NovelToon NovelToon
Manuver Cinta

Manuver Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Balas Dendam / CEO / Dark Romance
Popularitas:329
Nilai: 5
Nama Author: _Luvv

Pernikahan tanpa Cinta?

Pernikahan hanyalah strategi, dendam menjadi alasan, cinta datang tanpa di undang. Dalam permainan yang rumit dan siapa yang sebenernya terjebak?

Cinta yang menyelinap di antara luka, apakah mereka masih bisa membedakan antara strategi, luka, dendam dan perasaan yang tulus?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _Luvv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 21

Hari ini terasa begitu melelahkan untuk Diandra. Ia baru saja menyelesaikan shift panjangnya di rumah sakit, tubuhnya ingin segera rebah di kasur apartemen. Namun, langkahnya terhenti ketika keluar dari lobi.

Sebuah mobil hitam terparkir rapi di depan, dan sosok yang sangat ia kenal berdiri bersandar di sana dengan tenang tatapannya dingin namun menusuk.

“Lingga…” sapanya pelan.

Pria itu menoleh, tatapannya singkat tapi dalam. “Mau pulang?” tanyanya datar.

Diandra hanya mengangguk.

“Masuk,” ucap Lingga, sembari membuka pintu mobil.

“Ha?” Diandra sempat bingung.

“Pulang bareng saya.” nada suaranya bukan sekadar ajakan, tapi juga perintah halus yang sulit ditolak.

Diandra berniat menolak, namun malam ini lobi rumah sakit penuh orang. Ia tak ingin menarik perhatian lebih. Dengan sedikit ragu, akhirnya ia masuk ke dalam mobil Lingga.

Suasana hening menyelimuti mereka begitu mesin mobil menyala. Tak ada satu pun yang membuka percakapan. Hanya bunyi deru mesin dan lampu kota yang menemani.

Sampai akhirnya Lingga bersuara, tenang namun menusuk.

“Kamu tidak punya keinginan untuk minta maaf?”

Pertanyaan itu membuat Diandra menelan ludah, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia sendiri tak tahu kenapa merasa terpojok seperti ini.

“Aku… minta maaf,” ucapnya lirih.

“Udah saya maafkan.” jawab Lingga singkat, tanpa intonasi berlebihan.

Lingga bahkan tak menyangka mendengar tiga kata itu. Namun, inilah Diandra Elene Maris—wanita yang berani mengakui kesalahan dan tak segan meminta maaf jika memang keliru. Bukankah itu sikap yang langka? Jarang sekali ada seorang wanita setegas dan seanggun dirinya.

“Tapi aku nggak sepenuhnya salah,” bela Diandra, mencoba mempertahankan harga dirinya.

Kali ini Lingga menoleh sejenak, menatapnya penuh arti. “Kamu salah karena nggak mau dengar penjelasan saya.”

“Udah terlanjur emosi,” gumam Diandra sambil membuang pandangan ke luar jendela. Ia menyandarkan kepala, ingin cepat sampai di apartemennya. Namun, beberapa menit kemudian ia menyadari jika ini bukan jalan menuju apartemen.

“Lingga, kamu mau bawa aku ke mana?” tanyanya curiga.

“Rumah saya.”

“Apa? Nggak mau! Aku mau pulang ke apartemen,” protes Diandra.

“Kenapa? Bukankah kita sepakat untuk tinggal bersama?” ucap Lingga mengingatkan tentang perjanjian pernikahan mereka.

“Tapi nggak malam ini juga, Lingga. Aku besok kerja, semua barangku di apartemen.” Diandra berusaha keras mencari alasan.

Lingga tetap tenang. “Kalau begitu, saya juga pulang ke apartemen kamu.” Ia memutar kemudi, mengubah arah mobil.

“Kamu pulang aja ke rumahmu. Lagian kamu nggak ada baju di sana, besok kan kerja juga?” Diandra makin gelisah.

Lingga melirik sekilas lalu menjawab tenang, “Tidak masalah. Di belakang ada pakaian ganti saya.”

Spontan Diandra menoleh ke kursi belakang, dan benar saja, ada koper kecil tertata rapi.

“Kamu udah prepare?” tanyanya tak percaya.

Lingga menghela napas pelan. “Harusnya saya berangkat ke Surabaya malam ini. Tapi saya cancel karena istri saya marah.”

“Dih! Ya udah sekarang kamu pergi aja ke Surabaya. Aku udah nggak marah, kok,” ucap Diandra cepat, seolah mendapat jalan keluar.

Namun Lingga hanya melirik tipis, senyumnya samar dan sulit ditebak.

“Tidak. Saya sudah menyuruh asisten pribadi menggantikan saya.”

Mendengar itu, Diandra langsung manyun, bibirnya mengerucut kesal. Malam ini tampaknya akan jadi malam panjang yang tidak sesuai harapannya.

Mobil berhenti di basement apartemen. Diandra buru-buru melepas sabuk pengaman dan keluar lebih dulu, berharap Lingga tidak mengikuti. Namun suara langkah tegas di belakangnya membuatnya mendengus kesal.

“Lingga, serius deh. Mendingan kamu pulang.” ujarnya sambil menekan tombol lift.

Lingga berdiri santai di sampingnya, satu tangan memasukkan kunci mobil ke saku celana, sementara tangan lain memegang koper kecil. “Istri saya tidur di apartemen ini. Wajar kalau saya juga ada di sini.”

“Lingga!”

“Apa?” sahut pria itu singkat, membuat Diandra berdecak kesal.

Ia hanya melirik sekilas, tatapannya datar, seolah keberadaan Diandra tak menggoyahkan sedikit pun emosinya. Justru karena itulah Diandra salah tingkah, sulit menebak apa yang sebenarnya dipikirkan Lingga.

Begitu pintu lift terbuka, mereka masuk bersama. Hening. Hanya suara ting di setiap lantai berganti. Diandra menatap angka digital di atas pintu, pura-pura sibuk, padahal jantungnya berdebar tidak karuan.

Suara berat Lingga akhirnya memecah keheningan.

“Kamu kelihatan tidak suka dengan kehadiran saya.”

Diandra spontan menoleh. “Emang.” Jawabannya sengaja dibuat tajam.

Lingga menoleh sedikit, bibirnya terangkat tipis, entah mengejek atau sekadar tenang. “Tapi jangan lupa, Diandra. Saya ini suami kamu.” nada suaranya datar, tapi menusuk dalam, membuat Diandra tercekat.

“Aku tahu,” balas Diandra cepat, “tapi aku nggak pernah menginginkannya.”

Langkah Lingga bergeser mendekat, hanya setengah, tapi cukup membuat jarak mereka terasa menyesakkan.

“Telat,” ucapnya tenang, “karena faktanya sekarang kamu istri saya.”

Ting!

Pintu lift terbuka tepat di lantai apartemen Diandra. Ia buru-buru keluar, ingin menghindar. Namun, saat hendak membuka pintu apartemennya, tangan Lingga menahan pergelangan tangannya. Sentuhan itu tidak kasar, tapi cukup kuat untuk membuat Diandra terpaku.

“Diandra,” suaranya pelan, tapi tegas. Tatapannya menusuk, seolah menembus benteng hatinya. “Mulai malam ini, berhenti pura-pura. Kamu harus terbiasa dengan saya. Ingat perjanjian kita, saya sudah menunaikan semua syarat yang kamu minta. Sekarang giliran kamu menjalankan kewajiban sebagai istri saya.”

Diandra tercekat. Matanya berkedip cepat, menahan campuran rasa kesal, marah, dan pasrah yang bercampur menjadi satu. Lidahnya kelu, sementara dadanya berdegup liar.

Lingga akhirnya melepaskan genggamannya. Tanpa menoleh, ia melangkah masuk begitu pintu terbuka, seakan apartemen itu memang miliknya.

Diandra masih berdiri mematung di ambang pintu, jantungnya berdegup kacau, hatinya benar-benar berantakan.

“Sialan,” umpatnya lirih, menggigit bibir menahan emosi yang campur aduk.

Langkah Lingga terhenti sejenak. Ia menatap Diandra penuh, “Mengumpat di depan suami sendiri, itu kebiasaan buruk, Diandra,” ujarnya datar, lalu melanjutkan langkah menuju kamarnya.

Tersadar, Diandra buru-buru menyusul. Begitu Lingga memegang gagang pintu, ia segera menahan dengan kedua tangannya.

“Enggak! Lo nggak boleh tidur di sini.” Tatapannya tajam, seperti mencoba menegaskan batas yang sudah ia gariskan sejak awal.

Lingga menaikkan sebelah alis, suaranya terdengar dingin saat menyebut nama lengkapnya. “Diandra Elene Maris.”

“Kita punya kesepakatan, kan? Nggak tidur sekamar,” protes Diandra cepat, mengingat sederet aturan yang mereka buat sebelum pernikahan ini.

“Oh ya?” Lingga menunduk sedikit, wajahnya menyebalkan sekaligus menantang. “Coba kamu ingat baik-baik.” Tatapannya menusuk, membuat Diandra semakin terpojok.

Kata-katanya memaksa Diandra mengingat percakapan mereka beberapa hari yang lalu. Potongan suara Lingga tiba-tiba bergema di kepalanya.

‘Diandra, pernikahan kita bukan kontrak. Kita menikah sungguhan. Kamu istri saya, dan saya suami kamu.’

Waktu itu Diandra terlalu kesal untuk memperhatikan. Kini, sadar atau tidak, ucapan pria menjengkelkan ini ternyata benar adanya.

“Sudah ingat?” tanya Lingga, lalu dengan mudah mengangkat pinggang Diandra dan menggesernya ke samping. Pintu pun terbuka, memberi jalan baginya untuk masuk.

“Argh! Sialan!” Diandra mendesis, menahan emosi yang hampir meledak.

Lingga hanya melirik singkat, senyum samar terbit di bibirnya. “Kebiasaanmu dalam mengumpat itu harus dihentikan, sayang.”

1
Erika Solis
Duh, sakit banget hatiku. Terharu banget sama author!
Isolde
🙌 Suka banget sama buku ini, kayaknya bakal aku baca lagi deh.
Madison UwU
Gak sabar lanjut baca!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!