Calya, seorang siswi yang terpikat pesona Rion—ketua OSIS tampan yang menyimpan rahasia kelam—mendapati hidupnya hancur saat kedua orang tuanya tiba-tiba menjodohkannya dengan Aksa. Aksa, si "cowok culun" yang tak sengaja ia makian di bus, ternyata adalah calon suaminya yang kini menjelma menjadi sosok menawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asma~~, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Acara akad telah usai, kini giliran Aksa dan Calya berpamitan kepada kedua orang tua mereka. Calya merasa gugup, hatinya campur aduk. Sejujurnya, ia tidak ingin ikut Aksa, tetapi kini ia tidak punya pilihan. Ia telah menjadi istrinya.
"Ma, Pa, kami pamit dulu ya," kata Aksa, suaranya terdengar ramah.
"Kalian yakin mau tinggal berdua saja?" tanya Mama Calya, Amelia. "Apa tidak sebaiknya kalian tinggal di sini dulu? Nanti kalau ada apa-apa, Mama bisa bantu."
Aksa tersenyum. "Terima kasih, Mama. Tapi kami ingin belajar mandiri. Kami ingin membangun rumah tangga kami sendiri."
Mendengar perkataan Aksa, Calya terkejut. Ia tidak tahu menahu soal rencana ini. Ia menatap Aksa dengan tatapan tidak percaya, tetapi Aksa hanya membalasnya dengan senyum tipis.
"Calya, kamu setuju?" tanya Papa Calya, Agartha.
"Tidak!" jawab Calya dengan cepat. "Aku mau tinggal sama Mama aja! Atau sama Bunda aja! Aku nggak mau tinggal berdua sama Aksa!"
Calya menolak keras. Bayangan hidup berdua dengan Aksa, pria yang paling ia benci, membuat ia bergidik ngeri. Ia bahkan tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi nanti.
"Calya, jangan begitu," kata Papa Agartha. "Aksa benar, kalian harus belajar mandiri. Papa dan Mama percaya kalian bisa, suami kamu sekarang Aksa, hormati dia dan ingat pesan mama dan papa."
Kedua orang tua mereka saling pandang, lalu mengangguk setuju. Mereka percaya dengan keputusan Aksa. Aksa selalu menjadi anak yang bertanggung jawab.
Dengan berat hati, Calya akhirnya menyerah. Ia tahu, ia tidak punya pilihan. Ia memeluk mamanya erat-erat, air matanya tumpah. "Ma, Calya takut," bisiknya.
"Jangan takut, Nak. Aksa akan menjagamu," jawab Amelia, berusaha menenangkan putrinya.
Calya beralih memeluk papanya. Ia menangis tersedu-sedu. Ia merasa sangat sedih. Ia merasa seperti akan dikirim ke tempat yang sangat jauh.
"Jaga diri kamu baik-baik, Nak," kata Papa Agartha, menepuk punggung Calya.
Setelah berpamitan dengan kedua orang tua Calya, Aksa dan Calya beralih berpamitan dengan orang tua Aksa.
"Aksa, Calya. Jangan lupa sering-sering main ke rumah, ya," kata Papa Aksa.
"Tentu, Pa," jawab Aksa.
"Bunda titip Calya ya, Nak," kata Bunda Aksa kepada Aksa. "Jaga dia baik-baik."
"Tentu, Bun," jawab Aksa.
Setelah itu, Aksa menggandeng tangan Calya menuju mobil. Calya berjalan gontai, ia masih menangis sesekali. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
...----------------...
Di dalam mobil, Calya masih menatap ke luar jendela, matanya berkaca-kaca melihat kedua orang tuanya yang kini semakin menjauh. Hatinya perih. Ia bertanya-tanya, apakah ini keputusan yang benar? Sementara itu, di dalam hati kedua orang tuanya, ada doa dan harapan yang sama: semoga Aksa adalah pilihan yang tepat untuk putri mereka.
Hening. Tidak ada percakapan di antara mereka. Hanya suara mesin mobil yang mengisi kesunyian. Aksa memilih untuk diam, memberi ruang bagi Calya untuk mencerna semua yang terjadi. Ia tahu Calya sedang marah dan sedih, dan ia tidak ingin menambah beban Calya.
Akhirnya, mobil berhenti di depan sebuah apartemen mewah. Calya mengerutkan kening. Ini bukan apartemen Aksa yang ia tahu.
"Apartemen siapa ini?" tanya Calya.
"Milik kita," jawab Aksa singkat, lalu keluar dari mobil.
Calya hanya bisa terdiam. Ia menarik koper besarnya dengan susah payah, sementara Aksa sudah berjalan duluan di depannya. Melihat itu, amarah Calya kembali memuncak. Bukannya membantu, Aksa malah meninggalkannya. Calya berjalan cepat, menyusul Aksa, dan membentak, "Bukannya bantuin, malah ditinggal!"
Aksa menoleh, seulas senyum tipis terukir di bibirnya. Ia tahu, Calya sedang marah. Tapi ia tidak peduli. Ia suka melihat Calya marah, karena di balik kemarahan itu, Calya terlihat begitu hidup.
...----------------...
Mereka berdua masuk ke dalam lift. Aksa menekan tombol lantai paling atas. Pintu lift tertutup, tetapi belum sampai di lantai tujuan, pintu lift kembali terbuka. Beberapa orang masuk, membuat lift menjadi penuh sesak. Calya dan Aksa jadi berdekatan, bahkan tubuh mereka bersentuhan.
Calya mencoba menjaga jarak, tetapi tidak bisa. Ia terjebak di antara Aksa dan orang-orang di belakangnya. Ia bisa merasakan aroma parfum Aksa yang samar-samar tercium.
"Jangan gerak," bisik Aksa, suaranya pelan dan dalam. "Nanti koper kamu kena orang lain."
Calya menuruti, tidak berani bergerak. Aksa menunduk, bibirnya mendekat ke telinga Calya. "Bagaimana rasanya? Berdesakan denganku?" bisiknya.
Calya melotot, menahan diri untuk tidak memaki. Ia mencoba mendorong Aksa, tetapi sia-sia. Aksa malah melingkarkan tangannya di pinggang Calya, seolah-olah ingin melindungi Calya dari kerumunan di belakangnya. "Tenang saja," bisiknya lagi, "tidak ada yang akan menyakitimu selama aku ada."
Jantung Calya berdegup kencang. Ia tidak tahu apakah itu karena marah atau karena perasaan lain yang tiba-tiba muncul. Ia merasa bingung. Di satu sisi, ia membenci Aksa. Tetapi di sisi lain, ia merasa aman di dalam pelukan Aksa.
Tak lama kemudian, pintu lift terbuka, dan mereka berdua langsung keluar. Calya langsung melepaskan pelukan Aksa. "Jangan sentuh aku lagi!" desisnya.
Aksa hanya tersenyum. "Kenapa? Kamu suka ya?" godanya.
Calya tidak menjawab. Ia hanya berjalan cepat, menuju apartemen mereka, hatinya masih berdebar kencang.
...---------------...
Tawa Aksa pecah saat ia melihat Calya berjalan cepat melewati pintu apartemen mereka. Gadis itu benar-benar marah hingga tidak sadar kalau ia sudah kelewat.
"Calya!" panggil Aksa, tawanya masih tersisa.
Calya berhenti, menoleh ke belakang dengan mata melotot. "Apa?!"
Aksa hanya menunjuk pintu apartemen yang baru saja dilewati Calya. "Lewat, Nyonya Aksa."
Wajah Calya langsung memerah. Ia merasa sangat bodoh. Dengan kesal, ia berjalan mundur, tangannya mengepal, mulutnya komat-kamit menyumpahi Aksa. Ia berjanji dalam hati, Aksa akan membayar mahal untuk semua ini. Setelah menikah, Aksa jadi semakin menyebalkan.
...----------------...
Begitu pintu terbuka, mata Calya langsung terpukau. Apartemen itu tidak sebesar yang ia bayangkan, tetapi sangat nyaman. Dindingnya dicat dengan warna putih bersih, memberikan kesan lapang dan cerah. Di ruang tamu, hanya ada satu sofa abu-abu, sebuah karpet berbulu, dan meja kecil di tengahnya. Tidak ada televisi, hanya sebuah rak buku yang penuh dengan buku-buku.
"Ini... apartemennya?" tanya Calya, tidak percaya.
Aksa mengangguk. "Sederhana, tapi cukup kan?".
Calya tidak menjawab. Ia berjalan lebih masuk, melihat-lihat sekeliling. Dapur berada di sudut ruangan, hanya ada kompor kecil, kulkas, dan meja makan minimalis dengan dua kursi.
"Dapurnya kecil," gumam Calya.
"Aku tahu kamu tidak suka masak, jadi aku tidak terlalu memikirkannya," jawab Aksa santai.
Pernyataan Aksa membuat Calya semakin kesal. Ia memang tidak suka masak, tapi bukan berarti dapurnya harus kecil!
Calya berjalan lagi, lalu matanya menangkap sebuah pintu. Ia membukanya, dan terpampang sebuah kamar tidur. Sebuah tempat tidur besar, lemari pakaian, dan meja rias. "Hanya ada satu kamar?" tanyanya, kaget.
Aksa mengangguk. "Ya. Kita kan suami istri."
Calya menatap Aksa dengan tatapan horor. "Gue... ngga mau tidur sama lo!"
Aksa hanya tersenyum. "Tenang saja. Aku tidak akan memaksamu."
Meskipun Aksa mengatakan itu, Calya tidak percaya. Ia tahu, Aksa suka sekali menggodanya. Ia menutup pintu kamar itu, lalu berjalan ke ruang tamu dan duduk di sofa. Ia merasa lelah, lelah secara fisik dan mental. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia hanya bisa pasrah.