NovelToon NovelToon
Operasi Gelap

Operasi Gelap

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Mafia / Balas Dendam / Mata-mata/Agen / Gangster / Dark Romance
Popularitas:975
Nilai: 5
Nama Author: Radieen

Amara adalah seorang polisi wanita yang bergabung di Satuan Reserse Narkoba. Hidupnya seketika berubah, sejak ia melakukan operasi hitam penggrebekan sindikat Narkoba yang selama ini dianggap mustahil disentuh hukum. Dia menjadi hewan buruan oleh para sindikat Mafia yang menginginkan nyawanya.
Ditengah - tengah pelariannya dia bertemu dengan seorang pria yang menyelamatkan berulang kali seperti sebuah takdir yang sudah ditentukan. Perlahan Amara menumbuhkan kepercayaan pada pria itu.
Dan saat Amara berusaha bebas dari cengkraman para Mafia, kebenaran baru justru terungkap. Pria yang selama ini menyelamatkan nyawanya dan yang sudah ia percayai, muncul dalam berkas operasi hitam sebagai Target Prioritas. Dia adalah salah satu Kepala geng Mafia paling kejam yang selama ini tidak terdeteksi.
Amara mulai ragu pada kenyataan, apakah pria ini memang dewa penyelamatnya atau semua ini hanyalah perangkap untuknya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radieen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Motor Tua

Halaman belakang kantor kepolisian sore itu terasa lengang. Matahari merendah, sinarnya menembus sela pepohonan, menciptakan bayangan panjang di atas aspal yang retak-retak. Bau bensin bercampur debu menyeruak dari deretan motor dinas yang diparkir berjajar.

Raditya baru saja ingin pulang dengan motor bututnya, Supra lama dengan cat kusam yang tampak pudar. Knalpotnya terdengar berisik, membuat orang disekitarnya menoleh. Beberapa polisi muda saling berbisik sambil menahan tawa geli, melihat seorang IPDA seperti Raditya yang datang dengan motor seperti itu.

Raditya mencoba menegakkan bahunya, seakan tidak terganggu, meski dalam hati ia ingin sekali menghilang dari pandangan mereka. Motor itu sebenarnya masih lumayan, tapi untuk seorang IPDA, kendaraan itu jelas membuatnya tampak “jatuh kelas.”

Dari arah koridor, langkah berat terdengar. Alfian muncul, wajahnya dingin, sorot matanya tajam. Ia berjalan pelan, setiap langkahnya menekan lantai dengan hentakan kaki yang tegas .

“Raditya,” panggilnya, suaranya terdengar dalam dan tenang.

“Komandan,” sahut Raditya cepat sambil berdiri tegak.

Alfian berhenti tepat di hadapannya. Matanya menyapu motor tua di samping Raditya, lalu kembali menatap Raditya. Alisnya sedikit terangkat.

“Kau...” ucapnya perlahan, seolah sedang menimbang kalimat, “kau naik motor ini sekarang? Mana mobilmu?”

Pertanyaan sederhana, tapi bagi Raditya, terasa seperti tusukan. Ia teringat jelas malam itu di pelabuhan, bagaimana Amara menyeretnya pergi hingga ia tak sempat mengambil mobilnya. Mobil itu entah sekarang ada di tangan siapa.

Raditya menelan ludah, memaksakan senyum. “Ah… itu, Komandan. Mobilku… dicuri kemarin. Waktu mampir ke warung dekat rumah, entah bagaimana bisa raib begitu saja. Aku sudah lapor ke bagian lalu lintas.”

Ia sengaja bicara dengan nada datar, seolah itu hanya musibah kecil.

“Dicuri, ya?” ucapnya sambil menyilangkan tangan di dada.

Alfian menatapnya lama, dalam, seperti hendak membaca isi kepalanya. Bibirnya melengkung tipis, ”Raditya, kau ini seorang polisi. Seharusnya menemukan barang yang di curi itu hal yang sepele."

Raditya bisa merasakan keringat dingin merembes di pelipis. Ia mencoba tertawa kecil. “Namanya juga apes, Komandan. Lagi sial saja.”

Alfian mendekat sedikit, menepuk bahu Raditya dua kali. “Kau hebat juga. Mobil baru dicuri, tapi kau masih bisa santai bercerita sambil tersenyum.”

Nada suaranya ringan, tapi mengandung sindiran halus. Raditya hanya bisa menunduk, tersenyum pahit.

“Mungkin memang waktunya kau beli mobil baru,” lanjut Alfian. “Motor tua ini… kurang cocok denganmu.”

Tanpa menunggu jawaban, Alfian melangkah pergi, meninggalkan Raditya yang diam di tempat.

Raditya menggertakkan gigi, menendang batu kecil hingga memantul di aspal.

“Sialan… kalau bukan gara-gara si Amara…” gumamnya.

Tapi kalimatnya menggantung, ia tidak sanggup menyalahkan Amara sepenuhnya.

Ia naik ke motornya, menyalakan mesin yang meraung kasar. Jalanan sore yang mulai padat dilaluinya dengan terburu-buru, karena ia ingin melarikan diri dari tatapan orang-orang.

Jalanan kota semakin redup ketika Raditya melaju pulang. Lampu jalan sudah banyak menyala, membentuk lorong cahaya kekuningan di sepanjang aspal berdebu. Motor Supra tua itu meraung pelan, suara mesin yang seharusnya stabil berubah tersendat-sendat, seakan memberi isyarat bahwa ia sudah tak sanggup menanggung beban hati tuannya.

Raditya menyenggol sedikit gasnya, nada mesin bergeser, kemudian kembali mendengung. Ia mengerem ringan di tikungan kecil, melewati warung-warung yang sudah tutup, lampunya dipadamkan. Jalanan tampak lengang, hanya beberapa mobil melintas lembut.

Tiba-tiba, suara “krek… krek…” muncul dari mesin. Motor kehilangan tenaga. Raditya memiringkan motor ke pinggir, mencoba memutar kopling. Mesin melemah, lalu mati mendadak.

Ia menghempaskan napas berat, meraih handle motor, dan mendorongnya ke sisi trotoar. Ia memeriksa bagian mesin, membuka cover sebentar. Dia melihat kabel yang longgar dan oli yang menetes kecil dari sambungan. Raditya menatap motor mogok itu dengan mata kosong. Perasaan frustasi semakin menyakitkan di dadanya.

“Kenapa sekarang?” gumamnya lirih. “Kalau saja masih ada mobil, aku tidak akan begini. Terjebak malam-malam dengan motor butut.”

Ia menutup cover mesin dengan kasar, menyeka tangan dengan kain lusuh yang disimpannya di saku.

“Amara… kalau saja kau tidak menyeretku keluar dari pelabuhan malam itu, aku pasti masih punya mobil!” gumamnya lirih.

Tapi dia tahu betul Amara tidak bermaksud jahat. Gadis itu hanya berusaha menyelamatkannya.

Raditya berhenti mendorong motornya di dekat lampu merah. Orang-orang di sekitar menoleh ketika ia bergumam sendiri. Di kepalanya, bayangan Amara berulang kali muncul. Gadis itu selalu keras kepala, selalu membuat keputusan sendiri tanpa memberi alasan. Makin diingat, Raditya

Raditya mengembuskan napas berat. “Sialan si Amara. Dia sudah menyeretku sampai begini tapi, aku malah dibikin buta tanpa tahu apa yang dia sembunyikan.”

Sesampainya di rumah, Raditya menjatuhkan tubuhnya di sofa ruang tamu. Rumah itu terasa sunyi, anak dan istrinya sudah lelap tertidur. Lampu gantung kuning redup membuat ruangan terasa hangat, tapi pikirannya tetap kacau.

Ia menatap ponselnya di meja. Beberapa kali ia mengetik nomor Amara, lalu menghapusnya lagi. Ia ragu, takut terdengar menyalahkan. Namun akhirnya ia menghela napas panjang dan menekan tombol panggil.

Nada sambung berdering dua kali sebelum suara Amara terdengar. Suaranya terdengar berat, seperti orang yang sudah lelah seharian.

“Ya, Amara di sini.”

“Ini aku.” Raditya berdehem, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. “Kita perlu bicara Amara.”

Di seberang sana hening sejenak. “Tentang apa?”

“Tentang kenapa kau berada di pelabuhan? Kenapa aku harus merelakan mobil itu?” Raditya menekankan setiap kata. “Aku tidak marah… tapi aku butuh penjelasan. Setidaknya aku tahu kenapa aku harus berbohong setiap ada yang tanya di mana mobilku!”

Suara Amara terdengar pelan, penuh rasa bersalah. “Raditya, aku minta maaf. Aku belum bisa menjelaskan semuanya. Soal mobil...kau beli saja yang baru.”

"Beli?” Suara Raditya memekik.

Sebagai seorang kepala rumah tangga sekaligus Sandwich Generation jelas membeli mobil baru bukan hal yang gampang. Ada banyak perut yang harus dia utamakan. Ditambah saat ini dia sudah memiliki seorang anak yang masa depannya harus di pikirkan.

Raditya menutup mata, mengusap wajahnya. “Aku tahu kalau soal itu. Tapi, Amara… aku tidak bisa hanya jadi orang yang kebetulan terseret. Aku butuh tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

Ada jeda panjang. Hanya terdengar tarikan napas Amara.

“Baik,” akhirnya ia berkata. “Besok pagi, jam delapan. Kita bertemu di kafe dekat jalan protokol. Aku akan jelaskan… tapi hanya sebatas yang bisa aku katakan.”

Raditya mengangguk pelan, meski tahu Amara tak bisa melihat anggukannya. “Itu saja yang kuminta. Penjelasan. Aku harap ini setimpal dengan harga yang aku bayar.”

Suara Amara melembut. “Terima kasih, Radit…”

Panggilan berakhir. Raditya menatap layar ponselnya yang gelap. Ia kemudian bersandar, menatap langit-langit.

“Amara… aku tidak tahu apa yang kau sembunyikan. Tapi aku tidak akan biarkan kau tenggelam sendirian. Kalau aku harus kehilangan mobil… biarlah. Asal kau baik - baik saja."

1
Piet Mayong
so sweet deh fai dan Amara...
Piet Mayong
semanggad Thor...
Piet Mayong
musuh yg sesungguhnya adalah komandannya sendiri, Alfian.
sungguh polisi masa gthu sih....
Piet Mayong
seru ceritanya..
semangat.....
Radieen: 🙏🙏 Makasih dukungan, sering sering komen ya.. biar aku semangat 🩷
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!