Beberapa orang terkesan kejam, hanya karena tak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Kata-kata mengalir begitu saja tanpa mengenal perasaan, entah akan menjadi melati yang mewangi atau belati yang membuat luka abadi.
Akibat dari lidah yang tak bertulang itulah, kehidupan seorang gadis berubah. Setidaknya hanya di sekolah, di luar rumah, karena di hatinya, dia masih memiliki sosok untuk 'pulang' dan berkeluh kesah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bulbin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20. Penyesalan
Sejak subuh tadi, Siti terus memanggil Nayna di depan pintu kamarnya. Dia merasa khawatir, karena tak seperti biasa, pintu itu tetap tertutup meski dia memanggilnya berulang.
"Ada apa, Bu? Pagi-pagi udah cek vokal aja."
Rahmat yang baru pulang dari masjid, tertegun menatap istrinya dengan wajah cemas di depan pintu kamar.
"Dari tadi dipanggil nggak keluar juga, ni anak nggak biasanya tidur ngebo, Yah. Mana dikunci pintunya," jawab Siti sambil menggerak-gerakkan gagang pintu. Mulutnya tak henti memanggil Nayna hingga suara nyaring itu, kini bergetar.
"Sini, biar Ayah yang buka. Ibu minggir dulu ya," bisik Rahmat sembari menuntun istrinya duduk. Dia mengambil ancang-ancang, bersiap untuk mendobrak pintu kayu di hadapannya.
BRAK!
"Lho, Ayah ngapain?"
Nayna tertegun melihat ayahnya terjerembab di lantai dengan sarung yang tersingkap, memperlihatkan celana kolor dengan warna merah yang memudar. Sementara Rahmat mengusap bibir dan pipinya yang sukses 'mencium' lantai. Dia juga memijit kepala yang tak lagi dilindungi peci, karena benda itu terlempar saat dia menabrak lemari.
Nayna cepat membantu ayahnya, sedangkan Siti menatap keduanya dengan wajah heran.
"Nay, kamu kenapa? Ibu panggil dari tadi nggak keluar juga. Ini Ayah juga ngapain sujud di sini? Bukannya udah shalat?"
Rahmat berusaha bangkit dibantu anaknya, dia duduk di lantai dengan sarung tersampir di pundak, bak bapak-bapak yang siap berangkat ronda.
"Ayah mau dobrak, eh pintunya malah dibuka. Ya udah, jatoh. Lagian kamu ngapain naro lemari di sini si, Nay?"
Rahmat masih mengusap kepalanya yang terasa berdenyut.
"Lho, kan Ayah yang rapiin kamar ini, bukan aku," balas Nayna. Tangannya terlihat bergetar dengan wajah pucat.
"Kamu sakit, Nak?" ucap Rahmat dan Siti hampir bersamaan. Keduanya cepat meraih tubuh gadis itu yang kini terasa panas, namun tangan dan kakinya sedingin es.
Mereka membawa Nayna ke tempat tidur, membaringkan di sana, lalu Siti dengan cepat keluar rumah untuk memanggil seorang tetangga yang berprofesi sebagai dokter.
"Nayna demam, Bu. Ini saya resepkan obat ya."
Setelah dokter itu pergi, Siti membuatkan sarapan, sementara Rahmat masih menunggu putrinya di kamar. Pria itu mendekat, membelai lembut kepala anaknya dan berkata pelan. "Kamu mikirin apa, Nak? Nggak biasanya Tuan putri lemes, pucet gini. Kamu galau? Karena cowok yang dulu itu? Yang waktu SMP? atau karena cowok yang ngikutin kita balik itu? Siapa yang bikin anak Ayah banyak pikiran gini?"
Nayna menatap kedua mata ayahnya dengan tatapan sayu. Dia beringsut, sedikit menegakkan tubuh di sandaran tempat tidur, dengan bantal sebagai penopang belakang tubuhnya.
"Nggak kok, Yah. Nay nggak papa, mungkin karena kecapekan aja, banyak tugas dari sekolah," kilahnya, lalu mengalihkan pandangan ke arah lain. Rahmat melirik, "yakin nggak papa? Ayah pernah muda lho, kamu belum pernah tua, kan? Jujur aja, Ayah siap jadi pendengar."
Akhirnya, Nayna menceritakan soal Sandy dan juga Vita yang ternyata saling bersangkutan dengan kejadian masa lalunya.
*
Di sekolah, Tania duduk sendiri sambil bermain ponsel, saling berbalas pesan dengan Nayna yang tak masuk karena sakit.
"Eh, Tan, setan. Nayna mana?" tanya Sandy yang langsung duduk di samping Tania. Sementara itu, Tania menoleh dengan wajah masam, "nggak masuk, sakit."
Setelah mendapat jawaban, laki-laki itu bangkit dan melangkah ke arah mejanya tanpa sepatah kata lagi. Tania menatap Sandy yang semakin menjauh, dengan sedikit kecewa. Namun dia segera tersadar dan menggeleng kuat, lalu kembali menatap layar.
Nayna sakit? Kok bisa ya? Apa karena kepikiran kemarin?
Sandy menoleh saat sebuah tangan menepuk pundaknya, "apaan?"
Aksara sudah berdiri di sampingnya, dengan sekali lirik, Sandy paham dan menjawab singkat. "Sakit."
Suasana kelas sedikit berbeda, setidaknya itu yang dirasakan Sandy. Jika biasanya dia melirik ke arah seberang, mendapati Nayna yang sibuk berbincang atau fokus dalam barisan huruf di novelnya, kali ini hanya bangku kosong yang didapat. Di saat yang sama, tanpa sengaja, tatapan Sandy dan Tania bertemu. Keduanya sama-sama terdiam, lalu Tania lebih dulu membuang muka dengan perasaan tak karuan di hati.
Berbeda dengan Aksara yang memilih fokus pada pelajaran di depan, meski sebenarnya isi kepala sibuk mengurai berbagai pertanyaan dan pernyataan yang belum terjawab dan tersampaikan.
Dan saat istirahat tiba, Aksara pergi ke aula, sementara Sandy melangkah ke arah taman di sudut sekolah.
"Hai, Yoga. Lo nggak lupa gue, kan?"
Mendengar panggilan yang asing, Sandy mendongak, mendapati wajah Vita yang tersenyum ke arahnya.
"Ngapain lo ke sini?"
Sandy beringsut menjauh saat gadis itu duduk di sampingnya.
"Gue mau minta maaf soal kekacauan yang terjadi, gue nyesel. Sekali lagi, gue minta maaf, gue khilaf, gue salah."
Hening sesaat, selanjutnya, Sandy membuka suara yang penuh penekanan.
"Nyesel? Khilaf? Haha, enteng banget lo ngomong gitu. Lo pikir, dengan minta maaf, semua masalah kelar? Kalau cuma minta maaf doang, semua orang bakal lomba-lomba bikin salah, toh minta maaf, kelar urusan. Mulut lo tuh kudu dirukyah, hati lo juga, kebanyakan iri, dengki dan kebencian yang udah mendarah daging. Gue malah nggak sadar kalo lo ada di sini (Bina Karya) juga, gue pikir, lo masih di kampung sana. Gue bersyukur bisa jauh dari kalian semua, eh malah ngumpul lagi di sini. Dan lo, lo bikin semua yang udah baik-baik aja, malah runyam lagi. Lo emang lele ya, seneng bener main di tempat keruh." Sandy menatap sinis pada gadis yang menunduk dengan wajah tertutup rambut panjangnya. Dia sama sekali tak peduli saat terdengar isak tangis di sampingnya.
"Kalo lo emang mau tobat, ya tobat yang bener. Bukannya tobat seblak level sepuluh, yang udah bikin teler sampe mencr3t, besoknya diulang lagi. Lo juga minta maaf ke Nayna. Oh ya, jelasin juga kalo lo emang suka Aksara. Gue yakin, Nayna bisa ngerti. Dia cewek baik-baik yang terdzolimi dari dulu, tapi bagusnya, dia tetep sabar. Nggak kayak lo, pendendam yang licik!"
Sandy berlalu pergi, meninggalkan Vita yang semakin hancur mendengar ucapan santai namun menusuk di hatinya.
"Gue tahu, Ga. Lo dari dulu suka Nayna. Tapi Nayna suka Aksara dan gue nggak terima itu," lirih Vita sembari mengusap kedua pipinya dan berlari ke arah toilet.
Di sisi lain, Nayna tengah duduk menikmati tontonan di layar laptopnya. Sesekali dia melirik ke arah ponsel, berharap seseorang akan menghubungi.
Namun hingga drama di layar selesai, tak ada satu pun pesan masuk yang diterima.
Ah, mungkin belum pada keluar kali ya, atau ada pelajaran tambahan.
Nayna keluar kamar, mendekati sang ibu yang tengah menyusun beberapa bungkus keripik ke dalam kardus.
"Alhamdulillah, banyak pesenan, Bu?"
Siti menghentikan gerakan tangannya lalu menoleh.
"Alhamdulillah iya, Nak. Ini ada pesenan buat besok. Katanya mau dibagiin lusa. Kamu bisa nganternya? Besok Ayahmu mungkin sibuk, tadi bilang kalau banyak kerjaan gitu."
"Di mana, Bu?" tanya gadis itu, seraya memasukkan beberapa keripik pisang di plastik.
"Kantor apa ya, lupa. Nanti Ibu tulis alamatnya. Eh, eh, kalo makan yang jelek-jelek itu lho, yang gosong atau yang patahan. Jangan yang bagus!" ucap Siti dengan wajah garang.
***