Irish kembali, membawa dua anak kembar dan luka lama yang telah berubah menjadi kekuatan. Ethan, pria yang dulu mengabaikannya tanpa rasa, kini tak bisa mengalihkan pandangan. Ada yang berbeda dari Irish, keteguhan hatinya, tatapannya, dan terutama... anak-anak itu. Nalurinya berkata mereka adalah anaknya. Tapi setelah semua yang ia lakukan, pantaskah Ethan berharap diberi kesempatan kedua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP: 21
“Tuan Ethan. Lebih baik Anda segera naik… cepat ke atas.”
Kata cepat ke atas diucapkannya pelan tapi penuh penekanan, seolah memberi pesan tersembunyi.
Ethan menajamkan pandangannya, firasatnya langsung tidak enak, seolah Bibi Yu sedang memperingatkannya tentang sesuatu di lantai atas.
“Baiklah kalau begitu, Bibi Yu. Aku naik dulu,” ucap Ethan singkat, lalu berbalik melangkah masuk ke dalam rumah.
Bibi Yu tetap berdiri di tempat, menatap punggung Ethan yang menjauh dengan perasaan berat. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah Ethan naik ke atas.
Tuan Ethan orang yang baik, pikirnya, dia tidak pantas ditipu seperti ini. Namun rasa takutnya menahan langkah, sehingga ia hanya bisa menatap bulan di langit malam dan berkeliling halaman rumah megah, tak berani masuk.
Sementara itu, Ethan naik melewati tangga dan menuju lantai dua. Baru sampai di sana, ia mendengar suara air mengalir dari toilet, deras, ritmis, dan agak mencurigakan di tengah suasana rumah yang terlalu sunyi.
Ia berhenti sejenak, menajamkan telinga, lalu mendekat ke arah suara.
Saat Ethan membuka pintu toilet, matanya langsung menangkap sosok Zayn, berdiri dengan dada telanjang membelakanginya, wajahnya menghadap kaca cermin.
“Zayn?” Ethan memanggil, sedikit mengerutkan alis.
Mendengar suara Ethan, tubuh Zayn menegang seketika. Ethan? Bukannya dia baru pulang beberapa jam lagi? Kenapa sudah sampai sekarang?!
Dan Carisa? Ke mana Carisa? Kalau Ethan datang hanya beberapa detik lebih awal, mereka bertiga pasti sudah bertatap muka!
Zayn berusaha menenangkan detak jantungnya yang menggila, bersyukur setidaknya Carisa sudah sempat keluar lebih dulu. Dengan cepat, ia merapikan ekspresinya, berbalik dan tersenyum seolah tak terjadi apa pun.
“Ethan, kamu cepat sekali pulang?” suaranya dibuat santai.
“Aku suruh asistenku yang mengantar Dion, jadi aku pulang duluan,” jawab Ethan datar. Pandangannya sempat tertuju pada kemeja yang tergeletak di lantai. “Zayn, kenapa bajumu sampai dilepas?”
Otot wajah Zayn sempat berkedut, tapi ia menahan gugupnya dan berkilah, “Tadi waktu di pesta aku minum terlalu banyak, sempat muntah kena baju. Jadi kubuka saja, mau kubuang nanti.”
“Oh.” Ethan hanya mengangguk pelan. Matanya kemudian menelusuri ruang toilet yang bersih, lalu bertanya lagi, “Kenapa tidak pakai toilet kamar sendiri?”
Zayn terkekeh kecil, berusaha santai. “Toiletnya mampet. Aku sudah minta Paman Sam betulkan, tapi belum datang, jadi sementara ke sini dulu.”
Ethan tak lagi bertanya, meski matanya sempat melihat sekeliling dengan curiga.
Zayn baru sedikit lega saat Ethan tampak hendak berbalik, namun mendadak jantung kembali terkaget, di lantai dekat kaki Ethan, ia melihat anting emas berbentuk ginkgo milik Carisa!
Kalau Ethan sampai menunduk, pasti melihatnya!
“Ethan!” panggil Zayn cepat-cepat, meraih bahu Ethan, membuat jarak mereka nyaris rapat.
Ethan menatapnya heran. “Ada apa?”
“Aku baru ingat,” Zayn memaksa senyum, “waktu aku mengantar Carisa ke sini, dia sempat bilang merasa tidak enak badan. Mungkin sebaiknya kamu cek ke kamar.”
Zayn menahan napas, mencoba menutupi kepanikan dalam suaranya. Ia tidak berani menunduk untuk mengambil anting itu sekarang, tapi juga tidak mungkin membiarkannya ketahuan.
Ethan menatap Zayn beberapa detik, lalu mengangguk. “Baik, aku lihat dia dulu,” katanya, lalu segera berbalik dan meninggalkan toilet.
Begitu bayangan Ethan menghilang, Zayn langsung berjongkok, meraih anting Carisa yang bersinar di lantai seperti bara api yang hendak membakar rahasianya. Dengan napas berat, ia menatap benda kecil itu, sebelum akhirnya melemparkannya ke dalam kloset dan menekan tombol flush dengan keras.
Anting emas itu menghilang terbawa air. Zayn berdiri, menepuk kening yang sudah dipenuhi keringat dingin. Semoga Carisa tidak panik dan ketahuan…
Ethan masuk ke kamar Carisa. Dari dalam kamar mandi, ia mendengar suara air mengalir dan suara Carisa bersenandung pelan.
Nada ceria di suaranya membuat Ethan sedikit lega, mungkin perayaan Ulang tahun pernikahan mereka tadi benar-benar membuatnya bahagia.
Ia mendesah pelan, meletakkan jas di sandaran kursi, lalu duduk di tepi ranjang untuk melepas penat.
Namun saat matanya menatap ke tong sampah di samping ranjang, ia merasa ada yang janggal. Di sana tergeletak gaun yang dikenakan Carisa di pesta tadi.
Sekilas tak ada yang aneh membuang gaun setelah pesta, tapi Ethan memperhatikan lebih teliti, kainnya terlihat ada noda yang tidak wajar, basah, dan semacam robekan samar di bagian bawahnya.
Kening Ethan berkerut. Ia berdiri pelan, mendekat, dan menunduk memeriksa gaun itu, firasatnya tiba-tiba tidak enak.
Namun baru melangkah satu langkah, Ethan tiba-tiba berhenti, mengapa dirinya, seorang direktur besar, harus tertarik memeriksa isi tong sampah? Bukankah itu terlalu aneh?
Ethan menarik napas dalam, menahan rasa curiga samar yang mencengkeram dadanya. Tapi sebelum sempat memutuskan, Carisa muncul dari kamar mandi sambil mengelap rambut, hanya berbalut jubah mandi.
Berbeda dengan ketenangan Zayn sebelumnya, Carisa langsung syok melihat Ethan sudah di kamar. Kakinya bahkan terasa lemas, membuatnya bersandar ke tembok sambil menatap Ethan dengan panik.
“E...Ethan… k....kenapa kamu sudah pulang?” suaranya bergetar tak terkendali.
Ethan merasa semakin aneh. Biasanya, kalau ia pulang, Carisa akan berlari memeluknya dengan penuh semangat. Sekarang justru seperti melihat hantu.
“Aku… tidak seharusnya pulang?” Ethan balik bertanya dengan datar.
Pertanyaan itu membuat Carisa membeku, kesadarannya hanya tinggal sedikit, ia memaksa tersenyum meski suaranya tetap bergetar. “Hehe… aku cuma kaget, itu saja.”
Ethan menatapnya lama, tak berkata apa-apa, lalu duduk di tepi ranjang. Ada rasa tak nyaman di dadanya, perasaan ganjil yang tidak tahu muncul dari mana. Ia bahkan sempat meragukan apakah pikirannya sekarang terlalu curiga, karena akhir-akhir ini pikirannya terus dipenuhi tentang Irish dan kedua anaknya.
Carisa berusaha menenangkan napasnya, lalu perlahan mendekat dan duduk di samping Ethan. Wajahnya pucat, sorot matanya tak stabil.
Dengan suara hati-hati, ia bertanya, “Ethan, kamu kenapa? Kelihatan sangat tidak senang. Kamu capek, ya?”
Ethan hanya menatapnya tanpa menjawab. Pandangannya menyapu wajah Carisa, lalu tertuju pada lehernya. Ia melihat dua bekas merah samar di sana, bisa saja karena mandi air panas, tapi juga sangat mirip bekas bermesraan.
Jantung Ethan berdetak dengan laju. Apa-apaan ini? Carisa adalah istriku, teman seperjuanganku sejak kuliah. Mana mungkin…
Ia buru-buru menggeleng, mencoba menepis pikiran menakutkan itu. Namun rasa sesak di dadanya tak mau hilang.
Carisa menangkap sorot aneh di mata Ethan, semakin gelisah. “Ethan… kamu jangan diam seperti itu, aku jadi takut…”
“Tidak apa-apa,” jawab Ethan akhirnya, dengan suara berat. Ia memejamkan mata, menenangkan diri.
“Ayo cepat istirahat,” bujuk Carisa sambil berusaha meraih bahunya untuk melepas jas Ethan.
“Aku buka sendiri.” Ethan langsung berdiri saat tangan Carisa hendak menyentuhnya.
“Aku mau mandi.” Ia berbalik, menuju kamar mandi tanpa menoleh lagi.
Carisa hanya bisa menatap punggungnya, napasnya sesak. Dia ketakutan kalau-kalau Ethan benar-benar sudah mencium sesuatu yang janggal. Tapi… kalau Ethan sudah tahu, pasti reaksinya tidak akan setenang ini, bukan?
Ia terbaring pelan di dalam selimut, memejamkan mata, walau sebenarnya dia begitu gelisah.
Ethan berdiri di bawah pancuran air hangat, membiarkan alirannya menenangkan otot-ototnya. Namun kehampaan di dadanya tidak ikut pergi.
Ia memejamkan mata, mengingat lagi sumber ganjil ini. Sejak Irish muncul kembali di hidupnya, pikirannya jadi sering kacau. Kadang ia gagal pulang tepat waktu, menutupi hal-hal kecil pada Carisa, dan tanpa sadar malah membanding-bandingkan. Akibatnya, Carisa di depan matanya terasa tidak sama lagi dengan Carisa dalam ingatannya. Perbedaan kecil ini membuat rasa curiga samar terus tumbuh.
Setelah selesai mandi, Ethan keluar. Carisa sudah tampak tertidur, meringkuk dalam selimut, seperti anak kecil yang ketakutan.
Ethan duduk di tepi ranjang, menatapnya lama, lalu menghela napas. Ia akhirnya meraih Carisa, memeluknya, mencoba meyakinkan diri bahwa ini tetap rumahnya, tetap keluarganya.
Carisa yang sebenarnya masih terjaga langsung merasa jantungnya lemah, tadinya ia ketakutan Ethan sudah tahu segalanya, tapi sekarang Ethan tetap memeluknya seperti dulu. Itu berarti dia belum menyadari apa pun.
Carisa pun akhirnya tertidur dalam rasa lega.
Namun Ethan hanya pura-pura tidur. Setelah napas Carisa teratur, ia membuka mata lagi, menatap gelap kamar, pikirannya melayang entah ke mana.
Malam itu, adalah malam pertama sejak menikah di mana Ethan dan Carisa tidak lagi sehati.
Setelah rumah Irish terendam air, sebagian besar perabotnya rusak dan tak layak pakai. Karena terdesak, Irish terpaksa meminta Wakil Manager Hendra mencairkan gaji lebih awal. Wakil Manager Hendra sempat menyetujui, tetapi kabarnya malah sampai ke telinga Hanna.
Alhasil, hari itu Irish bukan menerima transfer gaji, melainkan kedatangan satu truk penuh furnitur dan perlengkapan rumah tangga.
Irish menatap barang-barang yang diturunkan dari truk, termasuk set furnitur kayu redwood yang harganya puluhan juta. Ia hampir pingsan.
“Berapa hutang yang harus aku bayar untuk semua ini?” suaranya bergetar.
Irish langsung merasa lututnya lemas. Membayangkan utang budi yang harus dibayarnya nanti pada Hanna.
gemessaa lihatnya