Hidup Edo menderita dan penuh hinaan setiap hari hanya gara-gara wajahnya tidak tampan. Bahkan ibu dan adiknya tidak mau mengakuinya sebagai bagian dari keluarga.
Dengan hati sedih, Edo memutuskan pergi merantau ke ibu kota untuk mencari kehidupan baru. Tapi siapa sangka, dia malah bertemu orang asing yang membuat wajahnya berubah menjadi sangat tampan dalam sekejap.
Kabar buruknya, wajah tampan itu membuat umur Edo hanya menjadi 7 tahun saja. Setelah itu, Edo akan mati menjadi debu.
Bagaimana cara Edo menghabiskan sisah hidupnya yang cuma 7 tahun saja dengan wajah baru yang mampu membuat banyak wanita jatuh cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HegunP, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 Penculikan
3 hari berlalu
Sore ini, Edo baru keluar dari pasar. Dia membawa kresek berisikan belanjaan pesanan Taufik. Tak disangka Taufik ternyata enggan untuk mengusir Edo.
Hal yang membuat Taufik batal mengusir Edo ialah karena ia butuh ketampanan Edo untuk kemajuan warungnya.
“Bapak gak ngerti masalah kalian, tapi bapak yakin itu masalah antara anak muda. Selesaikan saja pakai cara kalian.” Begitu nasehat yang disampaikan Taufik kepada Edo.
Taufik sebenarnya tetap marah dan jengkel ke Edo karena putri tercintanya ditampar sangat keras sampai nangis. Tapi ia berfikir jika pemuda tampan itu diusir, nanti warung malah kembali sepi seperti dulu.
Edo sendiri bersyukur Taufik tidak jadi mengusir dirinya. Dia sendiri tetap merasa butuh bekerja bersama Taufik untuk beberapa bulan atau sampai punya cukup uang tabungan untuk biaya kos sendiri dan pekerjaan di tempat lain.
Meski sudah aman dan tidak akan diusir Taufik, tetap saja selama tiga hari ini, Edo malah kurang semangat bekerja gara-gara belum berdamai dengan Miya. Dia bahkan sekarang berjalan pulang melewati trotoar dengan langkah kurang semangat sambil membawa belanjaannya.
Edo tetap menganggap Miya lah yang salah. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, bertindak marah sampai menampar keras anak orang, itu dirasa sudah terlalu kekanak-kanakan.
Selama tiga hari ini juga, Miya juga berperilaku cuek kepada Edo. Bahkan cewek itulah yang paling tidak mau dekat-dekat dengan Edo. Sepertinya, Miya benar-benar benci dan tidak sudi melihat laki-laki yang ia selalu panggil Pangeran itu.
“Kayaknya aku harus berusaha minta maaf lagi ke Miya,” gumam Edo. Dia pun memutuskan berfikir bagaimana cara agar Miya bisa luluh dan menerima maafnya.
Dia merasa harus ada sesuatu yang tidak hanya modal kata-kata. Contohnya mungkin sebuah hadiah untuk diberikan.
“Hadiah apa yang cocok untuk Miya, ya?”
Edo berjalan sambil terus berfikir. Hingga ia melewati sebuah toko pakaian wanita. Dia menoleh ke sana lalu mendapatkan ide.
“Miya udah pernah beliin aku baju. Mungkin jika aku beliin baju juga dia akan nerima maafku,” batinnya usul.
Tanpa berfikir panjang, Edo masuk ke dalam toko tersebut mencari-cari baju yang cocok untuk dijadikan hadiah.
Beberapa menit kemudian, Edo berjalan menuju meja kasir sambil membawa sebuah sweater lengan panjang warna crime dengan gambar beruang imut di depannya. Edo yakin hadiah lucu dan sangat ke-cewek-an ini bisa membuat Miya tidak marah lagi.
Selesai membayar di meja kasir, Edo melanjutkan perjalanan pulang. Dia berjalan melewati jalan perumahan yang wilayahnya cukup sepi.
Anehnya, lagi-lagi perasaan ‘seperti sedang diawasi’ muncul lagi. Sampai-sampai dia menoleh ke belakang beberapa kali hanya untuk memastikan apakah benar ada orang yang mengikuti atau tidak.
Perasaan ini mengingatkannya akan kejadian beberapa hari yang lalu, dimana ia dipaksa masuk ke mobil tante Dian lalu ditawari uang 50 juta.
“Apa jangan-jangan tante Dian ngikutin aku lagi?” desis Edo. Dia takut bertemu Dian lagi. Takut dipaksa seperti dulu. Apalagi jalan ini adalah jalan yang lokasinya sama seperti sebelumnya.
Edo pun mempergegas langkahnya. Tiba-tiba, terdengar seseorang memanggil namanya dari belakang.
Edo berhenti dan menoleh ke belakang. Menyipitkan mata sembari mengedarkan pandangan, mencari siapa orang yang memanggilnya.
Karena tidak melihat seorangpun, Edo kembali memutar badan ke depan.
Tapi siapa sangka. Seorang pria tinggi berjas dan kepalanya botak tiba-tiba muncul dari samping secepat kilat.
Pria itu menyekap Edo dengan sapu tangan. Sangat kuat.
Edo memberontak, berusaha melepaskan diri tapi percuma. Tenaga pria itu jauh lebih besar.
Hmm … hmm … kumuu… !” Edo mencoba teriak dan memberontak sekuat mungkin.
Semakin Edo melawan, semakin kuat juga sapu tangan itu menutup pernapasannya.
Tubuh Edo pun melemas. Pandangannya mulai buram.
Dengan keadaan yang sudah tidak sadarkan diri, Edo dimasukkan ke dalam mobil hitam.
Di dalam mobil itu ada seorang tante-tante tersenyum puas.
“Waktunya menikmati cowok ganteng ini,” katanya.
...****...
Edo siuman setelah satu jam pingsan. Dengan penglihatan yang masih berkunang-kunang, dia mengingat-ngingat apa yang terjadi kepada dirinya dan ada dimana sekarang.
Dia melihat ke sekitar. Berdebu, dengan cahaya lampu sedikit redup. Ini seperti ruangan rumah tak berpenghuni. Ada banyak tumpukan balok kayu, kursi berdebu, dan barang-barang bekas lainnya.
Dan ternyata benar. Edo dikurung di dalam kamar rumah kosong, terbaring miring di lantai dengan kaki dan tangan terikat.
Edo berusaha berteriak tapi tidak bisa. Mulutnya ditutup dengan lakban.
“Aku diculik!” cemas Edo dalam batin. Raut mukanya ketakutan.
Satu hal yang Edo tahu dari info tontonan televisi. Biasanya korban penculikan akan dijadikan sebagai barang tebusan, supaya para penculiknya mendapatkan uang. Dan biasanya para penculik lebih suka memburu mangsa dari anak orang kaya.
“Tapi aku ini cuma seorang perantau. Bukan anak orang kaya, kenapa aku malah jadi korban begini? Atau jangan-jangan, ini penculikan untuk diambil ginj … tidaaak!”
Edo makin panik sendiri memikirkan kemungkinan terburuk di kepalanya yang sangat menyeramkan itu. Dia mulai melawan ikatan tali yang mengikat tangan dan kakinya. Tapi percuma, itu malah membuat tangan dan kakinya kesakitan.
Edo jadi kelelahan. Dan hanya bisa mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan untuk mencari cara bisa meloloskan diri dengan cara lain.
“Usiaku sekarang cuma 7 tahun. Masa malah mau dipercepat dengan mati konyol kaya gini!” paniknya dengan napas mulai terengah-engah.
Di keadaan yang dirasa tidak ada jalan keluar, matanya menangkap ada potongan pecahan kaca.
“Itu jalan keluarnya!” batinnya, semangat.
Dengan pecahan kaca itu, diharapkan bisa digunakan untuk sedikit demi sedikit memutus tali di tangan dan kakinya.
Namun, benda itu tergeletak cukup jauh. Jaraknya sekitar 2 meter.
Tak mau buang-buang waktu, Edo mulai menggelindingkan badan menuju ke sana.
Namun, pintu kamar malah terbuka. Dua orang masuk ke dalam.
“Gawat!”