NovelToon NovelToon
Cat Man

Cat Man

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Cintapertama / Sistem / Romansa
Popularitas:679
Nilai: 5
Nama Author: juyuya

Hidup Shavira hanyalah rangkaian luka yatim piatu, ditindas bibi dan pamannya, lalu divonis hanya punya beberapa bulan karena penyakit mematikan. Namun semua berubah ketika ia bertemu sosok misterius yang selalu muncul bersama seekor kucing hitam. Lelaki itu menyebut dirinya malaikat maut—Cat Man. Sejak saat itu, batas antara hidup dan mati, cinta dan kehilangan, mulai kabur di hadapan Shavira.

haii,, selamat datang di cerita pertamaku.. semoga suka ya~♡

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juyuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Amarah Shavira

“Lo yakin mau masuk kantor, Vir?” tanya Nadia, duduk di kursi samping brankar.

“Iya. Biar gue yang kasih langsung suratnya ke kantor. Gue udah gak apa-apa.” Shavira meraih pakaiannya yang terlipat di pangkuan. Tatapannya jatuh pada noda kusam di ujung lengan kemejanya. Suaranya melembut, hampir berbisik, “Lagian gue udah bilang sama dokter Hendri… kalau urusannya udah selesai, gue bakal fokus untuk… dirawat.”

Nadia menyipitkan mata, menatap tajam. “Bener, ya? Awas lo boongin gue, Vir.”

Shavira hanya mengangguk, mengambil sling bag di atas nakas. “Iya…”

Mereka keluar dari kamar rawat, berjalan menyusuri koridor. Nadia tak henti-henti melontarkan pertanyaan. “Lo beneran gak pusing? Sesak lagi? Nggak lemes?” Bahkan sempat menarik tangan Shavira agar balik ke kamar. Tapi Shavira bersikukuh. Hari ini, apapun yang terjadi, dia harus ke kantor.

Di parkiran, Nadia sudah menyalakan mobil. Mesin meraung pelan, lalu mobil melaju meninggalkan rumah sakit. Shavira bersandar, wajahnya menoleh ke jendela, menatap bayangan lampu jalan yang berkelebat.

“Vir? Lo beneran sanggup?” suara Nadia terdengar ragu di sela setir.

“Ya Allah, Nad… berapa kali gue harus bilang? Gue tuh nggak apa-apa,” balas Shavira, setengah jengkel.

“Awas lo ya, kalau nanti pingsan lagi… gue lempar ke laut!”

Shavira langsung melotot, terkejut. “Ya ampun! Jahat banget lo, Nad!”

Nadia hanya memutar bola mata, pura-pura tak peduli.

Tak lama, mobil berhenti di depan gedung tinggi berlantai lima belas. Shavira buru-buru turun. Sebelum menutup pintu, ia menyodorkan kunci rumah dengan gantungan mawar biru.

“Nad, ini kunci rumah gue. Kalau nanti lo sempet, tolong antar barang gue ke sana. Lo juga boleh istirahat di kamar gue kalau capek.”

Nadia menerima kunci itu. Lama ia menatapnya, jemarinya bergetar. Ada sesuatu yang menyesakkan dadanya seakan-akan Shavira baru saja menitipkan seluruh hidupnya padanya. Air matanya luruh tanpa bisa ditahan.

“Vira… lo jangan ingkar janji. Lo harus selamat!” bisiknya pelan, menatap punggung Shavira yang semakin menjauh.

Shavira masuk ke lantai kantornya. Begitu membuka pintu ruangan, langkahnya terhenti.

Seseorang duduk santai di kursi kerjanya. Kakinya terlipat santai di atas meja. Senyum menyeringai itu terlalu familiar.

“Lo ngapain di sini?” Shavira mendesis.

Sam mendongak, matanya menatap tajam ke arahnya. “Mau ketemu kamu.”

Shavira mengepalkan tangan, emosi bercampur getir. “Apaan sih tiba-tiba banget? Kemarin… pas gue butuh lo banget… lo malah nggak muncul.” Suaranya bergetar menahan kesal.

“Vira! Lo ngomong sama siapa?” suara Maya tiba-tiba terdengar dari kursi sebelah.

Shavira kaget. Ia menoleh, mendapati Maya dan Karin yang melotot bingung.

“Tau nih, lo ngomong sama siapa sih? Marah-marah sendiri?” Karin menambahkan dengan nada curiga.

Shavira membeku. Mulutnya terkunci.

Mampus… apa yang harus gue bilang? Ini semua gara-gara lo!

Ia melotot ke arah Sam. Tapi lelaki itu hanya menyeringai, seolah menikmati kekacauan yang diciptakannya.

“Eh, nggak ada kok… gue habis telfonan pakai earphone, hehe,” Shavira berusaha tersenyum menutupi kegugupannya.

Belum sempat napasnya teratur, langkah sepatu kulit terdengar mendekat. Pak Saiful datang. Seperti biasa, wajahnya dingin tanpa seulas ramah, langsung menghampiri kubikel Shavira.

“Kenapa semalam kamu tidak masuk?” suaranya tegas, menusuk.

“Kamu tau? Saya terpaksa menyuruh anggota lain menggantikan tugasmu. Kenapa kamu selalu telat? Bahkan sering tidak masuk tanpa kabar!”

Shavira menunduk, bibirnya terkatup.

“Kalau memang sudah nggak betah, silakan mengundurkan diri. Perusahaan ini tidak butuh beban seperti kamu!” lanjut Pak Saiful, matanya menyipit.

Beberapa pasang mata karyawan mulai melirik. Suasana hening.

“Bahkan hari ini pun kamu telat, Shavira! Kamu sebenarnya mau hidup seperti apa? Ah, saya ingat!” ia mendengus sinis, “Kamu punya bibi dan paman yang nggak tahu malu, kan? Pantas saja kalian satu keluarga, sifatnya nggak jauh beda!”

Shavira mendongak, dadanya naik-turun.

“Belum lagi wajah pucatmu tiap hari, kayak orang mau mati!” Pak Saiful menunjuk Shavira, lalu menoleh ke seluruh ruangan sambil berputar. “Lihat! Semua karyawan di sini tampil segar, fresh, profesional. Sementara kamu? Seperti mayat hidup. Kamu mau mati atau gimana?”

“Cukup, Pak!!” suara Shavira pecah, memantul ke seluruh ruangan. Semua karyawan terperanjat.

Pak Saiful menatapnya kaget, lalu mendesis, “Apa? Kamu berani membentak saya?!”

Shavira menatap balik, matanya berkaca-kaca namun penuh amarah. “Bapak tau apa tentang hidup saya? Bapak bicara seolah-olah bapak malaikat yang memantau saya 24 jam!” Nafasnya memburu, tangannya mengepal.

“Bapak benar… saya memang seperti mayat hidup. Karena saya memang mau mati sebentar lagi.”

Seluruh ruangan terdiam.

“Saya divonis mengidap penyakit jantung kronis, stadium akhir.” Suaranya bergetar, tapi tegas. “Dan hari ini, saya resmi mengundurkan diri.”

Tangannya gemetar saat meletakkan amplop putih di atas meja kubikel.

Tanpa menunggu reaksi, Shavira melangkah pergi, langkahnya cepat.

Di belakang, terdengar bisikan bertubi-tubi.

“Apa? Dia sakit jantung?”

“Shavira… sakit jantung?”

“Pantesan dia pucat terus…”

Dinda dan Karin saling menatap, terkejut. Maya terdiam, matanya berkaca-kaca. Ingatannya berputar saat wajah Shavira yang sering melamun, lesu, bibirnya pucat. Selama ini ia kira itu karena masalah keluarga. Ternyata… jauh lebih berat dari dugaan.

Sementara itu, Pak Saiful menoleh, mendapati para karyawan memberi tatapan menyindir ke arahnya. Rahangnya mengeras. Tanpa sepatah kata, ia langsung masuk ke ruangannya, menutup pintu dengan kasar.

Maya menunduk, menatap kursi kosong di sebelahnya. Kursi yang selalu diduduki Shavira.

“Vira… gue nggak nyangka banget…” bisiknya lirih, suaranya hampir patah.

Brak!

Telapak tangan Pak Saiful menghantam meja kerjanya keras. “Sialan! Shavira… berani sekali dia mempermalukan aku di depan semua orang!”

Mulutnya melengkung ke arah senyum sinis. “Hah… jadi kamu sebentar lagi akan mati?” Ia mengangguk kecil, suaranya dingin. “Bagus. Kalau bisa, cepat-cepat saja mati. Biar aku nggak perlu lihat muka pucatmu itu lagi.”

Ia melangkah ke kursi, menarik laci meja dan mengeluarkan sebungkus rokok. Dengan gerakan santai, ia menyelipkan sebatang ke bibirnya. “Shavira, Shavira…” gumamnya, suaranya nyaris seperti orang terpesona. “Dulu aku sempat terpikat sama wajah cantikmu. Tapi ternyata… kamu cuma gadis keras kepala yang berani melawanku.”

Ia menyalakan korek. Api kecil itu bergetar, hampir menyentuh ujung rokok.

Tiba-tiba—cekat!—sebuah tangan asing muncul dari samping, merebut rokok itu, lalu menekannya pelan di atas meja hingga padam.

Pak Saiful tersentak. “Brengsek! Siapa kamu?!”

Di depannya, seorang pria duduk santai di atas meja, kaki bersilang, dada bersedekap. Tatapannya tajam, bibirnya tersungging senyum miring yang penuh ancaman.

“Nama saya Sam,” suaranya tenang, tapi mengandung tekanan. “Sebenarnya… waktu kematian kamu masih sepuluh tahun lagi. Tapi…” ia mencondongkan tubuhnya ke arah Pak Saiful, matanya menyala aneh, “…hari ini saya mau kasih kamu pelajaran. Biar kamu ngerti rasanya jadi orang yang ditindas.”

Pak Saiful terdiam, tubuhnya menegang. Ia refleks mendorong kursinya ke belakang, menjauh. “A-apa maksud kamu…?” suaranya parau, untuk pertama kalinya terdengar gentar.

Sam terkekeh rendah, mengguncang udara ruangan. “Maksud saya sederhana, Pak…”

Ia menepuk meja sekali, dan tiba-tiba lampu ruangan berkelip seakan listrik bergetar. “kamu akan tahu gimana rasanya… kalau semua orang berharap dirimu cepat mati.”

1
Ceyra Heelshire
what the hell
Maki Umezaki
Terima kasih penulis, masterpiece!
Tae Kook
Perasaan campur aduk. 🤯
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!