NovelToon NovelToon
KISAH CINTA YASMIN DAN ZIYAD

KISAH CINTA YASMIN DAN ZIYAD

Status: tamat
Genre:Cinta Terlarang / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Dokter Genius / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Tamat
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Babah Elfathar

Kisah Seorang Gadis bernama Yasmin yang baru pindah ke desa, setelah coba tinggal di kota dan tidak nyaman, dia tinggal di rumah sang nenek, Yasmin seorang gadis yang mandiri, ceria diluar, namun menyimpan sebuah duka, bertemu dengan Ziyad seorang dokter muda yang aslinya pendiam, tidak mudah bergaul, terlihat dingin, berhati lembut, namun punya trauma masa lalu. bagaimana kisahnya.. sedikit contekan ya.. kita buat bahasa seni yang efik dan buat kita ikut merasakan tulisan demi tulisan..

yda langsung gaskeun aja deh.. hehehe

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Babah Elfathar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20

Bab 20

Langit siang itu berwarna kelabu, seolah meniru suasana hati Yasmin. Suara burung-burung yang biasanya ramai terdengar di pekarangan kini terasa asing, seperti enggan bernyanyi. Yasmin duduk di beranda rumah Nek Wan, kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan. Napasnya tidak teratur, dadanya penuh sesak oleh kabar yang terus mengudara di desa.

Warga semakin lantang membicarakan lamaran Ridho. Di warung, di sawah, bahkan di masjid, nama Yasmin menjadi bahan percakapan tanpa henti.

“Ridho memang lelaki yang pantas. Kalau Yasmin menerimanya, nama baik keluarga bisa terangkat lagi,” ucap seorang ibu dengan nada yakin.

“Benar itu, lebih baik Yasmin jangan berhubungan dengan Ziyad lagi. Bukankah tragedi dulu sudah cukup jadi bukti? Lelaki itu membawa celaka,” jawab seorang bapak dengan nada tegas.

“Kasihan Yasmin kalau terus terseret masalah Ziyad. Lebih baik segera menikah dengan Ridho, setidaknya hidupnya lebih terjamin,” sahut yang lain dengan nada menyetujui.

Semua kata itu sampai ke telinga Yasmin, meski tidak langsung. Bisikan-bisikan orang yang lewat depan rumah, tatapan kasihan bercampur sinis, semua menorehkan luka baru di hatinya.

Ia menunduk semakin dalam. “Kenapa semua orang hanya melihat dari luar? Tidak ada yang tahu betapa aku mencintai Ziyad,” bisiknya lirih dengan nada getir.

Nek Wan yang duduk di kursi bambu di sampingnya menoleh. Wajahnya pucat, keriputnya semakin dalam. Ia meraih tangan Yasmin dengan gemetar.

“Cucu Nenek, dunia ini memang keras. Kadang cinta tidak cukup untuk membuat kita bertahan. Kau harus memikirkan masa depanmu, Min,” ucap Nek Wan pelan dengan nada penuh harap.

Air mata Yasmin jatuh menetes ke tangannya sendiri. “Tapi Nek, aku tidak bisa berpaling dari Ziyad. Aku mencoba, sungguh, tapi hati ini selalu kembali padanya,” ucapnya tersedu dengan nada putus asa.

Nek Wan menghela napas panjang. Matanya berkaca-kaca, namun ia berusaha tegar. “Nenek hanya ingin melihatmu bahagia sebelum Nenek menutup mata. Jika Ridho bisa memberi jalan itu, mungkin kau harus mempertimbangkannya,” ucapnya lirih dengan nada rapuh.

***

Sementara itu, Ziyad berjalan di tepi sawah, tubuhnya tampak lebih kurus. Orang-orang yang biasanya bekerja bersamanya kini menjauh. Ada yang pura-pura sibuk, ada yang terang-terangan memalingkan wajah.

Seorang pemuda bersuara keras ketika Ziyad lewat. “Jangan sampai dia ikut kerja lagi, nanti malah bawa sial,” ucapnya ketus dengan nada meremehkan.

“Sudah jelas, ke mana pun dia pergi, selalu ada musibah,” sahut yang lain dengan nada sinis.

Ziyad terdiam. Langkahnya berat, seperti menanggung beban ribuan batu. Ia ingin membela diri, ingin berteriak bahwa bukan kehendaknya tragedi itu terjadi. Namun lidahnya kelu.

Dalam hati ia bergumam, “Kalau aku membuka suara, apa mereka akan percaya? Atau justru makin membenciku?”

Matanya basah, tapi ia cepat-cepat menunduk agar tak terlihat. Ia hanya berjalan terus, menuju tepian desa, menjauh dari keramaian yang kian menyakitkan.

***

Di rumah, Yasmin tengah merawat Nek Wan yang tiba-tiba jatuh sakit sore itu. Tubuh wanita tua itu menggigil, wajahnya pucat pasi. Yasmin panik, berulang kali memanggil.

“Nek, bangunlah. Jangan buat Yasmin takut,” ucapnya cemas dengan nada terisak.

Nek Wan membuka mata perlahan. Senyum tipis terukir di wajahnya meski tubuhnya lemah. “Nenek hanya lelah, Min. Pikiran ini terlalu berat,” ucapnya pelan dengan nada melemah.

Yasmin menangis sambil menggenggam tangan keriput itu. “Nek jangan bicara begitu. Aku masih membutuhkanmu. Aku tidak bisa sendiri,” ucapnya tersedu dengan nada memohon.

Nek Wan menatap cucunya dengan penuh kasih. “Kau harus belajar kuat, Min. Hidup ini penuh ujian. Nenek mungkin tak lama lagi, tapi kau harus bisa berdiri sendiri,” ucapnya lirih dengan nada pasrah.

Yasmin menggeleng keras, air matanya jatuh tak henti. “Jangan bicara begitu, Nek. Kau harus sembuh. Kau satu-satunya tempatku pulang,” ucapnya tangis dengan nada putus asa.

Suasana rumah itu menjadi semakin pilu. Yasmin berusaha menjaga agar Nek Wan tetap nyaman, namun bayangan kehilangan membuat hatinya terkoyak.

***

Di luar rumah, gosip semakin menjadi-jadi. Sejumlah ibu-ibu duduk di pos ronda, berbincang tanpa sadar bahwa suara mereka terdengar jelas.

“Aku dengar Nek Wan jatuh sakit. Mungkin dia terlalu memikirkan cucunya yang keras kepala,” ucap seorang ibu dengan nada menggunjing.

“Ya, kalau Yasmin mau menerima lamaran Ridho, tentu Nek Wan tidak akan terbebani seperti sekarang,” jawab yang lain dengan nada menyalahkan.

“Benar, anak itu terlalu keras memegang cinta pada Ziyad. Padahal semua orang tahu, Ziyad hanya akan menyeretnya ke dalam derita,” timpal seorang ibu lain dengan nada menyindir.

Suara-suara itu sampai ke telinga Yasmin. Ia berdiri di balik jendela, tubuhnya gemetar. Ia menutup mulutnya agar tangisnya tidak terdengar.

“Kenapa semua orang menghakimi tanpa tahu isi hatiku?” bisiknya lirih dengan nada perih.

***

Malam itu, Yasmin duduk di samping ranjang Nek Wan. Lampu minyak redup menerangi wajah tua yang tertidur lemah. Yasmin memegang tangan neneknya erat, seakan takut kehilangan kapan saja.

“Ya Allah, jangan ambil Nek Wan dariku sekarang. Aku masih membutuhkan bimbingannya. Jangan biarkan aku menghadapi semua ini sendirian,” bisiknya lirih dengan nada berdoa.

Air matanya jatuh satu per satu, membasahi punggung tangan neneknya yang dingin. Hati Yasmin berteriak, namun mulutnya hanya sanggup berdoa dalam diam.

Di luar rumah, angin malam berembus membawa suara-suara warga yang masih bergosip. Yasmin menutup mata, mencoba mengusir semuanya. Namun, semakin ia menutup, semakin jelas suara-suara itu menusuk telinganya.

***

Hari-hari berikutnya menjadi semakin berat. Ridho sering datang menjenguk Nek Wan, membawa obat-obatan dan makanan. Kehadirannya disambut hangat oleh sebagian warga yang melihatnya sebagai sosok penolong.

“Kau memang baik sekali, Ridho. Semoga niatmu melamar Yasmin segera terwujud,” ucap seorang tetangga dengan nada kagum.

Ridho hanya tersenyum, menunduk rendah. “Saya hanya ingin yang terbaik untuk Yasmin dan Nek Wan,” ucapnya sopan dengan nada tulus.

Yasmin menunduk setiap kali mendengar itu. Hatinya semakin terhimpit. Ia berterima kasih atas kebaikan Ridho, tapi cinta di hatinya tak pernah bergeser.

Dalam diam ia berbisik pada dirinya sendiri, “Apa aku bisa bertahan lebih lama? Atau aku akan hancur di tengah jalan?” bisiknya lirih dengan nada pilu.

***

Malam turun dengan sunyi yang pekat. Langit dipenuhi bintang, namun bagi Yasmin, dunia terasa kelam. Angin malam berembus pelan, membawa aroma tanah basah sehabis hujan sore tadi. Yasmin berjalan sendirian menuju makam ayahnya, langkahnya berat, namun hatinya lebih berat lagi.

Ia membawa seikat bunga kamboja putih. Tangan mungilnya gemetar ketika menyibak ilalang di pemakaman desa. Sesampainya di makam ayah, ia berlutut, menaruh bunga di atas gundukan tanah yang mulai ditumbuhi rumput liar.

“Assalamu’alaikum, Ayah,” ucap Yasmin lirih dengan nada pilu.

Suara itu pecah di antara isaknya. Ia menyentuh nisan dengan hati-hati, seakan takut merusaknya.

“Ayah, Yasmin datang lagi. Yasmin ingin bercerita, meski Ayah tak bisa menjawab. Hidup Yasmin terasa berat sekali. Semua orang menilai, semua orang menunjuk. Mereka bilang Yasmin harus menerima lamaran Ridho. Mereka bilang Ziyad hanya membawa petaka. Tapi hati Yasmin tidak bisa berbohong,” ucapnya tersedu dengan nada getir.

Air mata mengalir deras membasahi pipinya. Ia menunduk lebih dalam, suaranya semakin pecah.

“Ayah, Yasmin mencintai Ziyad. Sejak awal hingga hari ini, Yasmin tidak pernah berhenti. Tapi dunia seolah tidak merestui. Nek Wan sakit, orang-orang mencibir, Ridho datang membawa niat baik yang sulit ditolak. Yasmin bingung, Ayah. Yasmin tidak tahu harus memilih jalan mana,” ucapnya merintih dengan nada putus asa.

Suara tangisnya bercampur dengan desau angin malam. Yasmin meremas pakaiannya sendiri, tubuhnya bergetar hebat.

“Ayah, apakah cinta harus selalu sesakit ini? Apakah Yasmin salah bila memilih hatinya sendiri? Atau harus mengorbankan perasaan demi membuat semua orang lega?” ucapnya lirih dengan nada bimbang.

***

Dari kejauhan, seseorang berdiri di balik pohon besar. Ziyad. Wajahnya muram, matanya basah. Ia melihat Yasmin menangis di makam ayahnya, hatinya teriris.

Ia melangkah sedikit maju, namun kemudian berhenti. Hatinya berperang: ingin mendekap Yasmin, ingin mengatakan bahwa ia juga terluka. Namun, kakinya terasa terkunci.

“Aku tidak pantas… aku hanya membawa luka untuknya,” gumam Ziyad lirih dengan nada hancur.

Ia menggenggam erat tangannya sendiri, mencoba menahan gemuruh dalam dada. Tatapannya tidak pernah lepas dari Yasmin yang berdoa dengan air mata.

***

Yasmin melanjutkan doanya dengan suara yang penuh harap.

“Ya Allah, kuatkan aku. Jika cinta ini adalah jalan yang Kau ridhoi, biarkan aku tetap bersama Ziyad meski seluruh dunia menentang. Tapi jika ini hanya akan membawa derita, tunjukkan aku jalan yang benar. Jangan biarkan aku menghancurkan hidup Nek Wan dan diriku sendiri,” ucapnya bergetar dengan nada pasrah.

Ia menutup doa dengan mencium nisan ayahnya. Air mata jatuh membasahi tanah.

Saat itulah, ia merasa ada tatapan dari jauh. Ia menoleh pelan, matanya menyapu sekitar pemakaman.

“Siapa di sana?” ucap Yasmin gugup dengan nada cemas.

Tidak ada jawaban. Hanya suara jangkrik yang riuh. Namun, jauh di balik pepohonan, Ziyad menundukkan kepala, menahan napas, agar tidak ketahuan.

Yasmin berdiri, hatinya berdebar. Ada rasa aneh, seakan seseorang yang sangat dekat dengannya baru saja pergi. Ia menutup matanya, mencoba menenangkan diri.

“Kalau itu benar kau, Ziyad… jangan menjauh lagi. Aku butuh kau lebih dari apa pun,” ucapnya lirih dengan nada rindu.

Ziyad mendengar kalimat itu, dan tubuhnya bergetar hebat. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Namun ia tetap memilih bersembunyi.

***

Ketika Yasmin pulang, langkahnya masih gontai. Di tengah jalan ia berpapasan dengan beberapa warga yang pulang dari surau. Mereka menatapnya dengan berbagai ekspresi. Ada yang kasihan, ada yang sinis.

“Lihat, itu Yasmin. Malam-malam pergi ke kuburan. Mungkin terlalu larut dalam bayangan masa lalu,” ucap seorang lelaki dengan nada mencibir.

“Kasihan, anak itu belum juga bisa lepas dari luka. Padahal Ridho sudah jelas-jelas menawarinya masa depan,” sahut yang lain dengan nada menyayangkan.

Yasmin menggigit bibir, menundukkan kepala. Ia tidak ingin membalas. Namun hatinya semakin terkoyak.

***

Sesampainya di rumah, ia mendapati Nek Wan terjaga, meski lemah. Yasmin segera menghampiri, duduk di sisi ranjang.

“Nek, maaf Yasmin keluar lama. Yasmin hanya ingin bercerita pada Ayah,” ucapnya pelan dengan nada menyesal.

Nek Wan menatapnya dengan sorot sayu. “Nenek tahu, Min. Kau selalu mencari tempat untuk melepaskan bebanmu. Tapi ingat, keputusan besar akan segera tiba. Desa akan mengadakan musyawarah. Di sana, kau akan ditanya: memilih Ridho atau tetap dengan Ziyad,” ucapnya tenang dengan nada mengingatkan.

Yasmin terdiam. Dadanya sesak, napasnya terasa berat. Ia menunduk, lalu meraih tangan neneknya.

“Nek… kalau hati Yasmin tetap pada Ziyad, apa semua orang akan membenci Yasmin selamanya?” ucapnya lirih dengan nada bimbang.

Nek Wan menghela napas panjang, suaranya pelan. “Hidup bukan tentang menyenangkan semua orang, Min. Tapi pilihanmu akan membawa akibat besar. Kau harus siap menanggungnya,” ucapnya bijak dengan nada tenang.

Air mata Yasmin jatuh lagi. Ia memeluk neneknya erat.

“Aku takut, Nek. Aku benar-benar takut,” ucapnya tersedu dengan nada putus asa.

***

Malam semakin larut. Yasmin duduk di beranda, menatap langit penuh bintang. Suara jangkrik menemani kesunyian. Ia meremas ujung selendangnya, pikirannya bercampur aduk.

“Besok… musyawarah itu akan menentukan segalanya. Aku tidak bisa lagi bersembunyi. Aku harus memilih jalan hidupku, meski jalannya penuh duri,” ucapnya tegas dengan nada bertekad.

Matanya basah, namun dalam hatinya muncul keberanian baru. Entah itu akan menuntunnya ke kebahagiaan atau kehancuran, ia sudah siap menanggungnya.

Di kejauhan, Ziyad yang masih berdiri di tepi desa menatap ke arah rumah Yasmin. Ia tahu besok adalah hari penentuan. Dengan suara bergetar, ia berbisik pada dirinya sendiri.

“Jika kau memilihku, Yasmin… aku akan berjuang sampai akhir. Tapi jika kau memilih Ridho, aku akan pergi jauh, meski hatiku hancur,” ucapnya lirih dengan nada getir.

Angin malam berembus, membawa janji-janji yang tak terucapkan. Malam itu menjadi saksi: besok, jalan hidup mereka benar-benar akan bercabang.

Bersambung..

1
Nadhira💦
endingnya bikin mewek thorrr...
Babah Elfathar: Biar ga sesuai sangkaan, hehehe
total 1 replies
Amiura Yuu
suka dg bahasa nya yg gak saya temukan dinovel lain nya
Babah Elfathar: mkasi jangan lupa vote, like dan subscribe ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!