Cat Liu, seorang tabib desa, tak pernah menyangka hidupnya berubah setelah menyelamatkan adik dari seorang mafia ternama, Maximilian Zhang.
Ketertarikan sang mafia membuatnya ingin menjadikan Cat sebagai tunangannya. Namun, di hari pertunangan, Cat memilih pergi tanpa jejak.
Empat tahun berlalu, takdir mempertemukan mereka kembali. Tapi kini Maximilian bukan hanya pria yang jatuh hati—dia juga pria yang menyimpan luka.
Masihkah ada cinta… atau kini hanya tersisa dendam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Cat yang sedang menyamar, menggunakan isyarat tangan untuk berkomunikasi dengan Charles.
“Nona, apakah Anda tidak bisa bicara?” tanya Charles hati-hati.
Cat hanya mengangguk dengan raut wajah sedih.
“Nona, Anda sudah bisa pergi,” ujar Charles yang mulai merasa simpati. Ia pun melanjutkan pencariannya, melangkah ke arah lain.
Cat berusaha bersikap tenang, melangkah santai menuju kereta api yang baru tiba di stasiun.
“Maximilian Zhang, aku berharap kita tidak akan bertemu lagi. Dulu aku pernah percaya dan tersentuh oleh tawaranmu yang ingin membantuku meraih cita-cita. Tapi kini yang tersisa hanya kekecewaan, aku tak bisa lagi menaruh kepercayaan padamu. Tujuanku hanyalah meneruskan keinginan guruku—menyelamatkan lebih banyak orang yang membutuhkan pertolonganku,” batin Cat sambil melangkah masuk ke dalam kereta itu.
EMPAT TAHUN KEMUDIAN
Sichuan
Berita gempa bumi menggemparkan masyarakat. Guncangan yang sangat kuat merobohkan banyak bangunan, meninggalkan korban jiwa dan luka parah.
Kabar itu segera menyebar hingga ke Beijing. Di sebuah ruangan sepi, Maximilian yang selama ini dikenal dingin, menatap layar televisi dengan sorot mata serius.
“Bos, tim medis dan penyelamat sudah dikerahkan pemerintah. Tapi sepertinya mereka mulai kewalahan. Banyak korban yang masih tertimbun reruntuhan, sementara para relawan sudah berhari-hari tidak beristirahat,” lapor Charles.
“Bantuan memang sudah dikirim pemerintah,” jawab Maximilian pelan namun tegas. “Tapi kali ini, gempa yang terjadi benar-benar menghancurkan. Kerugian besar, korban semakin banyak…”
“Apa nama perusahaan yang selalu mengirim tim mereka?” tanya Maximilian dengan nada datar, namun matanya menatap serius ke layar televisi yang menyiarkan berita gempa.
“Medicare Hope Foundation, Bos. Di sana terdapat beberapa dokter yang bekerja tanpa mengenal lelah. Walau bahaya, mereka juga tanpa ragu mengulurkan bantuan. Mereka sangat luar biasa,” jawab Charles dengan hormat.
Maximilian menarik napas panjang, asap rokoknya mengepul di udara. “Kirim anggota kita untuk membantu para korban, makanan, dan obat-obatan serta pakaian orang dewasa dan anak-anak… pastikan tidak ada yang meninggal!” ucapnya tegas. Ia terdiam sejenak, lalu menambahkan, “Ada lagi. Transfer dana untuk perusahaan Medicare Hope Foundation. Tim mereka juga butuh makanan dan obat-obatan. Pergi ke lokasi yang berbahaya, mereka butuh semua perlengkapan!”
“Baik, Bos.” Charles segera membungkuk sedikit, lalu beranjak cepat meninggalkan ruangan.
Maximilian bersandar di kursinya, menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong. “Sesama manusia harus saling membantu. Walau aku adalah mafia, membunuh bukan tujuan hidupku…” gumamnya lirih, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
Lokasi kejadian
Setelah gempa dahsyat itu, sejumlah bangunan runtuh, menyisakan debu, reruntuhan, dan tangisan. Tim penyelamat bekerja keras melakukan evakuasi, berlari ke sana kemari sambil berteriak memanggil korban. Lampu sorot dipasang, membuat suasana malam itu semakin tegang.
Di tengah kekacauan itu, terlihat seorang gadis dengan penampilan kasual dan rambut diikat ke belakang. Tangan mungilnya bergerak cekatan, melilit perban pada lengan seorang korban yang terluka parah. Dialah Cat Liu — empat tahun lalu meninggalkan Guang Zhou, dan kini hadir di sini, meneruskan keinginan mulia gurunya.
“Cat, aku akan menggantikanmu. Pergilah istirahat dulu!” seru seorang pria, rekan sesama relawan.
“Aku tidak apa-apa,” jawab Cat lembut, tanpa menghentikan tangannya yang terus bekerja. Meski tubuhnya lelah, tekad di matanya tak pernah padam.
Pria itu, Ryan — sosok tampan dengan mata yang teduh, menatap Cat penuh kekhawatiran. “Cat, minum dulu. Biar aku yang melakukannya. Kau sudah tidak istirahat selama seminggu. Dan hanya tidur satu jam. Aku khawatir kau akan tumbang kalau dipaksakan.”
Cat menoleh, tersenyum tipis, lalu menerima botol minuman yang diberikan Ryan. “Terima kasih.”
Ryan ikut berjongkok di sampingnya, lalu berbisik pelan. “Aku mendapat informasi dari pusat, bahwa ada pengusaha yang murah hati membantu sejumlah dana untuk kita.”
Cat menghentikan gerakannya sesaat, menatap Ryan dengan mata berbinar. “Apakah benar? Kita sangat membutuhkan obat-obatan dan makanan di sini. Apakah pusat bisa segera mengirimnya?”
“Mereka sedang memprosesnya,” jawab Ryan dengan nada optimis. “Dan pengusaha itu sudah mengerahkan sejumlah bantuan. Kita akan segera dapat tambahan tenaga dan perlengkapan.”
Cat tersenyum lega, meski wajahnya masih letih. “Aku berharap semua segera berakhir… dan mereka selamat.”
Setelah beberapa jam dengan gerakan yang cepat, sejumlah anggota Maximilian tiba di lokasi. Mereka bekerja sama dengan tim penyelamat lainnya, memindahkan reruntuhan dan menarik korban keluar dari tempat itu. Selain itu, mereka juga membantu membalut luka para korban, sehingga meringankan tugas tim medis.
Malam telah larut, udara dingin menusuk, dan hanya suara jangkrik serta sesekali tangis korban yang masih terdengar. Di tengah kelelahan, Cat memasuki tenda tempat para rekannya beristirahat. Bau obat-obatan dan keringat bercampur, membuat suasana semakin terasa berat.
"Akhirnya bisa istirahat," ujar Nini sambil merebahkan diri di atas alas tipis. Suaranya terdengar lega meski penuh rasa lelah. "Kedatangan mereka benar-benar meringankan beban kita dan membantu banyak korban."
Cat menghela napas panjang, lalu duduk sambil membuka ikatan rambutnya yang sudah kusut. Matanya sembab karena terlalu sering berkutat dengan korban luka. "Selama ini sudah banyak bantuan yang dikirim, dan banyak korban yang berhasil diselamatkan. Namun… sayang, ada beberapa yang meninggal." Nada suaranya melemah di akhir kalimat, seolah masih terbayang wajah orang-orang yang tak sempat tertolong.
Nini menoleh, menepuk lembut tangan Cat. "Cat, kamu harus tidur. Malam ini ada mereka. Jadi jangan khawatir." Ia berusaha menghibur, meski dirinya pun tak kalah letih.
Cat menatap Nini, lalu tersenyum samar, meski jelas terlihat garis kelelahan di wajahnya. "Iya… aku harus tidur dan memulihkan tenaga. Setelah kita kembali, kita harus mengucapkan terima kasih pada pengusaha yang telah mengirim bantuan hari ini."
Ucapan itu meluncur begitu saja, tanpa Cat tahu bahwa sosok pengusaha yang ia maksud ternyata adalah Maximilian, pria yang dia tinggalkan saat acara pertunangan!
smgat thor, up bnyk2 dong thor, tq!
thor smngat🫰di tnggu trs ni