Viona Mollice, gadis 24 tahun—penghasil pundi-pundi uang yang bekerja keras bagaikan kuda. Ia melakukan beberapa pekerjaan dalam sehari hanya untuk menyambung hidup, juga membayar biaya kuliahnya.
Suatu hari, Viona mendapatkan tawaran pekerjaan dari temannya yang sama-sama bekerja di Harmony Cafe. Namun, entah bagaimana ceritanya hingga wanita itu bisa terbangun di sebuah kamar hotel yang sangat mewah nan megah dalam keadaan tidak wajar.
"Meskipun aku miskin dan sangat membutuhkan uang, tapi aku tidak menjual tubuhku!" ~ Viona Mollice.
***
Daniel Radccliffe, billionaire muda yang merayakan ulang tahunnya ke-27 tahun di sebuah club malam ternama di kotanya dengan mengundang banyak wanita dari berbagai kalangan.
Club malam dan wanita adalah gaya hidup lelaki yang biasa disapa Erick. Bertukar wanita sudah seperti bertukar baju yang dilakukannya beberapa kali dalam sehari. Bahkan, Erick membuang wanita segampang membuang permen karet. Dan sudah menjadi rahasia umum, jika Erick bangu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itsme AnH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan Sentuh Aku!
Udara yang dingin mencengkam, menggerayangi kulit seorang wanita yang menempuh kegelapan malam dengan berjalan kaki di bawah rindangnya pepohonan. Kedinginan yang dirasakannya, menyelinap masuk melalui pori-pori kulit, hingga tembus ke tulang-belulangnya.
Wanita yang mengenakan tas punggung di belakangnya merapatkan sweater yang dikenakannya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya ia gunakan untuk menarik koper hitam yang berisi pakaian.
Dialah Viona, wanita yang memilih pergi meninggalkan rumahnya, tidak lama setelah Zayn pergi. Ia merasa tidak aman berada di rumahnya sendiri, tanpa ada yang menemani.
Meskipun dirinya sudah terbebas dari cengkraman serigala, tapi itu tidak membuat hati dan pikirannya tenang begitu saja. Sehingga tanpa pikir panjang, Viona mengemasi semua barang-barangnya dan membawa kedua kakinya yang lemas, berjalan terlontang-lantung tanpa arah dan tujuan.
Kesepian jalan yang dilalui Viona, menambah berkali-kali suhu dingin di sana, hingga rasanya seperti ada yang mengguyurnya dengan air es. Viona mencoba menggosok-gosok bahu dengan tangannya yang bebas dari koper, berharap bisa mendapatkan sedikit saja kehangatan.
Sebenarnya angin malam ini tidak terlalu kencang, hanya dia saja yang masih sangat ketakutan hingga merasa terus diawasi sepanjang jalan. Matanya menelisik ke segela arah, takut jika dirinya masih menjadi incaran.
Melihat jalan di seberang sana lebih terang dibandingkan dengan jalan yang dilaluinya saat ini, dan sepertimya lebih aman, Viona memutuskan untuk menyeberang.
Namun, karena pikiran Viona hanya terfokus dengan ketakutannya saja, wanita itu sampai tidak memperhatikan jalan saat ingin menyeberang. Sehingga suara klakson mobil mendengung panjang memekakkan telinga.
Tubuhnya terlonjak kaget, hingga dia menutup kedua telinga dengan berjongkok secara naluriah. Beruntungnya mobil itu berhenti tepat sebelum bemper mobil menabraknya.
"Hei, kau mau mati ya?!"
"Kalau mau mati, jangan di sini. Meloncat sana dari Gama Tower!"
Teriakan juga makian dari pengendara dan penumpang mobil yang hampir menabraknya, tidak mampu menembus gendang telinga Viona yang hanya berisi kebisingan.
Sementara itu, Daniel yang juga ada di lokasi kejadian dan merasa mengenali Viona, segera turun dari mobilnya, lalu mendekati wanita yang tampak bergetar ketakutan di tengah jalan dengan tatapan semua orang tertuju padanya.
Tanpa mengatakan apa pun, Daniel menyentuh punggung Viona. Akan tetapi, tangannya ditepis dengan kasar oleh Viona.
"Jangan sentuh aku!" pekik Viona histeris.
"Hei, tenanglah. Aku gak akan mencelakaimu," ujar Daniel menahan rasa kesalnya. "Aku hanya membantu, atau kau akan mati ditabrak orang!"
Viona tidak menggubris ucapan Daniel, ia bahkan tidak menyadari orang yang berniat baik padanya adalah lelaki yang paling dibenci seumur hidupnya. Wanita itu berusaha mengendalikan ketakutannya, dengan sangat perlahan Viona mengangkat kepalanya, memperhatikan keadaan sekitar yang begitu ramai.
"Dasar wanita gila!" umpat salah satu penonton yang ada di sana.
"Cepat minggir!" timpal pengendara mobil yang hampir menabrak Viona.
Wanita yang masih dibalut ketakutan itu segera meraih kopernya, menolak pertolongan Daniel yang hendak membantu membawa barang bawaannya itu. "Aku bisa sendiri," lirihnya tanpa melihat wajah Daniel.
"Biar aku antar." Daniel menawarkan kebaikan yang hanya sekali seumur hidup dia berikan pada orang asing seperti Viona.
"Gak perlu!" tolak Viona tegas.
"Kau mau ke mana malam-malam begini dengan membawa koper dan tas?" Daniel tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya saat melihat penampilan Viona yang agak acak-acakan, ditambah dengan barang-barang yang dibawa wanita itu.
"Bukan urusanmu!" Viona masih tidak mengangkat tatapannya untuk melihat wajah Daniel, wanita itu hendak meninggalkan lelaki yang sudah mengajaknya mengobrol.
Namun, pergelangan tangannya dipegang oleh Daniel. Viona refleks menghempaskan tangan Daniel dengan kasarz dan mau tak mau wanita itu terpaksa menatap siapa pemilik tangan yang sudah lancang menyentuh dirinya.
"Kau?!" kaget Viona.
Keberadaan Daniel di dekatnya justru tidak memberikan Viona rasa aman, melainkan rasa terancam. Sesegera mungkin Viona menjauh dari Daniel dan dengan langkah tertatih wanita itu membawa dirinya hingga ia tiba di jalan yang diterangi oleh beberapa lampu jalan.
Daniel hanya mencebikkan bibir bersamaan mengangkat kedua bahunya tak acuh ketika Viona mengabaikan dirinya dan terlihat tidak membutuhkan bantuannya.
Kemudian lelaki itu memutuskan meninggalkan Viona sendirian di sana, melanjutkan perjalanannya menuju apartemen yang selama ini menjadi tempatnya melepas penat.
Sementara itu, Viona masih mengarungi jalanan yang belum ditemukan penghujungnya. Sehingga dirinya kembali berada di tempat sepi, dan tepat di depannya ada beberapa preman yang tengah berkumpul. Mereka tampak tengah menikmati minuman keras yang menghilangkan akal sehat.
Melihat itu, tiba-tiba saja dada Viona turun naik dengan jantung yang berdebar kuat, seakan hendak melompat keluar dari rongganya. Situasinya saat ini, jauh lebih berbahaya dari situasinya saat berada di rumah bersama Angga.
Wanita malang itu bisa saja digilir oleh para preman yang sudah kehilangan jiwa. Berusaha bersikap biasa saja, Viona tetap melanjutkan langkahnya tanpa ingin berbalik yang belum tentu keadaannya akan lebih baik dari saat ini.
Viona menyeret paksa koper biru miliknya dan mensejajarkan dengan langkahnya yang dipercepat, hampir berlari. Terseok-seok wanita itu berusaha agar dirinya bisa segera meninggalkan tempat yang sangat mengerikan itu.
"Hei, cantik," sapa seorang preman yang memakai kaos hitam berbungkus denim tanpa lengan berwarna dongker. Lelaki bertubuh gempal dan tinggi itu, langsung berdiri dari posisi duduknya saat melihat Viona melintas di depannya.
Empat orang preman lainnya juga ikut berdiri dengan terhuyung mengelilingi Viona, membuat nyali wanita itu benar-benar menciut, seperti seekor siput yang menemui bahaya dan langsung bersembunyi ke dalam cangkangnya.
"Sendirian aja, nih," timpal preman berkepala botak berusaha menyentuh Viona, tetapi wanita itu berhasil menghindar.
"Jangan sombong gitu, dong," ujar preman itu lagi, raut wajahnya sudah menampakkan kekesalan karena penolakan Viona.
"Iya, daripada sendirian, mending abang-abang temani," goda preman berperut buncit.
"Jangan mendekat!" seru Viona dengan tatapan penuh ancaman mengacungkan jari telunjuknya pada kelima preman yang tengah mengelilinginya dengan tatapan kelaparan.
Seakan saat ini ia punya senjata dan kekuatan untuk menjatuhkan mereka semua yang bertubuh besar dan tentunya mempunyai kekuatan berkali lipat lebih besar dari yang dimilikinya.
Padahal nihil. Ia sama sekali tidak punya sesuatu yang bisa digunakan untuk menyerang para penjahat itu, dan di saat seperti inilah Viona sungguh menyesali kebodohannya yang tidak mengingat peringatan Zayn, menyuruh dirinya membawa sesuatu yang bisa digunakan untuk melindunginya dari para penjahat.
Namun, sebelum meninggalkan rumah, bisa-bisanya ia terlupa meraih pisau, atau benda tajam lainnya yang sangat berguna di situasi genting seperti saat ini.
Kedua kaki Viona mendadak melemah, begitu lemas seperti tidak bertulang saat melihat senyum smirk di wajah para preman itu, disusul dengan tawa yang begitu mengerikan untuk didengar.
Usaha terakhir yang bisa dilakukannya saat ini hanyalah berjongkok, menekuk tubuhnya dan berharap tidak tersentuh oleh para preman itu.
"Kumohon, jangan!" racau Viona dengan wajah tertunduk di antara kedua pahanya yang ia peluk erat menggunakan kedua tangannya.