‘Dulu, ibuku pernah menjadi permaisuri satu-satunya, dan aku Putri mahkota dalam istana mahligai rumah tangga orang tuaku, tapi lihatlah kini! Kami tak ubahnya sampah yang dibuang pada sembarang tempat!’
Dahayu – wanita berpenampilan sedikit tomboy, harus menelan pil pahit kehidupan. Sang ayah menjual dirinya kepada sosok asing, yang mana ia akan dijadikan istri kedua.
Tanpa Dahayu ketahui, ternyata dirinya hendak dijerumuskan ke jurang penderitaan. Sampai dimana dirinya mengambil keputusan penting, demi sang ibu yang mengidap gangguan mental agar terlepas dari sosok suami sekaligus ayah tirani.
Siapakah sosok calon suaminya?
Mampukah Dahayu bertahan, atau malah dirinya kalah, berakhir kembali mengalah seperti yang sudah-sudah?
Pengorbanan seperti apa yang dilakukan oleh wanita berpendirian teguh, bersifat tegas itu …?
***
Instagram Author : Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26 : Aku tidak terlahir di dunia khayalan
Cit!
Tiba-tiba Amran menginjak habis pedal rem, sehingga ban berbunyi berdecit, dan kepulan abu bertebaran – beruntung kaca tertutup rapat, sehingga butiran kotoran itu tidak sampai masuk ke dalam.
"Apa katamu? Coba ulangi!” tanyanya dengan intonasi rendah, sedingin tatapan matanya memandang netra coklat muda.
Dahayu tidak terintimidasi, malah memilih menanggapi dan membalas berani tatapan itu. “Apa perlu ku ulangi lagi kalimat tadi, Tuan?”
Mobil kembali melaju, tapi tidak jalan lurus menuju villa bukit, melainkan belok ke jalan sedikit lebih sempit diapit rumput, dan parit perkebunan sawit baru berbuah pasir.
Amran tidak mematikan mesin mobil agar AC tetap menyala, menarik tuas rem tangan, membuka sabuk pengaman, dan ia duduk miring menghadap istri kedua yang saat ini memilih melihat keluar jendela. “Apa maksudmu bagaikan menepuk air kotor, Dahayu?”
“Coba jawab pertanyaanku dulu, apa untungnya bagiku membiarkan orang diluar sana tahu, kalau diri ini istrimu, Amran?” tanyanya, menghilangkan panggilan formal.
Saat tidak ada jawaban, ia memalingkan wajah, menatap biasa saja netra hitam berbingkai bulu mata tidak terlalu lentik. “Mengapa kau diam? Tak bisa menjawab 'kan? Bukan sanjungan yang akan ku dapatkan, tapi hinaan, digunjingkan sana-sini. Istri kedua ... mendengar sebutannya saja orang langsung berpikir negatif, tanpa peduli alasan dibaliknya.”
Dahayu mendengus, memilih menatap lurus dengan ekspresi serius. “Daripada bangga, aku merasa lebih rendah dari sebelumnya. Dinikahi cuma untuk melahirkan pewaris. Diberi status sah, agar anak itu nantinya terlahir dari sebuah pernikahan bukan perzinahan. Lantas, dimana keuntungan itu? Dimana rasa bangganya?”
“Diam!” Dayu meletakkan jari telunjuknya di bibir. “Biar aku yang berbicara agar kau tak lagi sok berperan seperti seorang pahlawan. Baik, aku berterima kasih, sangatlah berterima kasih – berkatmu, ibuku mendapatkan perawatan nomor satu."
"Namun, cukup sampai disitu saja. Bila engkau meminta lebih, maka cuma raga ini yang bisa kupersembahkan sebagai balasan atas kemurahan hatimu, tidak dengan cinta,” ucapnya jelas.
“Kau anggap apa aku, Dahayu? Seorang pria gila se*s kah?” Lengan sang istri dia cengkram sedikit erat.
“Lantas kau mau apa, hah?!” Emosinya mulai tersulut, hari ini cukup berat baginya. Mulai dari menceritakan masa lalu kelam, bertemu para orang kurang ajar, melihat Wisnu begitu dekat dengan kakak tirinya, dan kini harus ditambah menghadapi pria yang menurutnya egois.
“Kau tak mengerti, Dahayu! Sedikitpun saya tidak pernah menganggapmu sebagai alat kepuasan semata!” balas Amran dengan intonasi lumayan tinggi.
“Namun, faktanya memang seperti itu! Kau mengikatku dengan pernikahan agar bisa leluasa menjamah. Setelah puas dan berhasil memiliki anak yang kalian idam-idamkan, aku langsung di buang! Kau pikir diri ini tak punya hati yang bisa merasa kecewa, marah, sedih, murka!” Dadanya naik turun seiring dengan air matanya luruh.
“Kau mempermasalahkan tindakanku yang mencegahmu untuk jujur tentang status kita, tapi apa kau telah memikirkan dampak di kemudian harinya? Aku akan jadi bahan olok-olok, bukan cuma mereka, tapi seluruh warga perkebunan. Mantan istri kedua pemilik perkebunan PT Tabariq – kau kira aku bangga? TIDAK!!” Dihempaskannya tangan berjari kokoh sang suami.
“Darimana kau tahu tentang _”
Dayu langsung memotong kalimat Amran, memandang sengit sang pria. “Aku memang tak berpendidikan tinggi, tapi bukan berarti begitu bodoh sehingga tidak dapat menerka kejanggalan interaksi mu dengan asisten Randu serta pak Bondan."
"Belum lagi dua petinggi perkebunan. Mereka sangat sungkan melihatku sewaktu dirumah Bandi. Terus, perlakuan hormat para penjaga gerbang Villa. Orang biasa mana yang memiliki mobil mewah lebih dari tiga? Belum lagi menghuni bangunan paling besar. Masihkah kau ingin berkelit, Amran?!”
Amran terdiam, tidak menyangka penyamarannya sudah terbongkar secepat ini.
Pada akhirnya Dahayu melunak, menyandarkan kepalanya pada sandaran jok, memejamkan mata seolah tengah meredam gejolak dalam dada.
“Kita berbeda, Amran. Kau terlahir dengan bergelimang harta, tak kekurangan apalagi mengalami kesulitan demi mencari sesuap nasi. Bersekolah di tempat bagus, pakaian rapi, serta lingkungan sehat, sementara aku _”
Dayu membuka matanya, pancarannya sendu, sorot yang jarang diperlihatkan kepada orang lain, selain orang terdekatnya. “Terlahir dari seorang ibu pejuang melawan kerasnya kehidupan, berupaya terus waras agar tidak tenggelam pada dunia ilusi dan pada akhirnya dia tetap kalah.”
“Kau lihat tanganku ini!” Kedua telapak tangannya diangkat dan diperlihatkannya kulit kapalan. “Ini bukti nyata betapa aku telah bekerja keras demi segenggam beras agar perut kenyang. Ya, perkebunan memang memberi jatah beras setiap bulannya, tapi tak pernah sampai kepadaku dan Ibuk.”
“Wajahku jauh dari kata mulus, banyak bruntusan nya, dan kulit tubuhku pun terdapat bekas goresan ilalang, benda tajam – inti dari semua ini, kita berbeda. Jangan pernah ada pikiran apalagi keinginan untuk menyatukan kasta agar terlihat setara, sebab hal itu sia-sia,” lanjutnya datar.
“Sudah bicaranya? Apa ada yang ingin ditambahkan lagi?” Amran pun mulai tenang, dia bertanya dengan nada pelan.
“Dahayu, kita bisa memperbaiki hubungan ini. Memulai dengan cara yang benar. Saya akan membakar kontrak perjanjian antara Bandi dengan Masira. Agar kau tak merasa dibeli, dan nanti sama-sama kita besarkan anak yang terlahir dari rahimmu _”
“Ha ha ha ….” Dahayu tertawa sumbang, binar matanya penuh luka.
“Maaf, Amran. Aku bukan terlahir untuk hidup di dalam dunia khayalan penuh kata Seandainya, coba dulu, ayo kita jalani sambil mencari jalan keluarnya. Akan tetapi, kehidupan ini telah mengajarkan apa itu warna jelas dan kelabu. Begitu mudah kau berkata kita mulai, disaat dirimu telah berpunya. Mau dikemanakan istri pertama mu itu?”
‘Sial!’ dirinya merasa seperti seorang perayu ulung demi mendapatkan simpati wanita berhati batu.
Amran pun tidak tahu mesti bagaimana lagi. Dahayu bukan Masira – yang akan luluh bila dihujani sentuhan romantis, dan sialnya dirinya tidak pandai merayu wanita.
“Ayo pulang! Percuma kita berargumen bila akar masalahnya ada pada dirimu. Satu hal perlu kau ingat, Amran! Jangan jadi seperti Bandi – demi wanita yang katanya dia cintai, rela menyakiti hati istri yang telah menemani di masa-masa sulitnya. Dan aku enggan meniru apalagi menjelma seperti sosok Ijem, di kisahmu dengan Masira.” Dahayu memalingkan wajahnya, menyandarkan sisi kepala pada jendela mobil.
Keterdiaman Dahayu mengakhiri perdebatan sengit itu. Amran kembali menyetir, pulang ke villa bukit. Sisa perjalanan hanya diisi kesunyian, tak ada yang mencoba berbicara. Dua insan itu memilih membisu dengan perasaan dan jalan pikiran berbeda.
***
Empat puluh menit kemudian.
Dua orang security membuka pagar besi menjulang tinggi, mereka menunduk hormat memberi salam kepada sang Tuan, dibalik kaca gelap tidak diturunkan.
Mobil Amran baru saja memasuki halaman huniannya, dirinya pun belum menjejakkan kaki ke tanah, masih setengah membuka pintu kemudi.
Namun, suara sangat familiar – berseru riang menyambut kepulangannya.
Visual ~ Masira ~
"Mas Amran, dirimu darimana saja? Sudah sedari jam sepuluh aku menunggu." Masira berlari pelan mendekati mobil suaminya, tapi langkahnya terhenti kala pintu penumpang bagian depan dibuka.
"Mengapa kau satu mobil dengan suamiku?!"
.
.
Bersambung.
" wahai sang penjaga hati, aku berharap dan berdoa selalu di beri kekuatan untuk selalu menjaga hati dari segala penyakit "