Ayla tumbuh sebagai gadis yang terasingkan di rumahnya sendiri. Sejak kecil, kasih sayang kedua orang tuanya lebih banyak tercurah pada sang kakak, Aluna gadis cantik yang selalu dipuja dan dimanjakan. Ayla hanya menjadi bayangan, tak pernah dianggap penting. Luka itu semakin dalam ketika ia harus merelakan cinta pertamanya, Arga, demi kebahagiaan sang kakak.
Tidak tahan dengan rasa sakit yang menjerat, Ayla memilih pergi dari rumah dan meninggalkan segalanya. Lima tahun kemudian, ia kembali ke ibu kota bukan sebagai gadis lemah yang dulu, melainkan sebagai wanita matang dan cerdas. Atas kepercayaan atasannya, Ayla dipercaya mengelola sebuah perusahaan besar.
Pertemuannya kembali dengan masa lalu keluarga yang pernah menyingkirkannya, kakak yang selalu menjadi pusat segalanya, dan lelaki yang dulu ia tinggalkan membuka kembali luka lama. Namun kali ini, Ayla datang bukan untuk menyerah. Ia datang untuk berdiri tegak, membuktikan bahwa dirinya pantas mendapatkan cinta dan kebahagiaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cumi kecil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8 LUKA YANG BELUM SEMBUH
Cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah gorden kamar hotel, menyorot ranjang yang masih berantakan. Aroma parfum samar bercampur dengan wangi kopi dari meja kecil di sudut ruangan.
Alya duduk di tepi ranjang, mengenakan gaun yang sedikit koyak, rambutnya terurai kusut namun tetap indah. Matanya menatap kosong ke lantai, tubuhnya kaku, seolah berusaha keras mengusir bayangan semalam.
Di belakangnya, Arga masih berbaring, menyandarkan punggung di kepala ranjang dengan selimut melilit pinggangnya. Ia menatap Alya lekat, wajahnya serius namun juga lembut.
“Alya…” suaranya serak, memecah keheningan. “Kau tidak menyesal, kan?”
Alya menutup mata, menarik napas panjang, lalu berdiri. Ia meraih jasnya yang tergantung di kursi, menutup tubuhnya, berbalik menatap Arga dengan wajah dingin.
“Aku tidak ingin membicarakan apa yang terjadi semalam.”
Arga mengerutkan alis. “Bagaimana mungkin aku melupakannya? Semalam… itu nyata, Alya. Itu bukan sekadar pelampiasan. Aku—”
“Arga.” Alya memotong cepat, suaranya tegas walau matanya bergetar. “Lupakan. Anggap saja tidak pernah terjadi.”
Arga bangkit dari ranjang, berjalan mendekat. Tangannya terulur, ingin menggenggam bahu Alya, tapi Alya segera mundur selangkah.
“Kenapa?” Arga menatapnya penuh luka. “Kau masih tidak percaya padaku? Atau karena kau terlalu takut pada keluargaku? Pada Aluna?”
Nama itu menusuk hati Alya. Bibirnya mengatup erat sebelum ia akhirnya menjawab lirih, “Aku tidak ingin kembali ke masa lalu yang penuh luka. Dan aku tidak mau menjadi alasan pertengkaran di antara kalian. Apa pun yang terjadi semalam… biarlah berhenti di sini.”
Arga menggeleng keras. “Tidak, Alya. Kau pikir aku akan diam saja setelah tahu kau kembali? Setelah aku merasakan lagi bahwa aku masih… menyayangimu?”
Alya menunduk, jari-jarinya bergetar saat menggenggam erat tas kecilnya. Ia tahu hatinya juga masih merindukan Arga, tapi luka lima tahun lalu belum sembuh. Terlalu dalam, terlalu menyakitkan.
“Aku mohon…” suaranya pecah, nyaris berbisik. “Jangan paksa aku. Jangan buat aku kembali terjebak di lingkaran yang sama. Kau milik keluarga Aluna. Dan aku… aku hanya ingin hidup tenang dengan jalanku sendiri.”
Arga terpaku. Wajahnya menegang, matanya dipenuhi rasa sakit yang tak bisa disembunyikan.
Alya melangkah menuju pintu, berhenti sebentar, lalu menoleh sekali lagi. Senyum samar tersungging di bibirnya, tapi itu senyum pahit.
“Semalam hanyalah sebuah kesalahan. Lupakan aku, Arga.”
Pintu tertutup pelan, meninggalkan Arga sendirian dalam kamar itu. Ia duduk di tepi ranjang, wajahnya menunduk dalam-dalam. Tangannya mengepal, dadanya terasa sesak.
“Alya…” gumamnya lirih. “Kau pikir aku bisa melupakanmu semudah itu?”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sementara itu, di rumah keluarga besar yang megah dengan pilar-pilar marmer putih, suasana makan pagi yang biasanya tenang berubah menjadi tegang. Aluna duduk di ruang makan bersama kedua orang tuanya, wajahnya dibuat sesedih mungkin, sesekali menyeka air mata yang nyaris tidak jatuh.
“Mama… Papa…” suaranya lirih, penuh kepura-puraan. “Aku sudah tidak sanggup lagi. Semalam… semalam aku melihat sesuatu yang membuat hatiku hancur.”
Sang Mama menoleh cepat, wajahnya cemas. “Apa yang terjadi, Aluna? Kenapa kamu menangis begini?”
Papa yang duduk di kursi ujung meja, dengan koran masih di tangannya, melirik tajam. “Bicaralah yang jelas.”
Aluna menggigit bibir, lalu menunduk. “Alya… dia… dia kembali, Ma, Pa. Dan semalam… di pesta itu, aku melihat sendiri bagaimana dia mendekati Arga. Semua mata tamu tertuju pada mereka, seolah Alya yang paling berhak ada di sisi Arga. Aku dipermalukan di depan banyak orang…”
Air mata pura-pura menetes. Ia menutup wajahnya dengan tangan, menahan isak.
Mama mengepalkan tangan, wajahnya murka. “Anak itu! Setelah kabur lima tahun, masih berani muncul dan mengacaukan hidupmu?!”
Papa mendengus, meletakkan korannya dengan kasar di meja. “Memalukan. Dasar anak tidak tahu diri. Seharusnya dia tidak usah kembali kalau hanya membawa aib.”
Aluna mengangkat wajahnya, matanya merah padahal tangisnya penuh sandiwara. “Itu belum seberapa, Ma, Pa… Setelah pesta berakhir, Alya… Alya pergi bersama Arga. Mereka menghilang berjam-jam, masuk ke hotel. Aku tidak perlu menjelaskan lebih lanjut apa yang mereka lakukan di dalam.”
Mama menutup mulutnya, kaget sekaligus jijik. “Astaga… benar-benar gadis jalang!”
Papa menggebrak meja, nadanya penuh amarah. “Kurang ajar! Berani-beraninya dia merusak nama baik keluarga kita. Dan kamu, Aluna… kamu yang seharusnya menjadi pendamping Arga, malah harus menanggung malu gara-gara dia.”
Aluna menunduk lagi, pura-pura pasrah. “Aku hanya ingin Arga bahagia bersamaku… Tapi Alya… dia selalu datang untuk merebut apa yang menjadi milikku. Dulu dia merebut perhatian kalian, sekarang dia ingin merebut Arga.”
Mama mengusap punggung tangan Aluna lembut, suaranya penuh kebencian. “Tenanglah, sayang. Mama tidak akan membiarkan Alya menghancurkanmu. Kali ini, Mama dan Papa akan berdiri di pihakmu.”
Papa mengangguk mantap. “Ya. Kita akan pastikan Alya tidak akan pernah lagi berani menodai keluarga ini. Kalau dia pikir bisa seenaknya kembali dan menyaingi Aluna, dia salah besar.”
Aluna menyandarkan kepalanya di bahu Mamanya, bibirnya tersungging senyum kecil yang penuh kepuasan, meski ia menutupi dengan wajah penuh duka. Dalam hati, ia bergumam, “Kali ini, Alya, aku yang akan menang. Aku akan pastikan semua orang membencimu.” Batin Aluna.