Pertemuan Andre dan fanda terjadi tanpa di rencanakan,dia hati yang berbeda dunia perlahan saling mendekat.tapi semakin dekat, semakin banyak hal yang harus mereka hadapi.perbedaan, restu orang tua,dan rasa takut kehilangan.mampukah Andre dan fanda melewati ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nangka123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21: Cinta dan Bahaya
Hari-hari di apartemen terasa seperti bulan madu kedua bagi Fanda dan Andre.
Mereka sibuk menata hidup baru, tertawa karena hal-hal sepele, dan menikmati rutinitas sederhana yang justru membuat keduanya semakin dekat.
Namun sejak pesan aneh itu masuk, Andre tak pernah benar-benar bisa rileks. Ada perasaan waspada yang ia sembunyikan di balik senyum hangatnya kepada Fanda.
Sore itu, Fanda baru selesai mandi dan keluar dengan rambut masih basah.
Andre sedang duduk di sofa, menatap layar ponselnya dengan dahi sedikit berkerut.
“Mas, kenapa? Dari tadi bengong terus?” tanya Fanda sambil mengeringkan rambut dengan handuk.
Andre menoleh cepat, seakan terkejut, lalu tersenyum menenangkan.
“Enggak, Sayang. Cuma lagi cek jadwal kerja. Besok agak padat.”
Fanda memandangnya sejenak, lalu duduk di sampingnya.
“Kamu pasti mikirin pesan itu, kan?”
Andre terdiam, lalu menghela napas panjang.
“Iya… tapi aku nggak mau bikin kamu tambah cemas. Aku cuma pengen kamu merasa aman.”
Fanda meraih tangan suaminya dan menggenggam erat.
“Mas, aku lebih takut kalau kamu malah nutupin perasaanmu. Kita kan udah janji jalanin semuanya bareng. Kalau kamu cemas, bilang ke aku, biar kita sama-sama saling menguatkan.”
Andre menatap istrinya. Ada rasa lega sekaligus haru mendengar itu.
“Kamu bener, Sayang. Aku nggak akan sembunyiin apa-apa lagi. Kalau memang Zul yang ngirim pesan itu… berarti dia belum bisa ikhlas.”
“Aku kasihan sih, Mas… tapi sekaligus takut. Orang yang sakit hati kadang bisa nekat.”
Andre meraih bahunya, menarik Fanda ke pelukannya.
“Kalau dia nekat, biar aku yang hadapi. Kamu jangan khawatir. Kita nggak salah, jadi kita nggak perlu takut.”
Hening sejenak.Lalu Fanda berbisik.
“Mas… jangan pernah tinggalin aku, apa pun yang terjadi.”
Andre mengecup keningnya lama-lama.
“Aku nggak akan pernah pergi.sekarang Kamu adalah rumahku.”
Sementara itu, di dalam bar, Zul menatap layar ponselnya. Ada foto terbaru Fanda dan Andre di balkon apartemen, diambil diam-diam dari kejauhan. Ia tersenyum tipis.
“Tenang saja, Fanda. Aku akan buat Andre hilang dari muka bumi ini.”
Di ruang VIP bar mewah itu, Zul menunggu preman yang akan menghajar Andre. Wajahnya dingin, jarinya mengetuk meja, Akhirnya, orang yang ditunggu tiba.
“Halo, Pak Zul.”
“Silakan duduk. Aku punya kerjaan untuk kalian.”
“Kerjaan apa, Pak Zul?”
“Kerja kalian gampang,” ucap Zul datar sambil menyalakan rokok.
“Aku cuma mau orang ini kapok.” Ia menyodorkan foto Andre.
“Jangan sampai mati, tapi bikin dia ngerti… kalau dia nggak pantas di samping Fanda.”
Salah satu pria itu menyeringai.
“Tenang aja, Bos. Biar dia ngerasain sakitnya hidup.”
Zul mengeluarkan amplop tebal berisi uang dan meletakkannya di meja.
“Besok malam, kalian jalankan perintah saya.”
Mereka mengangguk mantap, lalu beranjak pergi.
Zul mengisap rokoknya, matanya menatap kosong ke arah jendela.
“Maaf, Fanda… aku nggak akan biarkan kamu bahagia sama dia.”
Keesokan malamnya, Andre baru saja keluar dari kantor. Ia menyuruh Fanda menunggu di mobil lebih dulu karena ada dokumen yang tertinggal.
Ia berjalan menuju parkiran sambil membawa map berisi berkas penting.
Tiba-tiba, suara langkah berat terdengar dari belakang. Begitu ia menoleh, tiga pria asing sudah berdiri menghalangi jalannya.
“Hei, ini orangnya,” kata salah satu.
Andre langsung tahu ada yang tidak beres. Ia mundur, matanya siaga.
“Maaf, saya tidak kenal kalian. Kalau mau cari masalah, lebih baik.....”
Belum sempat ia selesai bicara, salah satu pria melayangkan tinju. Andre berhasil menghindar, tapi dua lainnya langsung menyerang dari sisi berbeda. Map di tangannya jatuh berserakan.
Meski bukan petarung, Andre cukup tangguh. Ia menangkis sebisa mungkin, membalas dengan pukulan seadanya.
Namun jumlah mereka terlalu banyak dan badan mereka lebih besar. Satu tendangan keras mengenai pinggangnya, membuatnya terhuyung.
“Rasain, dasar sok jagoan!” teriak salah satu pria sambil menghantamkan pukulan ke rahang Andre.
Darah menetes dari sudut bibirnya.
“Kalau Zul yang nyuruh kalian… sampaikan, aku nggak akan pernah lepasin Fanda, apa pun caranya.”
Para pria itu terdiam sejenak, lalu menghajar lagi dengan brutal. Andre jatuh berlutut, tubuhnya penuh memar.
Di kejauhan, suara klakson mobil terdengar.
Para penyerang panik lalu kabur, meninggalkan Andre yang tergeletak di lantai parkir.
Beberapa menit kemudian, Fanda yang menunggu di mobil mendapati suaminya berjalan tertatih mendekat. Wajahnya pucat, darah mengalir di sudut bibirnya.
“Mas! Astaga, Mas kenapa ini?!”
Fanda berlari memapahnya dengan panik.
Andre tersenyum lemah, mencoba menenangkan istrinya.
“Aku nggak apa-apa… cuma sedikit luka. Jangan takut.”
Fanda menangis sambil memeluknya. “Sedikit luka apanya! Siapa yang tega ngelakuin ini ke kamu?”
Andre terdiam sejenak, lalu berbisik pelan. “Ini ulah Zul… dia sudah mulai nekat.”
Fanda terlihat marah.
“Mas… aku takut dia akan lebih nekat lagi. Apa sebaiknya kita lapor polisi?”
Andre menatap istrinya.
“Tidak perlu, Sayang.”
“Tapi…”
“Denger aku, Sayang. Dia boleh coba seribu cara. Selama aku hidup, aku nggak akan biarin dia ambil kamu dariku.”
Fanda menggenggam tangannya erat, air matanya mengalir deras.
“Aku sama sekali nggak mau kehilangan kamu, Mas.”
Di tempat lain, Zul menerima laporan lewat telepon. Suara di seberang bilang target sudah dihajar.
Zul hanya tersenyum tipis, lalu meneguk minumannya.
“Bagus... Itu baru awal. Andre harus tahu, dia nggak akan pernah bisa lawan aku.”
Malam itu,Fanda dengan tangan gemetar membersihkan luka di pelipis dan bibir Andre, sementara suaminya hanya duduk diam di kursi, berusaha menahan sakit.
“Mas… sabar ya, sebentar lagi selesai,” bisik Fanda, matanya berkaca-kaca.
Andre tersenyum tipis meski wajahnya lebam.
“Sayang, aku nggak papa. Kamu jangan nangis gitu. Lihat aku, masih kuat kok.”
Fanda menggigit bibirnya, air mata jatuh tanpa bisa ditahan. Ia menempelkan kapas ke luka di rahang Andre, lalu menatapnya dengan marah bercampur sedih.
“Mas, kenapa sih kamu harus selalu bilang ‘nggak papa’? Lihat tubuhmu… penuh memar! Ini jelas bukan ‘nggak papa’!”
Andre meraih tangan istrinya,menenangkannya.
“Kalau aku ngeluh, nanti kamu tambah takut. Aku cuma nggak mau kamu khawatir.”
Fanda menunduk, menahan tangisnya. Hatinya hancur melihat laki-laki yang ia cintai dihajar hanya karena mantan kekasihnya.
Setelah semua luka dibalut, Fanda duduk di samping Andre. Ia menatap wajah suaminya lama-lama, lalu menggenggam tangannya erat.
“Mas… kita nggak bisa terus-terusan gini. Kalau Zul udah berani main kasar, artinya dia nggak bakal berhenti sampai tujuan dia tercapai.”
Andre menghela napas, mengusap rambut istrinya pelan.
“Kamu mau gimana, Sayang?”
Fanda menegakkan tubuh, matanya berkilat penuh tekad.
“Aku mau lawan dia. Bukan dengan emosi… tapi dengan hukum. Kita laporkan semua ini, biar dia tahu kalau kita nggak bisa dipermainkan.”
Andre menatapnya dalam-dalam. Ia tahu Fanda benar, tapi hatinya juga khawatir.
“Apa kamu yakin? Kalau kita bawa ini ke jalur hukum, nanti Zul bisa makin nekat.”
Fanda menggenggam tangannya lebih erat lagi.
“Justru karena itu, Mas. Kalau kita diam, dia pikir kita lemah. Aku capek hidup dalam ancaman. Aku nggak mau terus-terusan takut. Aku punya kamu, aku punya keberanian. Dan aku nggak akan biarkan dia merusak rumah tangga kita.”
Andre menatap istrinya dengan kagum. Luka di tubuhnya terasa tak ada apa-apanya dibanding semangat yang ia lihat di mata Fanda malam itu.
“Baik, Sayang. Kalau itu yang kamu mau, Kita lawan dia sama-sama.”
Fanda mengangguk, lalu memeluk Andre erat.
“Mulai besok, kita kumpulkan bukti. Pesan-pesan dia, semua yang bisa kita pakai. Aku nggak peduli Zul siapa, dia harus tahu ada batas yang nggak boleh dilewati.”
Andre mengusap punggungnya, membisikkan pelan.
“Aku bangga sama kamu, Sayang. Kamu lebih berani dari yang aku kira.”
Malam itu mereka tertidur dalam pelukan, meski hati masih dipenuhi rasa waswas.