Menginjak usia 20 tahun Arabella zivana Edward telah melalui satu malam yang kelam bersama pria asing yang tidak di kenal nya,semua itu terjadi akibat jebakan yang di buat saudara tiri dan ibu tirinya, namun siapa sangka pria asing yang menghabiskan malam dengan nya adalah seorang CEO paling kaya di kota tempat tinggal mereka. Akibat dari kesalahan itu, secara diam-diam Arabella melahirkan tiga orang anak kembar dari CEO tersebut
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanda wistia fitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Sudah seminggu penuh Arabella absen dari Opulent Holdings Company.
Tidak ada kabar, tidak ada pesan, bahkan tidak satu pun karyawan tahu ke mana dia pergi.
Julian mulai gelisah.
Beberapa waktu lalu, putrinya itu tampak begitu antusias mengubah sistem perusahaan tegas, cepat, dan cerdas.
Namun tiba-tiba, Arabella menghilang begitu saja.
Pagi itu, Julian memerintahkan sekretaris pribadinya mencari tahu keberadaan sang putri.
Dan hasilnya membuat darahnya berdesir campur aduk antara terkejut, kagum, dan marah.
“Jadi… dia mendirikan perusahaan sendiri?” gumam Julian lirih sambil menatap layar tablet di tangannya.
Di sana terpampang berita tentang Arabella Technology, perusahaan rintisan baru yang telah menembus pasar internasional dengan produk chip mobil pintar.
Dalam waktu seminggu saja, Arabella berhasil mencetak keuntungan hingga jutaan dolar
Julian meletakkan tablet itu dengan gerakan pelan tapi tegas, rahangnya mengeras.
Di ruang tamu besar itu, Catherine duduk santai di sebelahnya, sambil mengaduk teh tanpa minat.
Sementara Vania, yang sedang memainkan ponselnya, langsung menoleh begitu mendengar nama Arabella disebut.
“Arabella?” tanya Vania cepat. “Apa lagi yang dia lakukan kali ini?”
Julian menatap putrinya yang satu itu, lalu bersandar di kursi.
“Dia membangun perusahaan sendiri. Arabella Technology. Dan kau tahu? Dalam seminggu dia menghasilkan hingga jutaan dolar dari penjualan chip hasil risetnya.”
Catherine spontan tertawa kecil, nada suaranya penuh sinis.
“Tidak mungkin. Gadis itu dulu bahkan tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Sekarang tiba-tiba punya perusahaan teknologi? Pasti ada yang membantunya.”
Julian hanya diam.
Ia tahu Arabella bukan gadis sembarangan.
Meski keras kepala, Arabella mewarisi kecerdasan dan keteguhan hati ibunya,dua hal yang membuat Julian selalu merasa terancam.
Namun, semakin ia berpikir, semakin jelas niat busuk itu mulai tumbuh dalam benaknya.
“Kalau Arabella bisa membuat perusahaan sebesar itu dalam waktu sesingkat ini…” ucapnya pelan, matanya menatap kosong ke arah jendela besar,
“…bayangkan jika kita menggabungkan Arabella Technology dengan Opulent Holdings.”
Catherine menatapnya tajam, senyum licik mulai terbentuk di bibirnya.
“Gabung perusahaan? Maksudmu kau ingin mengambil alih?”
Julian mengangguk pelan.
“Dia masih membawa nama Edward. Itu sudah cukup alasan bagi publik untuk percaya kalau semua pencapaiannya tetap berasal dari keluarga ini.”
Vania ikut tersenyum tipis, meski matanya penuh kebencian.
“Biarkan aku yang mengurusnya, Papa. Aku tahu bagaimana cara membuat Arabella menyerahkan apa pun yang dia miliki. Lagipula… aku penasaran, siapa sebenarnya yang mendukungnya kali ini.”
Catherine menambahkan dengan nada manis namun beracun,
“Arabella terlalu naif. Gadis seperti itu mudah dipatahkan, apalagi kalau urusannya melibatkan perasaan.”
Julian hanya diam, tapi matanya sudah penuh rencana.
Ia tahu, satu-satunya cara untuk menundukkan Arabella adalah menyentuh titik lemahnya anak-anaknya, dan masa lalu yang ingin dikuburnya rapat-rapat.
“Jangan terburu-buru,” katanya akhirnya, suaranya rendah namun tajam.
“Kita akan biarkan dia merasa aman dulu… sebelum semuanya kembali ke tangan kita.”
Ketiganya tertawa senang, seolah rencana yang mereka susun akan berjalan mulus.
Bagi Julian, Catherine, dan Vania, ini adalah awal menuju kemenangan besar.
Namun mereka lupa satu hal
Arabella yang sekarang bukan lagi gadis lemah yang mudah menuruti kehendak siapa pun, bahkan ayah kandungnya sendiri.
Ia telah belajar dari rasa sakit, dari setiap luka dan penghianatan yang pernah ia alami.
Kini, Arabella berdiri tegak dengan prinsip yang tak mudah digoyahkan.
Di sisi lain, Nicholas tengah duduk di sebuah kafe yang cukup sepi di sudut kota.
Tangannya menggenggam cangkir kopi yang mulai dingin, matanya kosong menatap keluar jendela.
Sudah seminggu lebih ia tidak melihat Arabella di Opulent Holdings.
Awalnya ia mengira Arabella hanya mengambil cuti, tapi semakin hari rasa rindunya justru makin menjadi.
Ia rindu melihat gadis itu berjalan cepat sambil membawa berkas, atau saat ia diam-diam memperhatikan Arabella yang sedang menatap layar laptop sambil menyeruput es kopi kesukaannya.
Nicholas selalu memperhatikan Arabella, bahkan hal kecil seperti cara gadis itu menggigit ujung pulpen saat berpikir pun terekam jelas di kepalanya.
Ia mengenal setiap gerak-gerik wanita itu,satu-satunya wanita yang dulu ia nodai,dan juga wanita yang di hancurkan masa depan nya
Tapi saat ia mengetahui Arabella mendirikan perusahaan teknologi miliknya sendiri perasaan Nicholas campur aduk.
Ada kebanggaan, melihat betapa kuat dan cerdas Arabella sekarang.
Namun di sisi lain, ada ketakutan yang tak bisa ia jelaskan.
Semakin mandiri Arabella, semakin jauh ia terasa.
Dan Nicholas tahu, jika Arabella benar-benar berhasil membangun dunianya sendiri…
maka peluang untuk mengambil hati wanita itu akan semakin kecil.
Kedua sahabat Nicholas, Xavier dan Darren, memperhatikan gerak-geriknya sejak mereka tiba di kafe itu.
Ada sesuatu yang berbeda dari Nicholas hari ini.
Biasanya ia cerewet dan penuh energi, tapi kali ini lebih banyak diam, menatap kosong ke arah cangkir kopinya yang sudah dingin.
Xavier menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap sahabatnya dengan pandangan penuh selidik.
“Kau memikirkan Arabella lagi, ya?” tebaknya pelan.
Nicholas hanya tersenyum samar senyum yang sulit ditebak apakah itu pahit atau lembut.
“Aku ingin meminta izin darinya… untuk membawa ketiga anaknya jalan-jalan,” ucapnya akhirnya.
Darren, yang sejak tadi memperhatikan dalam diam, menatap Nicholas dengan tatapan tajam penuh curiga.
“Aku tahu kau punya maksud lain selain sekadar mengajak anak-anaknya jalan-jalan, kan?”
Kali ini Nicholas tidak membantah. Ia hanya mengangguk pelan, mengakui tebakan sahabatnya.
Ia menatap keluar jendela, melihat lalu lintas yang padat, seolah di sanalah ia mencari keberanian yang belum terkumpul.
“Aku harus bergerak cepat,” ucap Nicholas akhirnya, suaranya rendah namun tegas.
“Aku akan melakukan tes DNA pada anak-anaknya. Jika hasilnya sesuai dengan dugaanku… dan mereka benar-benar anak-anakku, maka akan lebih mudah bagiku membatalkan pertunangan dengan Vania.”
Xavier dan Darren saling berpandangan keduanya tahu, langkah yang akan diambil Nicholas bukan sekadar urusan pribadi.
Itu adalah awal dari badai besar yang akan mengguncang hidup banyak orang.
Nicholas menegakkan tubuhnya di kursi, kedua tangannya menggenggam cangkir kopi yang kini hanya menyisakan ampas. Tatapannya tajam namun penuh kebimbangan.
Ia tahu, langkah yang akan ia ambil bukan hal kecil.
Jika kakeknya tahu, sudah pasti ia akan dimarahi habis-habisan bukan hanya karena membatalkan pertunangan dengan Vania, tapi juga karena masa lalu yang sempat mencoreng nama keluarga mereka.
Namun kali ini, Nicholas tak ingin mundur lagi.
“Aku siap… kalaupun Kakek memarahi aku nanti,” ujarnya lirih tapi mantap.
“Aku sudah kehilangan terlalu banyak waktu, terlalu banyak kesempatan untuk menebus kesalahanku. Apa pun yang terjadi, Arabella tetap tujuanku.”
Xavier menatapnya lama, lalu tersenyum tipis.
“Kau benar-benar sudah berubah, Nick. Tapi kau sadar kan, jalanmu kali ini nggak bakal mudah?”
Nicholas hanya mengangguk pelan.
“Aku tahu. Tapi aku lebih takut kehilangan mereka lagi… daripada kehilangan segalanya.”
Keheningan menyelimuti meja mereka. Hanya suara musik lembut kafe dan desiran angin sore yang menjadi saksi tekad bulat seorang pria yang akhirnya berani menghadapi masa lalu demi mendapatkan cinta dari wanita yang dulu pernah ia hancurkan hidup nya dengan tangannya sendiri.