Cherry Yang, yang dipaksa mendonor darah sejak kecil untuk adik tirinya, setelah dewasa ginjalnya diambil paksa demi menyelamatkan sang adik.
Di malam itu, ia diselamatkan oleh Wilber Huo—pria yang telah mencarinya selama delapan tahun.
Kehidupan Cherry berubah drastis setelah pertemuan itu. Ia bahkan terpaksa menikah dengan Wilber Huo. Namun, tanpa Cherry sadari, Wilber menikahinya dengan alasan tertentu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Perjalanan.
Wilber dan Cherry duduk di dalam mobil menuju ke suatu tempat. Sementara Roby fokus mengemudi.
Wilber sedang berbicara melalui ponselnya.
"Kakek, aku dan Cherry ingin pergi ke suatu tempat. Setelah ini kami akan menjengukmu," kata Wilber.
"Mengenai acara pesta pernikahan, kakek sudah pilih tanggal yang cantik. Kau sudah bisa sebarkan undangan pernikahan kalian," kata kakek Wilber di seberang sana.
"Acaranya harus diadakan besar-besaran, aku ingin semua orang tahu siapa istriku," jawab Wilber dengan senyum yang tulus.
Cherry yang mendengar pembicaraan suaminya merasa hampir tidak percaya. Bukannya merasa bahagia, ia malah merasa sedih. Jantungnya berdegup pelan, seakan setiap kata yang keluar dari mulut Wilber menjadi beban baginya.
"Bukankah Kakak Huo mencintai seseorang selama ini? Kenapa harus mengadakan pesta besar-besaran? Bagaimana kalau pujaan hatinya kembali? Bukankah kami harus berpisah? Atau Kakak Huo melakukannya hanya demi kakek?" batin Cherry, matanya memantul pada kaca jendela, menyembunyikan genangan air yang nyaris jatuh.
Sesaat kemudian Wilber memutuskan panggilannya.
"Setelah kita pulang, kita akan bertemu dengan kakek. Kita akan membahas masalah pesta pernikahan kita," ujar Wilber sambil melirik Cherry.
"Apakah Kakek berharap ada pesta?" tanya Cherry dengan suara lirih, seolah menguji keyakinannya sendiri.
"Iya, baginya sebagai putra dan cucu tunggal, aku harus adakan pesta. Sekalian ingin mengenalkanmu pada pebisnis lain," jawab Wilber dengan senyum.
Cherry berusaha membalas dengan senyum paksa. "Kalau begitu ikut kata kakek saja," ucapnya, lalu kembali menatap ke luar jendela. Jemarinya mengepal di pangkuannya, berusaha menahan rasa sesak di dadanya.
Wilber menyadari istrinya yang sama sekali tidak bahagia. Tatapannya terhenti pada wajah Cherry yang muram.
"Apakah ada yang mengganggu pikirannya? Kenapa Cherry terlihat tidak bahagia? Bukankah semua wanita menginginkan pesta yang mewah?" batin Wilber.
Namun, semakin lama ia menatap, bayangan rekaman CCTV yang pernah ditontonnya kembali muncul. Rekaman saat Cherry pulang dan berdiri di luar, mendengar pembicaraannya dengan Vivian.
"Saat itu Cherry telah mendengar semuanya. Dia pasti mengira aku menyukai wanita lain selama delapan tahun. Aku rasa aku sudah tahu di mana letaknya kesalahanku," batin Wilber, tatapannya melembut, seakan ingin meraih tangan istrinya, tapi ragu apakah Cherry mau menggenggamnya.
Wilber tiba-tiba menarik tangan istrinya ke dalam pelukannya. Reaksi itu sontak mengejutkan Cherry.
"Ada apa, kita di dalam mobil," ucap Cherry pelan, mencoba melepaskan diri. Namun, Wilber justru memeluknya semakin erat, seakan tak ingin melepaskan.
"Aku adalah suamimu, memelukmu apakah harus memilih tempat?" goda Wilber, suaranya rendah dan hangat.
Cherry terdiam sejenak, matanya berkedip cepat, tak menyangka suaminya bisa bersikap seperti itu.
Wilber kemudian mengecup lembut dahi istrinya. "Mari kita pilih cincin pernikahan!" ajaknya penuh semangat.
"Tidak perlu terlalu mewah, yang sederhana saja sudah cukup," jawab Cherry hati-hati, suaranya nyaris berbisik.
Wilber menggeleng, senyum tipis tersungging di wajahnya. "Tidak bisa. Untuk istriku tentu harus yang mewah dan paling mahal. Itu tanda dari cinta kita," bisiknya lembut di telinga Cherry.
Cherry menatapnya, sulit menahan getaran di dadanya. "Apa kau sadar dengan ucapanmu?" tanyanya dengan nada ragu.
"Sadar," jawab Wilber mantap. "Aku tidak mabuk dan aku dalam keadaan waras. Aku ingin memberi yang terbaik untuk istriku." Ucapannya diakhiri dengan sebuah kecupan mesra di bibir Cherry, membuat wajah wanita itu merona.
Beberapa saat kemudian, mobil berhenti perlahan. Roby menghentikan kendaraan di depan sebuah gedung megah—tempat perlombaan biola.
Wilber dan Cherry turun dari mobil. Tatapan Cherry langsung terpaku pada bangunan megah di depannya. Ada sorot kerinduan sekaligus luka di matanya.
"Tempat ini…" Cherry menghela napas pelan. Ingatannya kembali berkelebat. "Sudah delapan tahun aku tidak menginjakkan kaki di sini. Dan siapa sangka, saat itu adalah hari terakhirku berdiri di panggung dengan biola di tangan…"
"Masih ingat dengan tempat ini?" suara lembut Wilber memecah lamunannya.
Cherry menoleh cepat. "Kenapa membawaku ke sini?" tanyanya, nada suaranya bercampur bingung dan gugup.
Wilber hanya tersenyum. Ia meraih tangan istrinya dengan hangat, lalu menuntunnya masuk ke dalam gedung itu.
Ketika pintu terbuka, keheningan menyambut. Aula besar dengan panggung megah tampak sepi, kursi-kursi penonton berjejer rapi tanpa seorang pun yang duduk.
Wilber melangkah naik ke atas pentas, menggandeng Cherry yang masih kebingungan.
"Kakak Huo, kenapa kita ke sini?" tanya Cherry lirih, berdiri tepat di tengah panggung.
Wilber mengangguk ke arah kursi penonton di bawah sana. "Delapan tahun lalu, aku duduk di sana… sebagai penonton," ujarnya pelan.
Cherry mengerjap, menatap kursi yang ditunjuknya.
"Saat itu," lanjut Wilber, "aku melihat seorang gadis remaja tampil begitu yakin. Tangannya lincah memainkan biola, setiap nadanya penuh semangat dan perasaan. Musik yang dia mainkan membuatku terhanyut… dan saat itu juga, aku jatuh cinta pada gadis itu."
Wilber lalu mengeluarkan ponselnya dan menampilkan sebuah rekaman lama. Di layar, terlihat seorang gadis muda memainkan biola dengan penuh penghayatan—gadis itu tak lain adalah Cherry sendiri.