NovelToon NovelToon
PENGUASA YANG DIHINA, SULTAN YANG DIRAGUKAN

PENGUASA YANG DIHINA, SULTAN YANG DIRAGUKAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Matabatin / Crazy Rich/Konglomerat / Raja Tentara/Dewa Perang
Popularitas:894
Nilai: 5
Nama Author: Andi Setianusa

Ia adalah Sultan sebuah negeri besar bernama NURENDAH, namun lebih suka hidup sederhana di antara rakyat. Pakaian lusuh yang melekat di tubuhnya membuat orang menertawakan, menghina, bahkan merendahkannya. Tidak ada yang tahu, di balik sosok sederhana itu tersembunyi rahasia besar—ia memiliki kekuatan tanpa batas, kekuatan setara dewa langit.

Namun, kekuatan itu terkunci. Bertahun-tahun lalu, ia pernah melanggar sumpah suci kepada leluhur langit, membuat seluruh tenaganya disegel. Satu-satunya cara untuk membukanya adalah dengan menjalani kultivasi bertahap, melewati ujian jiwa, raga, dan iman. Setiap hinaan yang ia terima, setiap luka yang ia tahan, menjadi bagian dari jalan kultivasi yang perlahan membangkitkan kembali kekuatannya.

Rakyatnya menganggap ia bukan Sultan sejati. Para bangsawan meragukan tahtanya. Musuh-musuh menertawakannya. Namun ia tidak marah—ia tahu, saat waktunya tiba, seluruh negeri akan menyaksikan kebangkitan penguasa sejati.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Setianusa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pengadilan Istana

Langit pagi di Nurendah diselimuti kabut tebal yang seakan enggan pergi. Matahari bersembunyi di balik awan kelabu, hanya menyisakan cahaya suram yang menerangi istana megah dengan warna pucat. Di balik dinding marmar yang berukir indah, tersimpan desis-desis yang lebih tajam dari belati. Ruang sidang kerajaan, dengan pilar-pilar tinggi menjulang dan langit-langit berlapis emas, menjadi arena penghakiman hari itu. Aroma dupa dan minyak wangi bunga melati memenuhi udara, tapi tidak mampu menutupi bau busuk pengkhianatan dan keserakahan.

Al Fariz berdiri di tengah ruangan, seorang diri. Tubuhnya masih membawa memar lebam dari ujian-ujian sebelumnya, tapi yang lebih dalam adalah luka di jiwanya. Ia mengenakan jubah sederhana berwarna cokelat tua, kain yang sama yang ia pakai ke pasar, kini ia hadirkan di hadapan para pembesar kerajaan. Itu adalah perlawanan diam-diam, pengingat bahwa ia masih sama dengan rakyat yang ia pimpin.

Dari singgasananya yang tinggi, tapi tidak didudukinya hari ini, ia bisa melihat laut wajah-wajah yang dulu bersujud, kini menyimpan tatapan sinis dan senyum kecut. Para menteri, bangsawan, dan penasihat kerajaan duduk di bangku-bangku berlapis beludru, bisik-bisik mereka seperti desiran ular yang siap mematuk.

Menteri Keuangan, Rustam, pria berperut buncit dengan jubah sutra hijau, adalah yang pertama mengangkat suara. Suaranya menggema, dipenuhi nada menyesalkan yang dibuat-buat.

"Hadirin sekalian," Rustam memulai, tangannya terbuka lebar seolah memohon pengertian. "Kita berkumpul hari ini bukan untuk merayakan, tapi untuk membahas suatu... aib. Aib yang telah membuat Nurendah menjadi bahan cemooh negeri tetangga."

Matanya yang tajam beralih ke Al Fariz, memandangnya dari ujung kepala hingga ujung kaki seolah ia adalah sampah yang mengotori lantai marmar.

"Sultan Al Fariz," Rustam menyebut namanya dengan sengit. "Pemimpin yang seharusnya menjadi simbol kekuatan dan kewibawaan Nurendah, terlihat dipukuli oleh preman pasar seperti anjing liar! Rakyat kita melihatnya! Dunia melihatnya! Apakah kita harus terus dipimpin oleh seorang yang tidak mampu membela harga dirinya sendiri, apalagi membela negeri ini?"

Seketika ruangan gemuruh. Ada yang berdecak, ada yang menggeleng, tapi lebih banyak lagi yang mengangguk setuju. Beberapa bangsawan muda bahkan tidak menyembunyikan senyum ejekan mereka.

Al Fariz berdiri tegak, napasnya tenang. Di dalam, darahnya mendidih. Setiap kata seperti cambuk yang menyayat kulitnya. Tapi ia ingat kata-kata Pengemis Tua, gurunya yang misterius. "Setiap hinaan yang kau terima, setiap sabar yang kau tahun, itu adalah pukulan pada rantai segelmu."

Ia mengepalkan tangannya di balik jubah, kukunya menancap di telapak tangan sampai berdarah. Tapi wajahnya tetap netral, bagai danau yang tidak beriak.

Menteri Pertahanan, Jenderal Borak, seorang pria berbadan besar dengan bekas luka di pipi, berdiri berikutnya. Suaranya berat, penuh wibawa militer.

"Baginda," panggilnya, tapi nadanya tidak lebih hormat dari memanggil bawahan. "Sebagai pengawal tertinggi Nurendah, saya harus menyatakan keprihatinan yang mendalam. Seorang Sultan harus menjadi contoh. Bagaimana prajurit-prajurit di barak akan patuh pada pemimpin yang bahkan tidak bisa menjaga kehormatannya sendiri? Mereka mendengar kisah Sultan mereka babak belur dihajar preman, dan tidak melawan! Itu bukan keberanian, itu pengecut!"

Kata "pengecut" itu menggantung di udara, menusuk telinga Al Fariz seperti panah beracun. Ia hampir tak kuasa menahan gejolak di dadanya. Dahulu, dengan sedikit gerakan jari, ia bisa menjatuhkan Jenderal Borak yang sombong itu. Kekuatannya yang dulu membara, kini terpenjara di dalam segel kutukan langit.

Tapi ia menahan diri. Ia menarik napas dalam, mengingat sumpahnya. Ini adalah bagian dari jalannya. Jalan yang harus ia lalui untuk mendapatkan kembali kekuatannya, bukan untuk membalas dendam pada orang-orang picik ini, tapi untuk melindungi Nurendah dari ancaman yang jauh lebih besar yang mereka tidak sadari.

Seorang menteri muda, Farid, yang dikenal sebagai kaki tangan Rustam, menyeringai.

"Mungkin Baginda terlalu sibuk dengan... urusan spiritualnya," candanya sinis. "Bermeditasi di kuil-kuil runtuh, bergaul dengan pengemis, sampai lupa bahwa memimpin negeri butuh kekuatan nyata, bukan khayalan!"

Tawa terkikik menyebar. Beberapa bangsawan wanita menutup mulut dengan kipas, tapi mata mereka berbinar-binar menikmati pertunjukan penghinaan ini.

Al Fariz memandang mereka satu per satu. Wajah-wajah yang dulu memuji-mujinya, bersorak saat ia naik tahta, kini berbalik menghunus kata-kata. Di balik setiap tatapan, ia bisa membaca ketakutan dan keserakahan. Mereka takut pada perubahan, takut pada kekuatannya yang suatu hari bisa kembali dan mengganggu kenikmatan mereka. Dan mereka rakus akan kekuasaan, ingin mendudukkan boneka mereka sendiri, Pangeran Palsu yang mudah mereka kendalikan.

"Tidak ada yang bisa kau katakan untuk membela diri, Baginda?" Rustam menyudutkan, senyum puas di bibirnya. "Diam adalah pengakuan. Kau tidak sanggup memimpin. Lebih baik turun tahta dengan sukarela, menjaga sisa harga diri yang kau punya."

Untuk pertama kalinya, Al Fariz membuka mulut. Suaranya tidak keras, tapi jernih, menggotong ketenangan yang mengejutkan bagi mereka yang mengharapkan amarah atau keputusasaan.

"Seorang pemimpin," ujarnya pelan, "bukan dinilai dari bagaimana ia menghabisi mereka yang lemah, tapi dari bagaimana ia melindungi mereka yang tidak berdaya, bahkan jika itu berarti menanggung penghinaan."

Diam sejenak. Ruangan menjadi senyap. Tatapan mereka tertuju padanya, ada yang terkejut, ada yang semakin geram.

"Kau menyebut preman pasar sebagai 'yang lemah'?" Jenderal Borak mencemooh. "Mereka sampah masyarakat! Dan kau membiarkan sampah itu menginjak-injak kehormatan tahta!"

"Kehormatan tahta," balas Al Fariz, matanya berbinar dengan cahaya dalam yang tidak mereka pahami, "berada di hati rakyat, bukan di jubah kebesaran atau pedang berkilau. Aku lebih memilih dipukul preman pasar daripada membunuh rakyatku sendiri hanya karena gengsi."

Perkataannya menggantung di udara, menusuk beberapa hati yang masih memiliki nurani. Beberapa bangsawan tua menunduk, malu. Tapi Rustam dan Borak tidak tergoyahkan.

"Retorika yang indah untuk menutupi kelemahan," Rustam membalas. "Tapi kita bukan di sini untuk mendengar khotbah. Kita butuh bukti. Dan yang kita lihat adalah seorang Sultan yang tidak bisa menjaga diri sendiri, apalagi negeri ini."

"Betul!" seru Farid. "Dengan segala hormat, Baginda, tindakan Baginda telah mempermalukan kita semua. Negeri tetangga menganggap kita lemah. Pemberontak mulai berani menunjukkan taring. Ini semua karena kepemimpinan Baginda yang... lunak."

Al Fariz tidak menjawab. Ia tahu, apapun yang ia katakan akan dipelintir. Ini bukan pengadilan untuk mencari kebenaran, ini adalah drama yang sudah disutradarai untuk menjatuhkannya. Ia memandang mereka, dan untuk sesaat, ia merasa kasihan. Mereka tidak tahu musuh sebenarnya bukan dirinya, tapi bayang-bayang yang akan menyergap mereka semua ketika ia jatuh.

"Kami mengusulkan," Rustam melanjutkan, suaranya kini tegas dan penuh kemenangan, "agar Sultan Al Fariz menyerahkan sementara tampuk pemerintahan kepada Dewan Menteri, hingga... kondisi Baginda membaik."

Itu adalah kudeta halus. Melucuti kekuasaannya tanpa pertumpahan darah.

Al Fariz menghela napas. Ia melihat ke jendela besar di sisi ruangan, di mana langit masih kelabu. Ia ingat anak miskin yang menolongnya, pengemis tua yang memberinya petunjuk, rakyat-rakyat kecil yang masih percaya padanya meski dalam diam. Mereka adalah alasan ia bertahan.

"Kalian bisa mengambil tahtaku," ujarnya, suaranya kini bergetar tapi penuh keyakinan. "Tapi kalian tidak bisa mengambil tanggung jawabku pada Nurendah. Aku adalah Sultan, bukan karena kalian memilihku, tapi karena darah dan sumpahku pada leluhur dan rakyat negeri ini."

Ia tidak menunggu jawaban. Dengan langkah tenang, ia berbalik dan berjalan meninggalkan ruangan. Batu marmar yang dingin diinjaknya, tapi tidak lebih dingin dari hati para bangsawan di belakangnya.

Tawa ejekan dan cibiran kembali bergema saat ia pergi. Tapi kali ini, Al Fariz tidak mendengarnya. Di telinganya, yang bergema adalah bisikan Pengemis Tua. "Mereka yang menghina adalah palu penempa jiwamu. Terima, dan tumbuhlah."

Saat ia melangkah keluar dari balairung, menuju koridor sepi, ia merasakan sesuatu di dalam dirinya bergetar. Bukan amarah, bukan pula kepedihan. Tapi sebuah retakan kecil, sangat halus, di dinding hitam segel yang membelenggu kekuatannya. Seperti kristal es yang mulai pecah diterpa sinar matahari pertama.

Ia berhenti di depan jendela, memandang kota Nurendah di kejauhan. Rakyatnya, yang sebagian masih mencintainya, sebagian sudah melupakannya, dan sebagian lagi terpaksa mengutuknya.

"Demi mereka," bisiknya pada angin yang berhembus. "Aku akan menanggung semua ini. Dan suatu hari, kalian semua akan melihat, Sultan yang kalian hina adalah pelindung yang kalian butuhkan."

Ia menyentuh dada di mana retakan itu terasa. Senyum tipis mengembang di bibirnya. Pertempuran hari ini mungkin kalah di mata dunia, tapi di dalam dirinya, itu adalah kemenangan pertama menuju kebangkitan.

Dan di balik pintu ruang sidang, Rustam dan Borak bertukar pandang puas, tanpa menyadari bahwa yang baru saja mereka kalahkan hanyalah. bayangan dari raja yang suatu hari akan kembali, lebih kuat dari yang bisa mereka bayangkan

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!