Tak pernah terpikirkan bagi Owen jika dirinya akan menikah dengan selebgram bar-bar semacam Tessa. Bahkan di sini dialah yang memaksa Tessa agar mau menikahinya. Semua ia lakukan hanya agar Tessa membatalkan niatnya untuk menggugurkan kandungannya.
Setelah keduanya menikah, Tessa akhirnya melahirkan seorang putri yang mereka beri nama Ayasya. Kehadiran Ayasya, perlahan-lahan menghilangkan percekcokan yang awalnya sering terjadi di antara Tessa dan Owen. Kemudian menumbuhkan benih-benih cinta di antara keduanya.
Empat tahun telah berlalu, satu rahasia besar akhirnya terungkap. Seorang pria tiba-tiba datang dan mengaku sebagai ayah biologis Ayasya.
Bagaimana kelanjutan rumah tangga Owen dan Tessa?
Apakah Ayasya akan lebih memilih pria yang mengaku sebagai ayah biologisnya dibanding Owen, ayah yang merawatnya selama ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ShasaVinta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Gangguan saat makan malam
“Hem … nikmatnya! Aromanya menggoda.”
Dengan senyum puas yang menghiasi wajah cantiknya, Tessa memuji nasi goreng yang ia buat. Nasi goreng yang menjadi menu sarapan andalan keluarga kecilnya.
Seraya bersenandung riang, Tessa menghidangkan nasi goreng di meja makan. Menambahkan potongan buah segar, juga dua cangkir teh manis hangat untuknya dan suami. Spesial untuk putrinya, Tessa menyiapkan nasi, orak-arik telur dan sayuran tumis untuk menjadi menu sarapan.
Derap langkah kaki suaminya yang berjalan mendekat, juga celotehan Ayasya terdengar membuat Tessa menoleh. Seraya menatap keduanya, dalam hati Tessa memanjatkan betapa bersyukurnya ia memiliki keduanya.
Owen lebih dulu mendudukkan Ayasya di kursi makan khusus untuk putrinya, sebelum ia juga menempati kursi yang biasanya ia tempati.
“Loh … Aya udah cantik gini, siapa sih yang dandanin?” tanya Tessa pada putri kecilnya.
“Ayah,” jawab Aya seraya menunjuk ke sosok Ayahnya.
“Bilang makasih dong sama Ayah,” suruh Tessa.
“Matacih Ayah,” ucap Aya sesuai perintah Bunda-nya.
“Sama-sama putri cantiknya, Ayah,” balas Owen.
“Yeahhh … aku tantik!” Pekik Aya dengan riang setelah menerima pujian dari Ayahnya. Pria pertama yang ia cintai dan menjadi idolanya.
Tingkah-tingkah Aya yang seperti inilah, yang menjadi sumber penghiburan bagi kedua orang tuanya. Dan bagi keduanya, momen-momen seperti ini lah yang tak ingin mereka lewatkan dalam masa tumbuh kembang Ayasya.
“Iya … iya … anak Bunda dan Ayah memang paling cantik. Bundanya sudah kalah cantiknya.” Mendapat pujian dari Bundanya membuat Aya semakin riang.
Bunyi bel pintu menghentikan kegiatan keluarga kecil itu yang sedang asyik bercengkerama. Tessa menatap Owen yang sedang menikmati secangkir teh manis buatannya.
“Siapa yang datang pagi-pagi gini, ya?” gumam Tessa.
“Bang, apa kamu lagi menunggu seseorang?” Tanya Tessa pada suaminya, sebab biasanya hanya suaminya yang memiliki janji temu.
Owen menggeleng sebagai jawaban. Mulutnya sedang sibuk mengunyah potongan buah melon.
“Ya sudah, aku buka dulu pintunya.” Tessa kemudian berlalu menuju pintu.
Karena terburu-buru, Tessa melupakan wejangan suaminya, yang meminta ia untuk selalu mengintip lebih dulu melalui jendela sebelum membuka pintu. Tujuannya tak lain adalah demi keamanan. Bisa saja orang di balik pintu memiliki niat jahat.
Dan apa yang dikhawatirkan Owen benar terjadi. Saat membuka pintu, Tessa sampai ternganga keheranan saat melihat sosok Nawra dengan baju super ketatnya sudah berdiri di ambang pintu.
Jika kemarin pagi ia membawa sepiring kue, pagi ini ia membawa mangkuk besar di tangannya. Entah apa isinya, Tessa pun belum tahu. Yang bisa ia pastikan jika wanita di hadapannya ini adalah wanita licik. Dan dia harus waspada dengannya.
“Selamat pagi,” sapa Nawra bersemangat.
“Pa-pagi. Nawra, kamu ada keperluan apa pagi-pagi datang ke rumah kami?” tanya Tessa.
“Aku ingin sarapan bersama di sini,” jawabnya santai. “Nih, aku sudah bawa menu sarapan spesialnya,” lanjutnya.
“Ta-tapi ….” Tessa baru akan menolak, namum Nawra dengan tak tahu dirinya menerobos masuk ke dalam rumah.
Rumah sederhana yang tak begitu luas, memudahkan Nawra menemukan di mana letak meja makan keluarga itu. Senyumnya mengembang, manakala melihat Owen duduk di sana.
“Loh! Mau apa kamu?” tanya Owen bingung.
“Aku mau sarapan bareng di sini, boleh kan?”
“Mana Tessa, istriku?” tanya Owen yang tak melihat sosok Tessa.
“Aku di sini, Bang,” jawab Tessa yang muncul dari balik punggung Nawra.
“Bun … ada apa ini?” tanya Owen dengan intonasi suara yang sengaja ia kecilkan.
Tessa mengedikkan bahunya. “Kan tadi sudah dijawab, katanya teman lama kamu itu mau ikut sarapan bareng kita.”
“Ta-tapi ….” Belum selesai kalimat Owen terucap, Nawra sudah menarik kursi berhadapan dengan Tessa.
“Iya, aku sarapan di sini ya, kumohon.” Nawra memelas.
“Aku belum sempat menata semua barang-barangku. Sudah kucari di dalam kardus yang kubawa, tapi aku tak menemukan di mana letak aku menyimpan peralatan makanku,” jelas Nawra.
“Boleh, ya?”
Owen tak menjawab. Ia menoleh menatap pada istrinya, dengan maksud membiarkan Tessa yang mengambil keputusan.
Setelah menghela napas berat, Tessa akhirnya mengangguk. Seandainya ia menolak, Tessa yakin Nawra tetap tak ingin beranjak. Juga dirinya masih mengetahui sopan santun.
“Makasih ya,” ucap Nawra sebelum membuka penutup wadah yang ia bawa.
“Karena aku tak pernah lupa dengan menu sarapan kesukaanmu, makanya pagi ini aku sengaja memesan lontong sayur.” Tanpa permisi, Nawra mengambil piring kosong yang berada di hadapan Owen. Menuangkan beberapa sendok lontong sayur.
“Nih buat kamu, Wen.”
“Maaf ya, jika rasanya tak sesuai seleramu. Lain kali, aku tak akan beli. Aku yang akan membuatnya langsung untukmu.”
Tak merasa bersalah sama sekali, Nawra melakukan itu tanpa melirik sama sekali ke arah dua orang di hadapannya, Tessa dan Ayasya.
Seandainya tak ada Aya di sampingya, ingin rasanya Tessa menyiram wajah menyebalkan Nawra dengan teh buatannya. Bagaimana mungkin wanita ini masuk ke dalam rumahnya, dan bertingkah seolah-olah ia adalah nyonya rumah.
Tangan Tessa mengepal. Dalam hati ia meminta agar Tuhan meminjamkannya stok sabar lagi. Hari ini stok sabar yang ia miliki telah habis ia gunakan untuk menghadapi wanita menyebalkan di hadapannya.
“Tak perlu repot-repot, Ra,” ucap Owen. “Kau bisa mengambil lagi lontong sayur ini. Untuk sekarang dan seterusnya, sarapan favoritku adalah nasi goreng buatan istriku.”
Nawra bergeming, Owen tak hanya menolaknya. Tapi juga mempermalukan dirinya di hadapan Tessa.
Owen yang melihat tak ada pergerakan dari Nawra, akhirnya meminta istrinya untuk mengambilkan sarapan untuknya. “Bun, tolong nasi gorengnya, dong!”
“Yang banyak, ya. Aku lapar banget,” lanjutnya.
Dengan senyum manis Tessa mengangguk lalu mulai menyendokkan nasi goreng ke piring. Tessa memindahkan piring berisi lontong sayur, dari hadapan suaminya ke hadapan Nawra.
“ Ayah makan yang banyak, yah,” ucap Tessa pada suaminya.
“Dan kamu Nawra, silakan nikmati juga lontong sayurmu,” lanjut Tessa.
“Eh, tapi … jika kamu juga ingin menyicipi rasa nasi goreng kesukaan suamiku, silakan ambil sendiri saja ya. Jangan sungkan,” ucap Tessa.
Yes, 1-0! Batin Tessa bersorak.
…
Sore hari, sengaja Tessa bertandang ke rumah Nawra. Ia membawa turut serta putrinya. Tessa berjalan perlahan mengikuti langkah kecil putrinya, menuju kediaman Nawra yang hanya berjarak tiga rumah dari rumahnya.
“Tamannya cantik,” puji Tessa saat berjalan masuk ke halaman rumah Nawra.
Ting … tong …. Tak lama setelah Tessa menekan bel, pintu rumah Nawra terbuka.
“Tessa!” Nawra tampak terkejut dengan kedatangan istri dari pria incarannya.
“Silakan masuk,” ucapnya ramah.
“Ada keperluan apa, ya?” tanya Nawra.
“Aku kemari dalam rangka menjadi tetangga yang baik.” Bukannya duduk di ruang tamu, Tessa berjalan perlahan mengelilingi rumah Nawra. Persis seperti yang dilakukan wanita itu saat pertama kali datang kerumahnya.
“Maksudnya?” tanya Nawra yang mengekori Tessa.
“Bukannya malam nanti kamu akan mengadakan reuni? Aku kemari ingin membantumu mempersiapkan hidang-“ ucapan dan langkah Tessa terhenti saat di hadapannya ada meja makan yang tak jauh dari dapur.
Tessa mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dilihatnya dapur milik Nawra sudah tertata rapi dan lengkap dengan berbagai macam peralatan masak. Sementara di atas meja makan, bermacam-macam menu makanan telah siap untuk dihidangkan.
“Wow! Kamu mengerjakan ini sendiri? Secepat itu?!” Tessa berdecak kagum. “Kamu hebat, Ra.” Pujinya.
“Awalnya kupikir kamu akan kerepotan menyiapkan acara reuni, makanya aku hendak membantumu,” ungkap Tessa.
“Tapi karena kamu sudah selesai menyiapkannya, aku pamit pulang dulu ya.” Tessa lalu menggendong putrinya, kemudian berlalu meninggalkan rumah Nawra.
...…...
Malam harinya, Owen sudah duduk manis di meja makan. Seorang diri, ia menanti istrinya selesai memasak makan malam. Putri kecilnya sudah lebih dulu terlelap.
“Makan malam sudah siap!” Seru Tessa yang berjalan dari dalam dapur.
Kedua netra Owen membola saat istrinya meletakkan semangkuk lontong sayur di atas meja makan.
“Bun,” panggil Owen. “Kok lontong sayur lagi?”
“Lagi? Kan tadi pagi kamu belum sempat makan. Makanya malam ini aku buat lagi makanan kesukaanmu ini,” jawab Tessa.
Owen menggeleng, menatap punggung istrinya yang kembali ke dapur untuk mengambil lauk lainnya. “Apa karena Nawra? Masih cemburu ya, Bun?”
“Cemburu apaan? Nggak kok,” elak Tessa.
“Eh, Bang … tadi sore aku dan Aya ke rumah Nawra,” ucap Tessa seraya menyendokkan nasi dan lauk ke piring Owen.
”Ngapain kalian ke sana?”
“Iseng aja,” jawab Tessa singkat. “Awalnya niat bantuin, kan acara reuni kalian malam ini,” lanjutnya.
“Kamu nyari kerjaan aja,” ucap Owen. “Mending juga di rumah, rebahan.”
“Kan niatnya baik, Bang. Lagipula, aku juga nggak jadi bantuin. Karena semua persiapannya sudah siap,” ujar Tessa.
“Aku jadi curiga, yang katanya dia numpang sarapan di rumah kita karena belum beres-beres barang itu hanya modus!”
“Nah ini nih … yang awalnya kamu niatnya baik karena mau bantuin, jadinya malah nggak baik karena berprasangka buruk sama orang lain,” ujar Owen menasihati istrinya.
Tessa mencebik. “Tapi aku gak asal berprasangka buruk, Bang. Ada alasannya.”
“Iya … iya … tapi lain kali jangan gitu lagi, ya.” Sebelum perdebatan keduanya memanas, lebih baik Owen mengakhirinya. “Sekarang ayo kita makan,” ajaknya.
“Loh, Bang! Ini kan sudah hampir jam 8 malam, kamu nggak ke rumah Nawra?” tanya Tessa.
“Ngapain aku ke sana?”
“Reuni,” Tessa mengingatkan.
Owen menggeleng. “Aku nggak pergi. Aku nggak mau istri aku makin cemburu,” ujar Owen membuat Tessa menahan senyumnya.
Baru saja hendak menyendokkan makanannya, bel rumah mereka kembali berbunyi.
“Astaga! Mengapa tiap kali hendak makan, selalu saja ada gangguan.” Owen menggerutu.
Tessa hendak berdiri untuk membuka pintu, sebelum Owen mencegahnya. “Udah Bun, duduk saja. Biar aku yang buka pintunya.”
...--------------...
nawra wanita licik, ben..
wah alfio serius kamu suka ama qanita aunty dari putri mu, takdir cinta seseorang ga ada yang tau sih ya.
kak shasa setelah ini kasih bonchap kak pengen tau momen tessa melahirkan anak kedua nya, pengen tau raut bahagia dari owen, aya dan semua menyambut kelahiran adik nya aya...