Gendhis Banuwati, wanita berusia 20 tahun itu tidak percaya dengan penyakit yang dialami sang Ayah saat ini. Joko Rekso, dinyatakan mengalami gangguan mental, usai menebang 2 pohon jati di ujung desanya.
Hal di luar nalar pun terjadi. Begitu jati itu di tebang, darah segar mengalir dari batangnya.
"KEMBALIKAN TUBUH KAMI KE TEMPAT SEMULA!"
Dalam mimpi itu, Pak Joko diminta untuk mengembalikan kayu yang sudah ia tebang ke tempat semula. Pihak keluarga sempat tak percaya. Mereka hanya menganggap itu layaknya bunga tidur saja.
Akan tetapi, 1 minggu semenjak kejadian itu ... Joko benar-benar mendapat balak atas ulahnya. Ia tetiba menjadi ling lung, bahkan sampai lupa dengan jati dirinya sendiri.
2 teman Pak Joko yang tak lain, Mukti dan Arman ... Mereka juga sama menjadi gila.
Semenjak itu, Gendhis berniat mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan tempat yang di juluki dengan TANAH KERAMAT itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jati Keramat 27
Malam itu, Wira mengantarkan calon istrinya ke rumah sakit untuk berjaga. Pria itu mengantarkan Gendhis sampai di depan ruangan Eyang Wuluh dengan memastikan apakah Nanda ada disana atau tidak.
"Kamu yakin baik-baik saja disini? Pria ingusan itu nggak ada?" tanya Wira memastikan. Sejujurnya ia tidak tega meninggalkan sang Kekasih sendirian, apalagi dalam keadaan malam mencekam di ruangan mistis itu. Jika saja Gendhis telah resmi menjadi istrinya, niscaya Wira tidak akan mengijinkan istrinya untuk bekerja lagi. Apalagi dalam keadaan malam seperti saat ini.
"Mungkin Mas Nanda belum datang, Mas." Jawab Gendhis dengan hati-hati.
"Saya sejujurnya tidak suka kamu berurusan pekerjaan dengan keluarga Lurah. Apalagi ada pria ingusan itu. Setelah kamu resmi menjadi istriku, aku tidak akan memperbolehkan kamu bekerja lagi." Ucap Wira yang hampir frustasi.
Gendhis menyembunyikan tawanya, kala melihat wajah pria di sebelahnya itu mengkerucut. "Mas! Mas Wira tambah ganteng kalau ngambek kaya gitu," kekehnya.
Wira menoleh. Wajahnya masih sama selalu datar tanpa ekspresi. "Sejak kapan kamu mulai bisa menggombal?" Tapi tak dapat Wira pungkiri, jika hatinya saat ini berbunga, bahkan sampai salah tingkah dibuat calon istrinya.
"Oh ya, katanya Mas Wira mau kembali ke rumah Mas Hasan. Kok masih disini nungguin Gendhis?!" Gadis cantik itu sampai menatap dalam, hingga menyerongkan posisi duduknya.
"Nanti kalau sudah pukul 10, biar nggak kelamaan nunggunya. Lagian, saya nggak ingin nanti kamu berduaan dengan pria ingusan itu. Apalagi keadaan rumah sakit kalau malam terlihat sepi. Bisa saja 'kan pria itu mencuri kesempatan dalam kesempitan." Ucap Wira menhaan kesalnya.
Baru saja di ucapkan, rupanya benar. Nandakan sudah berjalan masuk. Tatapan pria iru terlihat bias, memandang kedua pasangan didepannya. "Siapa yang memintamu datang ke sini?" hardik Nanda dengan wajah tidak suka.
Wira juga bangkit. "Kau lupa? Aku calon suaminya Gendhis! Jadi aku harus memastikan istriku sampai dengan aman."
Nanda sudah mengepalkan tangan kuat. Dan rupanya hal itu di sadari oleh Gendhis. Dengan cepat, gadis itu menengahi kedua pria tadi agar tidak memperkeruh suasana.
"Mas, sudah! Jangan bertengkar di sini. Kalau kalian masih susah di bilangin ... Sana pergi saja semuanya!" Gendhis menampakan wajah geramnya, lalu segera menarik Wira untuk di berinya pengertian.
"Aku nggak mau pulang! Kau tidak lihat, bagaimana pria ingusan itu merasa menang karena malam ini dia akan berjaga dengan kamu." Wira masih enggan pergi dari sana.
"Mas ... Aku hanya bekerja. Percayalah sama aku." Sorot mata Gendhis mengerjab, meyakinkan kepada pria dewasa didepannya itu.
"Kamu harus berjanji padaku! Aku akan segera ke rumah Hasan untuk membakar benda itu." Dan baru kali Wira memberanikan diri untuk mengusap wajah Gendhis.
'Kurang ajar! Bisa-bisanya mereka membuatku cemburu. Awas saja kamu Wira ... Aku nggak akan membiarkan kamu menang!' batin Nanda penuh ambisi.
Dengan berat hati, Wira pergi dari hadapan Gendhis demi misinya untuk menyembuhkan Pak Joko.
Pukul 10 malam, motor Wira sudah berhenti di rumah temannya, Hasan. Dan seperti biasa, Hasan malam ini juga belum tidur, dan sedang merokok di luar sambil menyambut kedatangan temannya.
"Kau sudah membawanya, Mas Wira?" Hasan memutus rokoknya, dan kini menatap Wira dengan antusias.
Sejujurnya, tanpa sepengetahuan Gendhis, sebelum hari dimana Wira mendapat pukulan dari orang suruhan Nandaka, pria dewasa itu sudah lebih dulu datang ke rumah temannya, untuk menceritakan tentang penyakit yang di alami calon mertuanya itu.
"Sudah, San! Ini ...." Wira menyerahkan sekantung kecil bewarna hitam yang sejak tadi ia simpan didalam jok motornya.
Entah apa isi dalam kantung bewarna hitam itu. Yang jelas, dari barang itu yang nantinya akan berguna untuk melakukan ritual pembakaran susuk konde emas itu.
"Ikut aku ke belakang!" Hasan sudah bangkit dan langsung mengajak temannya itu menuju tempat ritual.
Di belakang rumah Hasan, terdapat pekarangan agak luas. Pria itu menggelar sebuah tikar kuno di tengah-tengah pekarangan, duduk tenang sambil menyalakan sebatang rokok lagi. Ritual yang Hasan jalani terlihat biasa-biasa saja, dan tidak ada sesaji sebagai pelengkapnya.
Sementara Wira, pria itu duduk agak berjarak tepat didepan pintu belakang rumah Hasan. Tidak ada apa-apa yang mereka lakukan, hingga tepat pukul 12 malam.
"Mas wira, sekarang bakar tusuk konde ini sekarang!" Perintah Hasan tanpa menoleh kebelakang.
Wira yang sejak tadi memegang korek api, langsung saja berjalan mendekat. Ia menerima tusuk konde itu, sedikit agak bergetar. "Aku bakar sekarang, San?!"
"Bakar saja, Mas!"
Setelah tusuk tadi di laburi minyak oleh Hasan, kini benda itu langsung Wira buang begitu api sudah mulai menjalar memakan tusuk konde itu.
"Kita tunggu sebentar, Mas. Nanti Mas Wira dengarkan saja, sesuatu akan keluar dari benda laknat itu." Ucap Hasan menatap datar kearah tusuk konde itu.
Wira menoleh Hasan sekilas dengan wajah tegasnya. Lalu segera menatap kembali tusuk konde yang terbakar itu.
Dan benar saja. Tak lama itu timbulah suara nyaring, yang begitu memekak telinga keduanya.
"Panassss ...."
"Ini sangat panassss ...! Aku tidak kuat!"
Suara rintihan kepanasan itu begitu menyayat, namun hanya keluar beberapa detik saja. Setelah itu suara tadi benar-benar hilang.
*
*
Malam itu juga, didalam ruangan rawatnya, Eyang Wuluh bagai orang yang sedang terjebak dalam kebakaran hutan.
Tubuh lemahnya menggeliat kuat, dengan kedua mata melotot, serta wajah yang menahan kepanasan kuat. "Panasss ...."
"Tolong, api ini membakar tubuhku! Panas sekali ...." teriak Eyang Wuluh di tengah kesadarannya.
Gendhis dan Nandaka sudah di kalang kabut. Namun seketika Gendhis tersadar, setelah melihat jam di sisi dinding. 'Mas Wira pasti sudah berhasil membakar benda itu.'
"Saya panggilkan Dokter dulu. Kamu tunggui Eyang, Ndis!" Nanda dengan wajah cemasnya, langsung berlari keluar untuk mencari Dokter.
Dan tak lama itu, wajah serta tubuh Eyang Wuluh tampak melepuh menghitam, bagaikan daging yang terpanggang. Suara rintihan itu semakin melemah, saat Dokter sudah berhasil memeriksanya.
Wajah Dokter itu tersentak, namun ia tahan agar tak menyinggung para keluarga.
Dan tak lama itu, Pak Woyo beserta sang Istri sudah datang. Bu Asih sudah menangis melihat tubuh mertuanya terbujur kaku dengan tubuh melebuh.