Dr. Tristan Aurelio Mahesa, seorang dokter jenius sekaligus miliarder pemilik rumah sakit terbesar, dikenal dingin, tegas, dan perfeksionis. Hidupnya hanya berputar di sekitar ruang operasi, perusahaan farmasi, dan penelitian. Ia menolak kedekatan dengan wanita mana pun, bahkan sekadar teman dekat pun hampir tak ada.
Di sisi lain, ada Tiwi Putri Wiranto, gadis ceria berusia 21 tahun yang baru saja resign karena bos cabul yang mencoba melecehkannya. Walau anak tunggal dari keluarga pemilik restoran terkenal, Tiwi memilih mandiri dan bekerja keras. Tak sengaja, ia mendapat kesempatan menjadi ART untuk Tristan dengan syarat unik, ia hanya boleh bekerja siang hari, pulang sebelum Tristan tiba, dan tidak boleh menginap.
Sejak hari pertama, Tiwi meninggalkan catatan-catatan kecil untuk sang majikan, pesan singkat penuh perhatian, lucu, kadang menyindir, kadang menasehati. Tristan yang awalnya cuek mulai penasaran, bahkan diam-diam menanti setiap catatan itu. Hingga akhirnya bertemu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Rumah besar Tristan kembali menjadi saksi perang dingin sekaligus percikan hangat yang tak pernah ia kira akan muncul dalam hidupnya. Setelah drama “penarikan paksa jilid dua” di restoran, suasana antara dirinya dan Tiwi semakin rumit.
Tiwi masih berusaha bersikap seperti biasa: ribut, cerewet, selalu punya komentar kocak tentang segala hal. Tapi hatinya? Oh, jelas bukan seperti biasa. Setiap kali mengingat cara Tristan menatapnya di restoran tadi, ia merasakan jantungnya berdentum kencang.
“Ya Tuhan… jangan-jangan aku beneran kena kutukan vampir. Jadi jatuh cinta beneran sama dokter es batu ini,” gumam Tiwi di sofa, sambil menutup wajah dengan bantal.
Tristan, yang barusan turun setelah mengambil barang, mendengar lirihan itu samar. Ia berhenti sejenak di tangga, menatap gadis ribut itu yang tampak kewalahan dengan dirinya sendiri. Ada sesuatu di dada Tristan yang terasa hangat sekaligus menakutkan.
----
Keesokan harinya, Tiwi tetap datang pagi-pagi ke rumah Tristan. Kali ini ia membawa kreasi baru: sticky note berbentuk hati. Ia menempelkan di kulkas besar sambil menulis:
“Sarapan hari ini, Nasi Goreng Tiwi Special. Kalau nggak enak, jangan khawatir… aku masih punya opsi mie instan.”
Tristan turun tangga dengan kemeja abu muda. Wajahnya masih datar, tapi matanya langsung jatuh pada sticky note pink itu. Ia menghela napas pelan, tapi di dalam hati terselip senyum samar.
“Kenapa harus bentuk hati?” tanyanya datar.
Tiwi menoleh cepat, lalu nyengir. “Biar vibes-nya beda. Kamu kan terlalu kaku. Aku harus bikin nuansa cinta, biar kamu ingat kalau hidup itu bukan cuma operasi sama pasien.”
Tristan duduk, menerima piring nasi goreng yang wangi. Ia mencicipi diam-diam lebih lahap dari biasanya.
“Gimana?” Tiwi mencondongkan wajah, menunggu reaksi.
“…lumayan,” jawab Tristan, seperti biasa.
Tiwi memukul pelan meja. “Lumayan lagi? Tuhan, sabar banget aku sama manusia satu ini. Oke, mulai besok aku nggak masak lagi.”
Tristan menatapnya sebentar, lalu menambahkan pelan, “Enak. Nasi goreng ini… enak.”
Tiwi langsung terloncat kecil. “Nah ini baru bener! Dapet pujian lagi! Catat, sticky note pink sukses bikin Dokter Vampir luluh.”
Tristan berpaling, menyembunyikan senyum tipis yang muncul tanpa sadar.
----
Siang harinya, Tristan menerima telepon darurat. Ada operasi besar yang harus segera ia tangani. Sebelum berangkat, ia berpesan singkat pada Tiwi.
“Kamu jangan kemana-mana.”
Tiwi melongo. “Hah? Lah, aku ART apa tahanan rumah, sih?!”
Tristan menatap serius. “Aku serius. Jangan pergi dengan pria asing lagi.”
Deg. Tiwi tercekat sepersekian detik, lalu cepat-cepat menutupi dengan celetukan. “Oke, bos mafia. Aku janji nggak akan kabur kencan buta lagi. Aku setia di sini, kok. Sama kulkasmu.”
Tristan hanya mengangguk singkat lalu berangkat.
Namun, setelah ia pergi, Tiwi justru gelisah. Ia berjalan mondar-mandir di ruang tamu. “Duh, kenapa ya aku nurut banget kalau dia ngomong? Gawat. Ini udah level bucin akut kayaknya.”
----
Sore hari, bel pintu berbunyi. Tiwi membuka, dan hampir menjerit kaget.
“Mama Tina?!” seru tiwi
Wanita elegan itu masuk dengan senyum lebar. “Iya, Nak. Mama lagi pengen mampir. Tristan ada?”
“Ehm… lagi operasi, Ma.” jawab Tiwi
“Baguslah. Jadi Mama bisa ngobrol sama kamu.” ujar mama Tina dengan senyum bahagia nya
"Siap ma, kita bisa bercerita banyak hal" ujar Tiwi lalu menggandeng lengan mama Tina untuk masuk kerumah
Setelah duduk dan bercerita sebentar mama Tina mulai bertanya hal serius, “Tiwi, Mama mau tanya serius. Kamu ada perasaan sama Tristan, kan?”
Tiwi hampir tersedak. “Hah?! Ma… astaga, pertanyaannya kayak wartawan infotainment!”
Mama Tina tertawa kecil. “Jawab aja jujur. Mama ini ibunya, pasti tahu kalau anak Mama berubah. Tristan itu dulu dingin, tidak peduli apa pun selain kerja. Tapi sejak ada kamu… rumah ini terasa berbeda. Dia berbeda.”
Tiwi menunduk, wajahnya memerah. “Ya… gimana ya, Ma. Aku sendiri bingung. Dulu aku pikir dia cuma vampir galak. Eh, lama-lama aku malah ketagihan lihat mukanya.”
Mama Tina menepuk tangannya lembut. “Kalau memang kamu sungguh-sungguh, Mama akan dukung. Tristan butuh seseorang yang bisa melelehkan dinginnya. Dan Mama lihat… orang itu kamu.”
Tiwi tercekat, matanya berkaca. Dalam hati ia berbisik, “Astaga, aku udah kebablasan jauh banget. Bisa bisa di pecat jadi anak ni sama papa”
Malamnya, Tristan pulang. Ia lelah, tapi tetap menyempatkan diri duduk di ruang kerja. Saat membuka buku medis, sticky note Tiwi jatuh dari dalamnya.
Tulisan centil dengan gambar wajah senyum itu membuat Tristan termenung. Ia menyentuh kertas itu lama.
“Ternyata… aku takut kehilanganmu, Tiwi,” gumamnya lirih.
Tanpa sadar, Tiwi muncul di depan pintu, membawa segelas susu hangat. Ia mendengar kalimat itu. Hatinya bergetar hebat.
“Dok…” panggilnya pelan.
Tristan terloncat sedikit, lalu menatapnya. Wajahnya kembali datar, tapi matanya jelas menyimpan sesuatu.
“Kamu ngapain di situ, kok belum pulang?” tanyanya singkat.
Tiwi masuk, meletakkan gelas susu. “Aku bawain minum. Biar kamu nggak kaku banget sama buku medis itu. Ini juga mau pulang ”
Tristan menatapnya lama. “Kamu dengar tadi?”
Tiwi pura-pura bego. “Dengar apa? Aku cuma dengar perutku laper. Kayaknya perlu cemilan.”
Tristan menatap makin tajam, lalu bangkit. Ia berjalan mendekat, jaraknya makin dekat hingga Tiwi bisa merasakan hangat napasnya.
“Aku tidak main-main, Tiwi. Aku… memang takut kehilangan kamu.”
Deg.
Tiwi terpaku, wajahnya memerah. Bibirnya terbuka ingin membalas, tapi kata-kata tak keluar.
Akhirnya ia hanya nyengir kaku. “Ya… kalau gitu jangan galak terus dong, Dok. Aku juga manusia. Bisa kabur kalau disiksa.”
Tristan menahan senyum, lalu tiba-tiba berkata, “Jangan kabur. Tetap di sini.”
Tiwi membeku. Dadanya seperti dihantam ribuan kupu-kupu.
----
Keesokan harinya Tiwi seperti biasa datang pagi pagi tapi hari ini terlihat ada yang lain karena saat Tiwi menoleh ke meja, ada sticky note baru. Tulisan rapi berbeda dari tulisannya sendiri:
“Sarapan sudah siap di meja. –T”
Tiwi membeku, lalu senyum lebarnya merekah. “Astaga… dokter vampir nulis sticky note dan sarapan Ya Tuhan, ini sejarah dunia!”
Hatinya meledak bahagia.
---
Hari-hari ke depan jelas tidak akan mudah. Tristan masih dingin, Tiwi masih ribut. Tapi ada sesuatu yang sudah bergeser. Dinding es perlahan retak. Sticky note kecil jadi saksi bahwa cinta bisa tumbuh bahkan di rumah yang awalnya beku.
Dan bagi Tiwi, semakin hari ia semakin sadar: dirinya tidak hanya jadi ART ribut di rumah dokter. Ia sedang jatuh cinta.
Bersambung…
weezzzzz lah....di jamin tambah termehek-mehek kamu....🤭
Siapa sih orang nya yang akan diam saja, jika dapat perlakuan tidak baik dari orang lain? Tentunya orang itu juga akan melakukan pembalasan balik.
Lope lope sekebon Author......🔥🔥🔥🔥🔥
Tak kan mudah kalian menumbangkan
si bar bar ART.....💪🔥🔥🔥🔥🔥