Kerajaan Galuh, sebuah nama yang terukir dalam sejarah tanah Sunda. Namun, pernahkah kita menyangka bahwa di balik catatan sejarah yang rapi, ada sebuah kisah cinta yang terputus? Sebuah takdir yang menyatukan seorang pangeran dengan gadis desa, sebuah janji yang terikat oleh waktu dan takdir.
Kisah tragis itu membayangi kehidupan masa kini Nayla, seorang wanita yang baru saja mengalami pengkhianatan pahit. Di tengah luka hati, ia menemukan sebuah kalung zamrud kuno peninggalan neneknya, yang membawanya masuk ke dalam mimpi aneh, menjadi Puspa, sang gadis desa yang dicintai oleh Pangeran Wirabuana Jantaka. Seiring kepingan ingatan masa lalu yang terungkap, Nayla mulai mencari jawaban.
Akankah di masa depan cinta itu menemukan jalannya kembali? Atau akankah kisah tragis yang terukir di tahun 669 Masehi itu terulang, memisahkan mereka sekali lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naniksay Nay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 – Kasmaran
Setelah berpamitan dengan ibunya, Puspa menunduk malu saat jemari Wira menggenggam tangannya. Pemuda itu lalu memapahnya naik ke atas kuda hitam yang gagah. Gerakan Wira begitu hati-hati, seolah takut Puspa jatuh.
“Pegang erat, Puspa,” ucapnya lembut.
Puspa menurut, kedua tangannya ragu-ragu memeluk pinggang Wira. Ia bisa merasakan degup jantungnya sendiri, semakin kencang ketika kuda mulai melangkah.
“Perjalanan kita lumayan jauh,” kata Wira sambil menoleh sedikit, senyumnya hangat. “Jika tidak ada halangan, dua hari lagi kita sudah sampai di pusat Galuh.”
“Sejauh itu?” Puspa membelalakkan mata, nadanya bercampur takjub.
Wira terkekeh kecil. “Kalau kita berjalan-jalan dulu… mungkin bisa lebih lama lagi.”
Nada godaannya membuat wajah Puspa merona.
Di tengah hutan yang teduh, langkah kuda mereka melambat. Puspa bersandar di belakang Wira, namun pikirannya terus berputar. Sejak tahu siapa sebenarnya lelaki itu, hatinya dipenuhi rasa ragu bercampur kagum.
Suara Puspa akhirnya pecah di antara desau angin.
“Mungkin… kalau dari awal kau bilang bahwa kau pangeran, aku akan takut mengobatimu.”
Wira menarik napas panjang, menoleh sedikit, menatap sekilas wajah Puspa yang menunduk.
“Aku minta maaf, Puspa. Bukan berarti cintaku padamu dusta. Entah mengapa… lidahku kelu setiap ingin berkata bahwa aku keluarga kerajaan. Aku hanya ingin kau melihatku sebagai Wira… bukan sebagai pangeran.”
Puspa menggigit bibir. Suaranya lirih , “Bukan cuma keluarga, kau keluarga inti kerajaan. jatuh cinta pada pangeran? bermimpi pun aku tak pernah”
Wira memacu kudanya perlahan.
“Puspa… Kau bukan hanya membuat luka di tubuhku terasa ringan, kau juga yang membuat ku belajar banyak hal.”
Puspa terdiam. Di sela kebisuan hutan, ia hanya bisa menahan napas. Sementara itu, Wira tersenyum samar, lalu menambahkan pelan, “Jika aku boleh bermimpi… biarkan mimpiku sederhana saja. Mimpiku adalah bersamamu.”
Puspa menatap Wira.
“Tapi… apakah Yang Mulia Raja dan Ratu akan setuju dengan keputusanmu?”
Wira tersenyum tipis.
“Galuh baru punya satu raja, Puspa. Itu berarti, pada awalnya Ayahanda dan Ibunda juga hanyalah orang biasa.”
“Tetapi aku tidak membawa… kedudukan atau manfaat apa pun bagi kerajaanmu,” Puspa menunduk. “Beda halnya jika kau menikah dengan putri kerajaan lain, itu bisa menjadi penguat untuk Galuh.”
Wira menggeleng, matanya lembut.
“Kau mulai lagi… Puspa. Untuk memperkuat Galuh tidak hanya lewat pernikahan politik. Itu biarkan kakang Suraghana dan kakang Sempakwaja saja. Tugasku bisa berbeda.”
Puspa menatapnya bingung. “Maksudmu?”
“Aku bisa mendukung Galuh dengan caramu, Puspa,” jawab Wira pelan. “Dengan mendengarkan rakyat, dengan menyediakan pengobatan untuk mereka seperti kau dan ibumu, menolong rakyat yang membutuhkan. Bukankah itu juga sama berharganya dari perjanjian antra kerajaan dan kadipaten?.”
Puspa menatap Wira terharu, suaranya lirih.
“Apakah… kau hanya menghiburku?”
Wira meraih tangannya, menggenggamnya erat.
“Tentu saja tidak, cintaku."
“Tetapi aku dan ibu hanya bermodal ilmu turun-temurun,” Puspa menatapnya ragu. “Bukan dari pendidikan tabib istana. Kalian jauh lebih hebat, lebih berpengetahuan dibanding aku.”
Wira tersenyum lembut, menggeleng pelan.
“Puspa, justru karena itulah kau istimewa. Tabib istana memang terlatih, tetapi mereka terkadang terlalu kaku pada aturan. Kau berbeda… kau mendengarkan hati pasienmu. Kau menyembuhkan bukan hanya tubuh, tapi juga jiwa.”
Mata Puspa berkaca-kaca. “Kau… terlalu memujiku, Wira.”
“Tidak,” Wira menatapnya dalam. “Aku hanya mengatakan yang sebenarnya.”
Malam itu mereka berhenti di sebuah pesanggrahan.
Rumah singgah milik kerajaan Galuh itu memang diperuntukkan bagi keluarga istana dan para pengawal dalam perjalanan jauh. Bangunannya sederhana namun kokoh, dikelilingi halaman luas dan dijaga beberapa prajurit.
Setelah memastikan Puspa mendapatkan ruang beristirahat yang layak, Wira berkata lembut, “Kalau kau butuh apa-apa, panggil saja prajurit penjaga… atau panggil aku saja, Puspa.”
Puspa mengangguk pelan.
“Istirahatlah dulu. Besok kita lanjutkan perjalanan,” tambah Wira.
Puspa tersenyum, lalu masuk ke bilik. Hatinya masih berdebar, bukan karena lelah perjalanan, melainkan karena lelaki yang kini menemaninya ternyata seorang pangeran… dan orang itu adalah Wira.
Pagi itu, cahaya matahari menembus sela dinding pesanggrahan. Saat membuka mata, Wira mendapati pemandangan yang membuatnya tersenyum. Puspa sudah berdiri di dapur sederhana, membantu para emban menyiapkan makanan.
“Puspa? Kau tidak beristirahat?” tanya Wira sambil berjalan mendekat.
Puspa menoleh sebentar, senyumnya tulus. “Entah kenapa aku sudah terbiasa bangun pagi. Saat melihat para emban memasak, tanganku terasa gatal ingin ikut membantu.”
Wira tertawa kecil, “Kalau begitu, apakah sarapannya sudah siap? Aku mulai lapar.”
Puspa menatapnya geli. “Tunggulah di sana, Yang Mulia.”
“Tapi aku ingin ditemani. Ayo duduk bersamaku,” pinta Wira, suaranya lembut.
Puspa sempat ragu, tapi akhirnya meletakkan sendok kayu di tangan dan menurut. Ia duduk di samping Wira.
Sambil menyantap makanan, keduanya saling bercanda ringan. Tawa kecil sesekali pecah di antara mereka.
Selesai meneguk air hangatnya, Wira berucap, “Setelah ini kita harus segera berangkat. Kalau terlalu siang, tanah lapang yang akan kita lewati bisa sangat panas karena jarang pepohonan.”
Puspa mengangguk sambil tersenyum nakal. “Baiklah, Pangeran,” ujarnya dengan nada pura-pura hormat. “Aku akan patuh… Kalau kau pingsan kepanasan, siapa yang akan menolong ku?”
Wira terkekeh, matanya berbinar. “Kalau aku pingsan, mungkin kau sendiri yang akan menolongku.”
Wira menatap Puspa. “Oh iya, Puspa… setelah ini akan ada beberapa prajurit yang mengawal perjalanan kita. Kau tak keberatan, kan?”
Puspa lalu menggeleng. “Tentu saja tidak. Bukankah memang seharusnya seorang pangeran tidak boleh berkeliaran sendirian?”
Wira menatapnya penuh arti. “Bukan itu yang ku khawatirkan… aku hanya takut kau merasa canggung.”
Puspa menunduk sebentar, kemudian menjawab pelan, “Selama ada kau di sisiku, aku tidak merasa canggung.”
Wira tersenyum samar, menatap kolam kecil di depan mereka.
“Kau tahu, Puspa? Dulu tempat ini sering menjadi tempat Ayahanda dan Ibunda Ratu menghabiskan waktu berdua.”
Puspa menoleh cepat, matanya berbinar penasaran. “Benarkah?”
“Iya,” Wira mengangguk. Ia menunjuk ke tengah kolam, di mana sebuah batu hitam menjulang setengah terendam air. “Kau lihat batu itu? Ayahanda pernah berkata, batu itu seperti pengikat setia antara beliau dan Ibunda.”
Puspa menatapnya lekat, bibirnya terkatup rapat.
Perlahan, Wira menggenggam tangannya, mendekatkannya ke dadanya. “Dan sekarang, Puspa… aku bersumpah demi para dewata, aku hanya akan mencintaimu. Di kehidupan ini, setelah tiada… bahkan jika ada kehidupan berikutnya.”
Puspa tercekat, cepat menutup mulut Wira dengan jemarinya. “Jangan bilang begitu…Kalau aku lebih dulu menghadap dewata, kau harus tetap hidup dan berbahagia” bisiknya.
Wira membelai jemari Puspa perlahan, seolah takut ia akan terlepas.
“Aku serius, Puspa…. Bahkan jika dunia ini menolak kita, hatiku tetap akan memilihmu. Jika hidup merenggutmu dariku, aku akan tetap menunggumu… meski itu berarti menunggu sampai kehidupan yang berikutnya.”
Matanya menatap dalam,.
“Cintaku… bukan hanya untuk hari ini. Ia akan menjadi sumpah yang abadi.”
Puspa menahan napas, dadanya sesak oleh campuran haru dan takut. Ia menutup mata sejenak, lalu berbisik lirih, “Jangan berkata seakan kita sudah ditakdirkan berpisah, Wira…”
Keduanya diam dalam pikiran masing-masing.
“Bagaimana mungkin aku mencintai orang lain… sedangkan kau sudah menghujaniku dengan cinta setulus ini?” Puspa mencoba membuka keheningan.
Wira tertegun mendengar kata-kata Puspa. Senyum kecilnya perlahan memudar, berganti dengan sorot mata dalam yang menelusup ke relung hati. Ia mengangkat dagu Puspa dengan jemari hangatnya, membuat gadis itu tak bisa lagi menghindar.
“Puspa…” bisiknya lirih, seolah hanya untuknya.
Detik berikutnya, jarak di antara mereka lenyap. Wira menunduk, bibirnya menyentuh lembut bibir Puspa. Bukan ciuman yang tergesa, melainkan sebuah janji yang terpatri dan penuh kasih, penuh kerinduan, seakan ingin berkata bahwa cinta mereka tak akan pernah tergoyahkan.
Puspa sempat membeku, namun perlahan matanya terpejam. Ia membalas dengan hati yang bergetar. Saat itu, waktu seakan berhenti, yang ada hanya mereka berdua, di bawah naungan langit pagi Galuh yang berseri.
Seluruh tubuh Wira terasa ringan, seolah bahagia itu meresap sampai ke sumsum. Ia memeluk Puspa lebih erat, mencium aroma rambutnya, seakan dunia hanya mereka berdua.
...…... ...
Panas. Sesak. Matanya berat, sulit untuk dibuka, tapi Wisnu memaksa kelopaknya terangkat. Perlahan cahaya menembus pandangan, menggantikan bayangan indah yang baru saja dialaminya.
Ia terbangun dengan senyum yang masih tersungging di bibir—sisa kebahagiaan dari mimpi yang terasa terlalu nyata.
“Eh, Wisnu?!” Rendi yang sejak tadi sibuk mengoleskan minyak angin ke tubuh sahabatnya langsung melongo kebingungan melihat senyum itu.
Keningnya berkerut, nada suaranya setengah kesal, setengah lega.
“Kamu habis masuk angin jadi orang gila apa gimana? Bukannya ngeluh pusing, malah senyum-senyum sendiri begitu. Kalau sampai lima belas menit lagi kau nggak bangun, sumpah ya.... udah ku gotong ke Medical Center!”
Wisnu hanya terkekeh kecil, senyumnya tak juga luntur. Tanpa banyak bicara, ia bangkit perlahan, melangkah ke meja, lalu meraih buku catatan yang ada di sana, buku milik Nayla. Dengan tenang, ia mulai menulis sesuatu di halaman kosongnya.
“Hei, hei… kau kenapa?!” Rendi makin heboh. “Eh, itu—kenapa malah nulis di buku orang lain?! Wisnu, kau bikin aku makin bingung!”