Cover by me
Dipertemukan lewat salah paham. Dinikahkan karena perintah. Bertahan karena luka. Jatuh cinta tanpa rencana.
Moza Reffilia Abraham tak pernah membayangkan hidupnya akan terikat pada seorang prajurit dingin bernama Abrizam Putra Bimantara—lelaki yang bahkan membenci pernikahan itu sejak awal. Bagi Abri, Moza adalah simbol keterpaksaan dan kehancuran hidupnya. Bagi Moza, Abri adalah badai yang terus melukai, tapi juga tempat yang entah kenapa ingin ia pulangi.
Dari rumah dinas yang dingin, meja makan yang sunyi, hingga pelukan yang tak disengaja, kisah mereka tumbuh perlahan. Dipenuhi gengsi, trauma masa lalu, luka yang belum sembuh, dan perasaan yang enggan diakui.
Ini bukan kisah cinta biasa. Ini tentang dua orang asing yang belajar saling memahami, bertahan, dan menyembuhkan tanpa tahu apakah pada akhirnya mereka akan benar-benar saling memiliki… atau saling melepaskan.
Lanjut baca langsung disini ya👇
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika cha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Operasi Rahasia Calon Mertua
“Selamat ya, Bang Abri.”
Itu kalimat pertama yang Abri dengar saat ia tiba di kesatuan, masih di pintu masuk para prajurit junior yang menjaga pos berucap selamat padanya, Abri lantas di buat bingung, ucapan selamat untuk apa?
Memangnya dia habis ngapain?
Tapi tetap saja Abri membalas perkataan mereka dengan mengangguk dan tersenyum, mobilnya langsung masuk begitu palang pos di buka dan melanjutkan perjalanannya sampai tiba di depan barak.
Belum sempat ia bertanya-tanya lebih jauh, begitu turun dari mobil, kembali ucapan selamat ia dapatkan kali ini dari seniornya.
“Selamat ya, Bri.” ucap senior Abri dengan bertos ala pria, Abri yang masih bingung malah ngikut aja, tanpa tau sebabnya. Setelahnya ia baru teringat jika seniornya ini baru pulang dari pendidikan army military di Australia mungkin baru tau jika kini Abri sudah naik pangkat beberapa bulan yang lalu dan mengucapkan selamat untuk itu karena sebelumnya tak sempat menyampaikan itu.
“Hahaha, siap Bang. Baru pulang, ya?” sahutnya ramah.
"Iya, baru sampai kemarin, ini mau ke kantor komandan buat laporan." Jelasnya yang di angguki Abri "kalau gitu saya duluan ya bri, sekali lagi selamat bri. Semoga lancar," Kali ini senior Abri menjabat tangannya dengan senyum ramah, tentu saja di balas Abri dengan tak kalah ramah dan bahkan ia juga turut tertawa.
"hahaha, siap bang." Membuat senior Abri yakin akan suatu hal.
"Lancar? Lancar apaan?" batin Abri bertanya tanya.
Begitu seniornya pergi kembali segerombolan prajurit tiba-tiba menghampirinya seperti hendak menyerbu. Otomatis Abri mundur dan berhenti kala punggungnya menatap mobilnya sendiri. “Eh, ini ada apa?" Tanyanya dengan wajah was-was.
Dia punya salah apa coba sampai di keroyok begini? Oke lah kalau cuma lima sampai sepuluh orang pasti Abri jabani, lah ini satu kesatuan gini yang ngeroyok sekuat-kuatnya Abri dia pasti k.o juga kalau mereka keroyokan sebanyak ini.
"Eh, kita gak mau ngapa-ngapain kok bri. Jangan takut."
Walaupun salah satu dari mereka berkata seperti itu tetap saja Abri was-was. Tau kan prajurit itu terlalu banyak manipulatifnya untuk memengaruhi mangsa agar masuk kedalam jebakan mereka. Oh, Abri sudah khatam soal itu. Tidak akan Abri percaya kalau mereka datangnya saja dengan cara keroyokan seperti in. Tidak akan akan berbuat apa-apa pada dirinya? Bohong sekali.
“Selamat ya, Ka—AKH!” Belum juga selesai prajurit itu berucap ia sudah di banting oleh Abri.
Semua mata tentu melotot, ada juga beberapa yang meringis ngilu tau seberapa sakit bantingan sang kapten.
“Saya tanya, kalian mau ngapain?!” bentaknya, siap siaga. Tak ada yang bisa ia percaya.
“Waduh santai, Bri! Kita cuma mau ngucapin selamat, sumpah! Nggak ada niat aneh-aneh! Kok malah di banting."
Sementara prajurit tadi yang di banting Abri sudah kembali berdiri di bantu rekannya yang lain, ia sesekali mengelus punggungnya yang sudah akan patah. Bantingan Abri benar-benar tidak main-main sakitnya.
"Kalian datangnya keroyokan siapa yang gak was-was!" Walaupun sudah membanting rekannya tidak ada rasa bersalah di wajah Abri sedikitpun.
"Ya-ya maaf kapten. Abisnya kita terbawa suasana, kita semua ikut seneng karena kapten tengah berbahagia."
Kening Abri berkerut "bahagia?" Tanyanya, semua yang ada di sana menganggukkan kepala mereka kompak.
"Saya bahagia kenapa?" Perasaan dia tidak lagi menang judi slot atau sedang dapat jekpot loh ini. Naik pangkat juga sudah beberapa bulan yang lalu semuanya juga sudah mengucapkan selamat.
Lantas dia bahagia kenapa?
Semua yang ada di sana juga ikut bingung, mereka saling melempar tatapan satu sama lain. "Bukannya kapten mau menikah ya bentar lagi?"
Mata Abri kontan melotot kaget, dapat berita dari mana itu heh?
"Iya, sama anak jenderal Hamzah yang cantik itu iparnya kapten Dwika."
Makin melotot lah mata Abri, bingung bercampur kaget dari mana mereka tau kabar ini. Bahkan baru malam tadi loh keluarga Abri dan Moza bertemu untuk membicarakan soal perjodohan dan pernikahan sekaligus, tapi pagi beritanya sudah tersebar secepat ini?
"Kalian tau dari mana?" Tentu saja yang jadi pertanyaan siapa penyebar kabar menghebohkan itu pagi-pagi begini.
"Lah, udah dari tadi malam bang beritanya tersebar, kita sih gak tau jelasnya dari mana, pokoknya udah dari mulut kemulut."
The power of gosip. Dan beritanya bahkan bukan dari pagi lagi, tapi sudah dari tadi malam. Gossip memang menyebar lebih cepat dari virus. Hebat sekali mulut rombeng penyebar gosip ini.
“Emang... gak bener, Bri?”
Abri terdiam sejenak memejamkan matanya sambil garuk-garuk alis karena bingung harus menjawab apa. Kejadiannya saja secepat itu. Jadi dirinya belum benar-benar menyiapkan jawaban jika akan di serbu rekannya seperti ini. Tapi nggak mungkin juga dia jawab tidak kan?
Abri menghela nafas, Mau tak mau ia mengangguk sambil menggumam membenarkan.
Sorakan heboh pun begitu nyaring membuat Abri refleks menutup kedua telinganya. Gak usah teriak bisa kan?
Yang berteriak bahkan di bagi menjadi dua kubu, ada yang berteriak kecewa ada juga yang berteriak karena senang. Sesuka mereka saja lah pokoknya.
"Pinter banget Bri, nyarinya."
"Haduh, ini yang namanya memanfaatkan temen sendiri. Dwika dapat kakaknya Abri dapat adeknya."
"Obat galonnya modelan kayak dek Moza yang langsung move on dah si Abri."
"Mozaku..."
"Izin, Kisi kisinya dong kapten Abri gimana dapatin cewek secantik anak jenderal Hamzah."
"Gak bisa, harusnya kan Moza sama saya!"
"Tenaga bang Abri kuat banget, sampai bisa merobohkan dinding pertahan jenderal Hamzah. Salut sama bang Abri."
Abri hanya menggeleng pasrah mendengar semua komentar rekan-rekannya yang penuh pro dan kontra. Sudah Abri bilang kan terserah mereka.
Selanjutnya satu persatu dari mereka mengucapkan selamat untuk Abri. Sepanjang mereka mengucapkan selamat satu persatu, otak Abri tak berada di tempatnya, di dalam sana pikirannya sibuk menebak siapa pelaku penyebar gosip yang memang nyata ini. Mulut siapa yang begitu tajam sampai berita ini sudah tersebar sejak kemarin malam? bukan Abri tidak mau berita tentang pernikahan nya tersebar, ia tau cepat atau lambat berita ini juga pasti akan tersebar juga. Tapi tidak secepat ini juga.
Dan satu nama terlintas di kepalanya kala para rekannya yang mengucapkan selamat tadi sudah kembali ke tugas mereka masing-masing.
Dwika.
Iya, siapa lagi yang menyebarkan berita ini di kesatuan jika bukan Dwika. Sahabat yang mungkin dalam waktu dekat akan menjadi kakak iparnya, mantu gendeng dari jenderal Hamzah.
Di kesatuan ini hanya Dwika yang tau soal perjodohan dirinya dan Moza. Sudah pasti Dwika lah biang keroknya. Pria itu benar-benar membuat cacing pita Abri naik ke permukaan.
Abri mengubah arah langkah, tak jadi ke barak. Ia langsung menuju klinik kesatuan, tempat Dwika biasanya bertugas. Ia ingin memberi pelajaran pada mulut ember sahabatnya itu.
Tapi belum juga sampai klinik, Gilang and the gank sudah datang menghadang jalannya dengan berbagai alat kebersihan di masing-masing tangan mereka, Ibam dan Denis yang memegang sapu lidi, Gilang yang memegang sapu ijuk, Marvin yang memengang kain pel sementara Dico memegang ember sepertinya mereka tengah kebagian jatah piket bersih-bersih. Aura mereka juga serasa ingin mengajak Abri war sangat mencekam dan horor. Pokoknya lebih mencekam dari main keroyokan sebelum mereka.
"Wah, ini nih selebriti hari ini," sindir Gilang dengan wajah sinis tidak lupa ia berkacak pinggang sok hebat, benar-benar anggota kurang ajar sekali bukan.
Abri menghentikan langkahnya, ia menatap Gilang dan yang lain dengan tatapan malas lalu membuang pandangannya ke area lapangan dimana para bocah-bocah kecil penghuni kesatuan tengah bermain lebih baik ia melihat bocah-bocah itu ketimbang para anggota kurang warasnya. Ia sudah tau maksud dan tujuan mereka menghadang jalannya sudah pasti tidak jauh berbeda dari main keroyokan tadi.
"Jelasin komandan, berita yang kita dengar dari tadi malam itu gak benar kan?" Ucap Ibam dan Denis dengan kompak nampak sekali wajah keduanya tidak terima jika berita yang mereka dengar itu betul adanya. Sapu lidi keduanya bahkan berpindah ke pundak dan tentunya menimbulkan korban jiwa kecolok sapu lirik dan Dico salah satu korbannya. Ia bahkan sampai mengeplak kepala Ibam gemas karena matanya sampai kecolok.
Abri masih enggan menjawab, ia malah garuk garuk alis. Terkesan bodo amat. Toh, mau protes segila apa mereka juga perjodohan Abri tidak akan batal. Atau kalau memang mau Abri dan Moza tidak menikah sana protesnya ke rumah jenderal Hamzah, demo kalau perlu sambil bawa spanduk bertuliskan 'MENOLAK KERAS ABRI JADI SUAMI MOZA.'
Taukan mereka ini pemuja Moza garis keras. Jika Moza adalah artis sudah dapat di pastikan Denis ketua fanbasenya dan Ibam wakilnya.
Fanbase Moza garis keras ini jelas gak siap ditikung realita.
"Beloknya gak pakek lampu sen ya bang?" Marvin si anak baru juga sudah berani menyindir Abri, oh, ternyata Marvin juga sudah masuk kedalam fanbase Moza garis keras. Sejak kapan?
Abri menoleh dan menatap satu persatu wajah anggotanya itu yang sudah siap mengajaknya berperang. Abri tidak gentar di tatap sedemikian rupa oleh anggotanya, bahkan jika harus melawan mereka semua pun Abri tidak takut, hanya saja kan gak lucu konsep mereka gelut ini hanya untuk merebutkan perempuan yang bahkan Abri sendiri pun tidak cintai.
"Minggir!" Bukannya menjawab Abri malah berusaha menerobos untuk lanjut mencari Dwika, dia biang kerok dari masalah di pagi ini.
"Komandan jelaskan dulu ini punya masalah. Benar atau cuma kabar angin saja, to," Dico mencekal tangan Abri tak rela betul dirinya jika Abri pergi begitu saja tanpa menjelaskan apapun pada mereka. Hatinya masih sesak gitu loh belum plong. Kalau Abri mau move on ya move on cari perempuan lain, jangan Moza gadis pujaannya.
Abri kontan menatap tangan Dico yang mencekalnya, Lalu beralih ke wajah Dico dan selanjutnya ke anggotanya yang lain. Abri sampai mengenal nafas, agak berat mungkin beban yang dia hadapi harus mencoba menerima perjodohan ini dan juga harus menghadapi para pemuja Moza garis keras ini.
"Yang kalian dengar itu bagiamana?" Dia malah balik bertanya.
"Ya, itu Abang mau nikah sama anaknya jenderal Hamzah, iparnya bang Dwika. adek Moza yang cantik jelita." Jawab Gilang menjelaskan apa yang ia dengar.
"Itu gak bener kan bang?" Tanya Denis berharap kabar itu tidak benar tentu saja dengan wajah nelangsa, tidak terima.
Abri menatap mereka datar. Lalu pelan-pelan menjawab, "itu bener."
Jedwer!
Pengakuan Abri membuat kelima manusia itu bagai tersambar petir di siang bolong, kelimanya sampai membeku di tempat. Padahal sebelumnya mereka sudah dengar beritanya tapi mendengar pengakuan secara langsung dari Abri membuat mereka malah makin tak bisa berkata-kata.
Sementara Dwika yang di cap biang kerok itu dari kejauhan menatap heran Abri yang di kepung oleh para anggotanya. "Baru kali ini gue lihat ada anggota yang kurang ajar begitu sama si Abri. Apa gak menyala otak si Abri Ngadepin mereka?" Gumam Dwika geleng-geleng kepala namun ujung-ujungnya ia tertawa geli karena menurutnya itu lucu. Ia juga tau berita terpanas pagi hari ini tentang Abri.
“Udah, minggir,” seru Abri, menerobos kerumunan anggotanya.
"Wah bang, wah, parah!" Dengus Ibam lebih dulu setelah sadar. Ia meraup wajahnya sendiri masih tak menyangka.
"Wah, Abang dekati nona cantik lebih dulu tra bilang-bilang'e. Dapat juga tra bilang-bilang. Wah parah memang Ale bang Abri," Dico kini geleng-geleng kepala.
"Jangan bilang asal muasal kalian dekat karena insiden di mall ya bang, kalau memang iya bang parah banget sih parah. Memanfaatkan situasi itu namanya."
Perkataan Gilang gak di gubris Abri sama sekali, Ia sudah mengunci target di depan sana yang tampak akan pergi.
"DWIKA!!"
kontan langkah Dwika langsung berhenti, ia menoleh dan melihat Abri yang sudah datang dengan langkah cepat menghampirnya, tidak lupa dengan wajah tidak bersahabatnya. Oho, dia punya salah apa ini?
"Kau!" Seru Abri. Dan,
PLAK!
Tangan Abri melayang ke kepala Dwika yang masih tak tau apa penyebab dirinya di geplak begini.
"Aduh, anjir! Kenapa kau pukul aku Bri!"
PLAK!
Bahkan kali ini mulut Dwika juga ikut di geplak.
"Wah, bangsat! Ngajak ribut!" Umpat Dwika.
"Mulutmu remnya blong, heh?!"
Kening Dwika berkerut bingung, "apa sih ni orang?!" Jujur ia tidak tau maksud dari perkataan Abri.
"Oh, pura-pura goblok..." Abri berkacak pinggang sambil angguk-angguk kepala.
"Anjing dah bri, apa sih? Gak usah buat aku bingung lah. Kau kenapa?" Wajah Dwika yang kian bingung membuat Abri sedikit ragu jika Dwika lah biang kerok dari berita yang baru tersebar ini.
"Bukan kau yang nyebelin berita tentang pernikahan ku sama Moza?" Tanyanya dengan wajah tak yakin.
"Ye, si bangsat!" Gantian Dwika menoyor kepala Abri gemas.
TOK!
"Kau nuduh aku gitu yang neyabrin gosipmu?!"
"Hm, di kesatuan ini gak ada yang tau selain kau! Udah pasti kan kau pelakunya."
Lagi tangan Dwika menoyor kepala Abri"bapak kau itu! Jadi karena cuma aku yang tau, aku lah yang kau tuduh begitu?" Dwika geleng-geleng kepala, enak saja Abri asal menuduhnya.
"Ya siapa lagi. Cuma kau yang menyakinkan."
Dwika mendengus. Tenyata persahabatan mereka selama kurang lebih sebelas tahun ini bukanlah persahabatan yang berlandaskan kepercayaan lihat saja Abri dengan mudahnya mengklaim dirinya sebagai pelaku utama dari gosip yang tersebar sekarang.
Ya, Dwika akui kadang mulutnya itu seperti rem blong tapi kan gak semua permasalahan ia bongkar. Ini beda cerita gitu loh. Salah-salah dia di depak oleh bapak mertuanya sendiri. Lagian apa Abri tidak mencurigai salah seorang yang lebih gila dan lebih berkuasa dari Dwika memangnya?
"Coba tanya calon bapak mertuamu dulu, siapa tau dia lebih tau siapa pelakunya," Saran Dwika yang membuat Abri terdiam di tempat.
Calon mertua Abri apa gak bapak mertuamu juga Dwika...
Apa jangan-jangan Hamzah yang menyebarkan berita ini? Mengingat tabiat Hamzah yang apapun akan ia lakukan demi mengikat Abri dan juga Moza.
Ting!
Pesan masuk di ponsel Abri dan langsung saja ia periksa. Mata Abri sampai melotot membacanya.
Maaf di buat repot, tapi kalau tidak seperti ini kamu pasti akan kabur dan tidak jadi menikahi Moza.
Jenderal Hamzah
Astaghfirullah. Calon mertuanya ternyata seambisi itu.
Dwika ikut mengintip pesan itu dan tersenyum puas.
“Nah, udah lihat sendiri, kan?”
lanjut cerita anak papa saga yg lain ya Thor.
samapi cucu cicitnya🤭💪💪💪🔥🔥🔥
akhir nya happy ending..tamat walaupun sebetulnya masih g rela koq ceoat berakhir.sukses terus ya kak..dinanti karya2 selanjutnya bang aidan yg blm tamat
makasih kak udah ngasih cerita yg bagus yg bisa menghibur,bisa bikin kita gemes,baper,nangis" ....
aku tunggu Aidan sama Arga nya kak ... 😘😘😘😘
super duper pleaseeeee thor nggak pkai bnyakkkk
stu lg dong boncap nya please🙏🙏🙏🙏🙏🙏