidur.

“Dia habis makan kue terus tidur di kantor kepala sekolah,” jelas Sheina sambil nyengir lelah.

“Belepotan banget mulutnya,” bisik salah satu guru.

“Kenapa nggak bilang ke siapa-siapa, Nak?” tanya guru lain sambil berjongkok di samping Boby.

“Aku udah kenyang, terus tempatnya adem,” jawab Boby polos, sambil mengucek matanya lagi.

Seketika suasana jadi campur aduk. Tegang yang tadi menggumpal berubah jadi kelegaan, keheranan, dan tawa tertahan.

Di antara kerumunan itu, Merisa berdiri dengan tangan terlipat di dada. Tatapannya datar, lalu menghela napas seolah kecewa karena dramanya selesai terlalu cepat.

Fahri yang berdiri tak jauh darinya, hanya melirik sekilas. Ia tidak bilang apa-apa. Tapi dalam hati, ia makin yakin diam Merisa bukan sekadar diam.

Davison berdiri beberapa langkah di belakang Sheina, membiarkan momen itu jadi milik mereka. Tapi saat Sheina menoleh ke arahnya, ia hanya tersenyum kecil dan mengangguk.

“Terima kasih ya, Pak Dev,” kata Sheina pelan.

Davison membalas dengan singkat. “Sama-sama.”

Angin sore mulai datang, mengangkat sisa-sisa debu dan serpihan plastik kecil yang tercecer di lapangan. Spanduk-spanduk lomba diturunkan satu per satu, kursi dikembalikan ke truk sewa, dan anak-anak sudah nyaris semuanya pulang. Tinggal tenda utama yang berdiri setengah kosong.

Sheina berdiri di sisi panggung, menatap lapangan yang tadi penuh teriakan dan tangis. Sekarang sepi. Tenang. Bekas kegaduhan itu masih terasa di kepalanya, tapi tidak lagi sesak.

Di belakangnya, Davison berdiri dengan tangan di saku, sama-sama diam. Tidak ada yang bicara, tapi tidak juga ada yang perlu dibicarakan.

Sheina menarik napas. “Hari ini kayak lima hari dijadiin satu.”

Davison mendengus pelan. “Kayak tiga lomba dalam satu jam.”

“Lomba anak-anak, lomba panik, lomba jaga diri,” Sheina menyambung, setengah tertawa.

Mereka sama-sama diam lagi. Tapi diamnya nyaman. Bukan karena kehabisan kata-kata, tapi karena untuk kali ini, kata-kata memang bukan inti dari segalanya.

Davison melirik jam tangannya. “Masih sempat kalau mau ikut makan bareng nenek saya.”

Sheina menoleh, mengangkat alis. “Beneran?”

Davison mengangguk. “Beneran.”

Sheina menatapnya beberapa detik. Lalu tersenyum kecil, dan mengangguk.

Di belakang mereka, sisa panitia masih sibuk beres-beres. Tapi suara tawa anak-anak sudah lenyap. Tangis ibu-ibu sudah reda. Dan semua yang sempat gemetar kini perlahan menemukan pijaknya lagi.

Hari itu, tidak ada yang benar-benar sempurna. Tapi tidak juga sepenuhnya buruk.

Dan tekadang, itu sudah cukup.

1
LISA
Menarik juga nih ceritanya
LISA
Aneh tp ntar kmu suka sama Sheina Dev🤭😊
LISA
Aku mampir Kak
Rian Moontero
lanjuutt thor,,smangaaat💪💪🤩🤸🤸
Rembulan Pagi: terima kasih kakk
total 1 replies
Umi Badriah
mampir thor
Rembulan Pagi
Bagi yang suka romance santai, silakan mampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!