Caroline Damanik Dzansyana, hanya gadis malang berprofesi sebagai koki dessert di sebuah restoran Itali, dia diberatkan hidup karena harus membiayai rumah sakit ibu angkatnya yang koma selama satu tahun terakhir ini karena sebuah kecelakaan tragis.
Lalu, di suatu hari, dia dipertemukan dengan seorang wanita berwajah sama persis dengannya. Dia pikir, pertemuan itu hanyalah kebetulan belaka, tetapi wanita bernama Yuzdeline itu tidak berpikir demikian.
Yuzdeline menawarkan perjanjian gila untuk menggantikan posisinya sebagai istri dari pewaris Harmoine Diamond Group dengan bayaran fantastis—300 Milyar. Namun, Caroline menolak.
Suatu malam, takdir malah mempertemukan Caroline dengan Calvino—suami dari Yuzdeline dan menimbulkan kesalahpahaman, Calvino mengira jika Caroline adalah istrinya, sehingga dia menyeretnya masuk ke hidupnya.
Sejak saat itu, Caroline tidak pernah bisa kembali ke hidupnya. Bagaimanakah kisah selanjutnya? Apa yang akan Caroline lakukan untuk kembali ke hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Teriablackwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21—PPMITMC
Laksana seekor hewan nokturnal yang aktif malam hari, Caroline sama persis seperti hewan itu, dia bergeming dengan posisi bersila menanti kedatangan anak kecil yang memintanya menunggu di sana.
Satu sentimeter pun tak bergerak, gadis itu senantiasa menunggu dengan sabar. "Anaknya bisa tahu kalau aku bukan Nyonya itu, terus? Kenapa Papanya gak paham-paham, padahal aku udah menjelaskan semuanya," keluhnya mendengkus sambil mengundurkan bibir, kesal.
Berselang beberapa saat dari itu, tubuh kecil nan tinggi dari Dennis mengarungi lorong, membawa tubuh mungil tersebut mendekatinya, dia tidak datang dengan tangan kosong, ada sesuatu di tangannya.
Lalu, Caroline menyipitkan mata, guna untuk memastikan benda apa yang dibawa si kecil Dennis. "Dia bawa apa? Kok ..., kayak Kalender," serunya bertanya-tanya.
Untuk apa Dennis membawa kalender? Hal tersebut membuat Caroline merasa bingung, tak paham dengan maksud anak itu membawakannya sebuah kalender.
Setibanya di depan Caroline, anak itu menyerahkan desk calender, napasnya masih terengah-engah akibat aksi berlarinya.
"Ini Bun-bunda," katanya tersengih, polos.
Meskipun bingung. Caroline tetap mengambil desk calender dari tangan mungil Dennis, senyum manis itu tertuang agak ragu.
"Apa ini, Sayang? Kamu mau menunju—"
Saat kalender dibalik dan mata Caroline langsung tertuju pada sebuah angka bulan depan—7 Oktober, tepat satu minggu dari hari ini.
Karena hal itulah, Caroline membulatkan pandangan sampai bibirnya ternganga. Secara bergantian dia melihat ke kalender dan senyum Dennis yang tak pernah padam sejak dia melihat anak itu.
"Dennis ...," panggil Caroline, lembut, "Kamu mendengar ucapan Papa kamu tadi?"
"Iya, Bunda. Dennis suka Bunda ada di sini, Papa jadi bahagia dan Dennis bahagia lihat Papa seneng," sahutnya begitu besar hati.
Padahal itu adalah hari lahirnya. Terhitung hanya beberapa hari dari ini, namun, yang ada di pikirannya hanya kebahagiaan papanya.
Dengan suka rela dia menyerahkan kalender dengan niat agar Caroline tetap di sana untuk kebahagiaan sang papa. Terbitlah lautan air mata haru dari gadis itu.
Tetesan air mata mulai membasahi pipi, bahkan ketika Caroline mengusap lembut permukaan kalender tepat di atas angka tujuh yang telah dilingkari tinta merah—bertuliskan 'Birthday'.
"Kamu baik banget, sih, Sayang. Makasih, ya," ungkapnya gemas, sampai dia mencubit lembut pipi ranum Dennis, "Kamu mau kado apa, Sayang? Nanti Kakak kabulkan, apapun itu," sambungnya tanpa mempertimbangkan kemungkinan yang tak bisa dia kabulkan.
"Dennis selalu mau kue ulangtahun yang tinggi ...," urainya sambil membentangkan tangan, "Biar Bunda malaikat bisa makan, soalnya kata Grandpa, Bunda malaikat tinggalnya di langit."
Anak itu tersenyum, matanya pun berpendaran penuh keceriaan. Yang terenyuh karena merasa sedih adalah Caroline, dia paham maksud dari itu semua.
Caroline mengangguk dengan tatapan sendu. "Oke, nanti Kakak buatkan, tapi ...?"
Tiba-tiba dia menjadi ragu. Bagaimana jika dia berhasil melarikan diri dari Calvino? Lantas, bagaimana bisa dia memberikan hadiah kue ulangtahun itu?
Caroline termenung lama. Memangku beberapa hal yang dia pertimbangkan. Haruskah dia tinggal di sana untuk beberapa hari, setidaknya sampai ulangtahun Dennis.
Gadis bermata almond itu menggeleng untuk membunuh pikiran-pikiran berat itu untuk sementara waktu. "Udahlah, itu urusan nanti, sekarang kita ke rumah Kakek dulu, Papa kamu pasti udah bawel kek emak-emak yang belum dikasih duit sama lakinya," gerutu Caroline menyeret lembut Dennis dalam genggamannya.
Kontak, anak itu terkekeh. Berjalan berdampingan dengan Caroline, melompat-lompat bahagia, sampai dia bersenandung di sepanjang langkahnya menuju lantai satu.
Di ruang tengah mansion, Calvino dengan dua orangtuanya terlihat berbincang cukup serius, mengenai uang bulanan Yuzdeline tentunya.
"Mama sama Papa mau nanya, kamu kalau ngasih uang bulanan untuk istri kamu, itu sistemnya gimana?" tanya Marisa yang cukup penasaran dari sejak pernikahan putranya terikat.
Begitupun dengan papanya. Dia memang tidak bicara, hanya saja ekspresi wajahnya terlalu terang-terangan memamerkan kepanasannya.
Sementara Calvino menarik ujung bibir sampai simpul senyum kecil tersemat di ujung bibir kiri, dia menyandarkan punggung ke sofa sambil menaikkan kaki kanan ke atas lutut kaki kiri.
"Menggunakan Debit card, yang aku transfer per bulannya, itu hanya uang bulanan pribadinya, untuk keperluan rumah dan segala macamnya, masih aku yang atur," tukasnya.
Anggukkan paham tertumpah dari Marisa dan Bambam.
"Jadi, kamu gak memberinya akses penuh untuk keuangan kamu? Seperti yang kamu lakukan pada Karmelita?" Marisa berpendapat.
Dia hanya ingin mendengar alasan dibalik perlakuan berbeda dari Calvino untuk ke-dua istrinya.
"Tentu. Yuzdeline bukan wanita yang aku inginkan, jadi dia hanya mendapatkan apa yang aku berikan, gak bisa mengakses seluruh properti yang aku miliki," jawab Calvino dengan angkuh.
Bahkan dia mendelik, malas.
Mimik wajah seperti itu hanya bertahan selama beberapa saat, sebelum akhirnya dia mengingat apa yang diberitahukan oleh Bryan Wiratama—sekretaris pribadinya.
Sebelum malam tadi, keterangan masuk ke bank informasinya, dikatakan jika Yuzdeline telah menonaktifkan debit card yang diberikan Calvino padanya.
Semua uang di dalamnya telah dialihkan ke rekening pribadi wanita itu, Calvino menduga jika hal itu dilakukan Yuzdeline untuk melarikan diri darinya.
"Sebelum menghilang, hari berikutnya Yuzdeline memang menonaktifkan debit card itu, dan sekarang aku paham," ungkapnya dengan senyum, tengil.
"Kenapa? Apa Yuzdeline mencoba untuk pergi tanpa sepengetahuan kamu?" tanya Marisa begitu penasaran.
Jika dugaannya benar, maka perjanjian pernikahan itu memiliki masalah, Marisa hanya ingin memastikan bahwa wanita pilihannya tidak melarikan diri dari tanggungjawab yang belum rampung.
Calvino mengangkat pandangan—ia lurus, tepat tembus ke tatapan Marisa dan Bambam secara bergantian. "Sepertinya begitu. Dia ingin pergi tanpa diketahui, dan ..., saat aku menemukannya di sebuah coffee shop, dia berpakaian barista, dan terus mengatakan hal-hal aneh."
"Aneh?" Marisa mengernyit, bingung.
Apa yang aneh? Sikapnya atau ada hal lain? Isi kepalanya bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan itu.
"Hm." Calvino bergumam, lalu mengangguk. "Ya. Dia terus bilang, kalau dia bukan Yuzdeline, melainkan orang lain," terangnya sama persis dengan apa yang dikatakan oleh Caroline.
"Hah?!" Spontan Marisa dan Bambam berseru.
Mereka kebingungan. Sampai akhirnya mereka malah menguar tawa, jika hal ini bisa saja hanyalah trik untuk mengelabui yang konyol.
Mereka menggeleng sambil tetap tertawa.
"Aneh banget. Ya, gak mungkin," timpal Marisa dengan kepercayaan penuh, "Yuzdeline itu anak adopsi di keluarga Barbara, dan gak ada kembaran saat keluarga itu mengadopsinya."
"Sepertinya istri kamu udah terlalu stres, makanya kamu berhenti untuk mengujinya terus," balas Bambam.
Cih.
Usai berdesis. Calvino bangkit dari sofa. "Sebelum aku puas, aku gak akan berhenti, dan ..., aku juga mau tahu, kali ini dia akan berbuat seperti apa?" Dia kancingkan jas yang dia gunakan dengan rapat.
"Bukankah kalian juga gak peduli saat Karmelita sudah menderita karena keluarganya, dan kalian masih terus menyudutkannya dan membuatnya tenggelam di rasa insecure-nya," tandas lelaki itu sebelum akhirnya pergi dari ruang tengah.
Ruang sunyi yang baru saja ramai oleh tawa, perlahan mengendur, kembali sunyi dan atmosfer canggung mulai tercipta lagi, Marisa benar-benar kesal dengan sikap sang putra.
Hingga hari ini, Calvino sungguh-sungguh mendendam karena perangai mereka semasa Karmelita hidup, sedang Bambam mulai termenung, dia menunduk.
"Bahkan setelah kita akan merelakan saham kita kembali ke tangan Barbara, dan kita bersedia menerima bayaran dengan dicicil, Calvino masih dendam dengan kita, Pah."
"Wajar, Mah. Saat Karmelita hidup, kita memang terlalu menyudutkannya, karena kita ketakutan kalau bisnis keluarga kita hancur karena keserakahan keluarga angkat Karmelita," tandas Bambam mencoba memaklumi sikap putranya saat ini.
Drrrrt ....
Saat Caroline turun dari lantai dua bersama Dennis. Ponsel dalam genggamannya mendadak bergetar, sontak hal itu berhasil membuatnya melompat karena terkejut.
Nyaris ponsel dalam genggamannya terlepas, beruntungnya dia masih mempertahankannya, seperti dia mempertahankan keseimbangan dirinya saat menuruni tangga.
"Hallo, Han? Ada apa? Kamu mau bantu aku at—"
"Oline! Kepala cheft di restoran Itali, tiba-tiba datang ke coffee shop, dia mempertanyakan kenapa kamu tiba-tiba mengundurkan diri?"
To be continued .....
Moga aja Calvino gk kebablasan
nasib mu yuz, anyep bgt