Istri Culun Badboy Tengil

"Oh kentut ... Suaramu halus dan lembut. Seperti suara burung perkutut. Bila di tahan sakit perut, bila di lepas bakalan ribut ..." Juan dengan lantang membacakan puisi buatannya.

"Oh kentut ... Kau bersemayam di dalam perut, bau harum seperti bangkai siput. Kaulah angin ribut keluar dari lubang kecil, yang keriput kalau bunyi put put put ..." matanya terpejam dengan kedua tangan di liukkan ke kanan dan ke kiri, menikmati setiap kata yang ia lontarkan.

"HAHAHAHA!"

Suara gelak tawa terdengar di ruangan yang tak begitu luas itu. Saat ini jadwal pelajaran bahasa Indonesia. Dan mereka di berikan tugas membuat puisi, lalu membacakannya di depan.

"Oh kentut--"

"Stop! Ibu gak mau denger lagi!" ucap Bu Pratiwi, selaku guru Indonesia.

"Tapi Bu--"

"Kembali ke tempat!"

"Kamu ini di suruh bikin puisi yang bener malah bikin puisi gak berfaedah!" ujarnya sambil menghela nafas dan menggeleng-gelengkan kepalanya, tak tau lagi dengan tingkah Juan.

"Lah Ibu kan nyuruh bikin puisi tentang pengorbanan. Kentut juga pengorbanan, kalau gak kentut malah jadi penyakit! Jadi mending berkorban nahan malu, daripada sakit."

"Juanda Milkino!!" teriaknya sambil melotot.

"Hadir Bu, Milliano si paling ganteng sejagat sekolah!" sahut Juan sambil berlari ke tempat duduknya.

Tatapannya fokus pada kursi belakang yang di tempati oleh seorang gadis yang menarik perhatiannya. Melihatnya yang sedang menertawakan tingkahnya, Juan mengedipkan sebelah matanya. Membuat Elang yang melihat itu merasa kesal.

"Nat, temen lo tuh! Nemu dimana sih?!" ucap Aldo ketika Juan sudah kembali duduk di tempatnya.

"Di solokan!" sahut Nathan.

"An, perlu gue kasih masker buat nutupin muka lo? Gak tau malu banget!" timpal Bima.

"Gak usah, Bim. Mukanya tebel di lapisin baja. Jadinya gak punya malu!" gurau Elang.

"Kelen semwua jahat kali wak!" ucap Juan dramatis.

"Elang! Giliran kamu!" panggil Bu Tiwi untuk maju ke depan, karena di pilih secara acak.

"Mampus!"

Elang memutar bola matanya, lalu mulai berjalan santai dan berhenti tepat di depan bor. Ia menghela nafas pelan, dan perlahan mulai membacakan puisi yang dibuatnya.

"Untukmu yang kutakjubkan, aku rela segala luka. Demi melindungi senyum lembutmu, aku hadapi badai dengan hati lirih berbisik.

Bayang-bayangmu jadi pelindung.

Di setiap langkah, kau di hati.

Aku tak ragu, aku tak gentar.

Karena untukmu, aku siap berlari."

Sontak semuanya terdiam mendengar puisi yang Elang buat, penuh makna. Laki-laki itu menghayati setiap kata, sambil sesekali melirik ke belakang. Menatap istrinya yang hanya diam mendengarkan.

"Untukmu penyemangatku, kaulah alasanku hidup. Namamu selalu di hati, walaupun ku tak tahu dimana kau berada.

Di bawah bintang yang bercerita,

Aku berbisik, "Aku merindukanmu."

Prok-prok-prok!

"Anjay, sapa tuh?!"

"Cuman puisi!" jawabnya singkat sambil kembali duduk, tak lupa melirik Kia yang masih terdiam mencoba mencerna. Apakah suaminya sudah memiliki orang yang di cinta?

...***...

Di keheningan malam, di sebuah kamar apartemen yang sunyi. Seorang laki-laki sedang menatap sendu gitarnya. Tangannya mulai tergerak memetik senar pelan, dan perlahan menjadi sebuah irama lagu yang indah. Serta di aluni suara beratnya yang merdu. Siapapun yang mendengarnya pasti akan menikmati sambil memejamkan matanya.

Begitupun dengan gadis yang sedang asik memasak. Tiba-tiba terhenti mendengar suara yang menarik perhatiannya. Dengan penasaran ia mulai melangkahkan kakinya pelan. Dan membuka pintu yang sudah sedikit terbuka.

"Boleh aku masuk?" tanyanya melihat Elang yang mendongak.

Laki-laki itu hanya mengangguk pelan masih fokus pada gitarnya. Ia pun mulai berjalan menghampiri suaminya dan ikut duduk di tepi ranjang.

Kia memperhatikan sambil menikmatinya. Sesekali ia memejamkan matanya. Suaranya begitu adem dan menenangkan. Pertama kalinya mendengar Elang menyanyi, dan langsung membuatnya tercandu-candu.

"Gimana? Lo kayaknya nikmatin banget?" tanyanya setelah lagi yang ia nyanyikan habis.

"Suara kamu bagus, aku baru tau kamu bisa nyanyi. Kenapa gak ikutan grup musik gitu?"

"Gue pengen, tapi papa dari dulu gak ngedukung. Dia selalu nyuruh gue belajar, belajar dan belajar!" jawabnya.

"Padahal belajar terus gak buat orang pinter. Malah stres!" kekehnya.

"Papa ngelakuin itu karena pengen yang terbaik buat kamu," balas Kia sambil tersenyum tipis.

"Dia selalu maksa buat jadi yang terbaik, padahal dia sendiri bejat!" Elang tersenyum kecut mengingat semua kelakuan papanya.

"Udah, gak usah di lanjut. Suara kamu bagus, boleh aku mendengarnya lagi lain kali?" Kia mencoba mengalihkan pembicaraan, melihatnya tampak emosi.

"Sure, kalo lo mau."

"Boleh aku pinjem gitarnya? Aku penasaran pengen coba," tanya Kia yang di balas anggukan kecil sambil memberikan gitarnya.

Kia mulai memainkannya asal. Yang membuat Elang greget, "Bukan gitu, gini caranya!"

Posisi keduanya sangat dekat. Elang melingkar tangannya seperti memeluk, tangannya dengan lihai mulai mengajari. Bukannya fokus pada gitar, Kia malah fokus pada wajah tampannya yang sangat dekat. Begitupun dengan Elang yang sesekali mencuri pandang. Jantung keduanya berdebar sangat kencang.

Tangan Elang terangkat menarik lembut ikat talinya hingga rambut Kia terurai. Dan perlahan mulai membelainya lembut. Lalu beralih menarik kacamata bulatnya.

"Kalo di rumah gini aja, gue suka liatnya," ucapnya sambil tersenyum lembut.

Kia yang tersadar refleks memalingkan wajahnya, dan menggeser pelan tubuhnya menjauh dari suaminya.

"Muka lo tegang amat, tenang aja gue gak bakal ngapa-ngapain! Walaupun kita udah nikah, tetep aja gue gak bisa ambil hak gue tanpa izin lo!" tuturnya membuat kita tertegun.

'Lo gak boleh kehasut kata-kata manisnya!'

"Oh ya, boleh gue tanya sesuatu?" tanyanya membuat Kia mengerutkan keningnya, lalu menganggukkan kepalanya.

Elang merogoh sakunya berniat mengambil sesuatu.

"Oh ya ampun, aku lupa lagi masak sup!" Kia langsung berlari pergi begitu saja tanpa mempedulikan apa yang akan suaminya tunjukan.

Melihat kepergian istrinya, Elang mengurungkan niatnya. Ia mulai beranjak dari tempatnya, menaruh gitar pada tempatnya. Lalu melangkahkan kakinya keluar dari kamar, berniat menyusul istrinya.

Terlihat Kia yang sedang fokus pada masakannya. Dress tidur pendek bewarna hitam polos membuat kulitnya terlihat semakin putih, rambut di gerai tanpa kacamata. 'Cantik,' gumam Elang dalam hati. Ia mulai berjalan mendekat, lalu melingkarkan tangannya pada perut istrinya. Posisi seperti ini membuatnya tercandu-candu.

"Kamu ngagetin aja!"

"Biar seperti ini, sebentar aja. Lo buat gue nyaman," ucapnya lembut tepat di samping telinga.

Kia hanya diam dan memilih fokus pada masakannya. Tidak terlalu kaget lagi, karena suaminya sudah biasa seperti ini. Dan tanpa Elang sadari, gadis itu diam-diam tersenyum smirk.

'Sepertinya gue harus segera bertindak.'