Deva, seorang gadis petakilan yang menjadi anggota bodyguard di salah satu perusahaan ternama. Meski tingkahnya sering kali membuat rekannya pusing, namun kinerja Deva tak bisa di ragukan. Pada suatu malam, Deva yang baru selesai bertugas membeli novel best seller yang sudah dia incar sejak lama.
Ketika dia sedang membaca bagian prolog sambil berjalan menuju apartemennya, sebuah peluru melesat tepat mengenai belakang kepalanya dan membuatnya tewas.
Hingga sebuah keajaiban terjadi, Deva membuka mata dan mendapati dirinya menjadi salah satu tokoh antagonis yang akan meninggal di tangan tunangannya sendiri. Akankah kali ini Deva berhasil mengubah takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Deva memarkirkan motor sportnya di halaman kampus. Sejak memasuki area sekolah, Deva sudah menjadi pusat perhatian para mahasiswa yang berada di sekitar parkiran dan juga koridor lantai bawah, mereka menatap Deva penuh damba.
Tatapan-tatapan memuja dari para mahasiswa yang di tunjukan padanya sudah menjadi makanan sehari-hari, sikap bar-barnya tidak membuat para penggemar mundur sebagai fans sang tokoh antagonis.
Saat Deva hendak melangkah memasuki kelas, suara dari arah belakang punggungnya seketika menghentikan langkahnya.
Gadis itu menoleh ke belakang dan mendapati seorang gadis cantik berlari ke arahnya dengan rambut yang tergerai sebatas punggung.
Gadis itu berhenti tepat di depan Deva. "Lo baru baru sampai, Dev?" tanya Rora.
Deva mengangguk setelah berbalik badan menghadap Rora. "Lo udah sembuh?"
Dua hari yang lalu, Rora di rawat inap di rumah sakit karena demam tinggi dan gadis itu baru masuk kampus lagi hari ini.
"Udah dong, jangan khawatir gue sekuat baja." Rora tersenyum manis.
Deva mengusap pucuk kepala Rora dengan lembut, ia sudah menganggap Rora seperti adiknya sendiri karena di dunia ini hanya Rora yang tidak menghakiminya.
"Jangan sakit, Ra. Gue kesepian kalo nggak ada lo di kampus." Kata Deva.
"Aduh jadi baper deh," Rora mengapit lengan Deva dan mengajaknya untuk melanjutkan langkah ke kelas. "Ke kelas, yuk."
Mereka melangkah dengan riang sambil beberapa kali saling melempar candaan untuk mengisi perjalanan mereka, namun ketika ia dan Rora tinggal sedikit lagi tiba di kelas mereka berpapasan dengan Sera.
Helaan napas panjang terdengar dari bibir Deva, ia benar-benar tidak ingin bertemu dengan Sera atau kedua kakaknya saat ini. Tapi semesta seolah enggan untuk mengabulkan keinginannya.
"Minggir." Usir Deva dingin.
Namun, Sera tak bergeming. Gadis itu masih saja berdiri di tengah jalan dan menghalangi langkah Rora serta Deva.
"Lo tuli? gue bilang minggir!" sentak Deva kehabisan kesabarannya.
Sera yang tadinya menunduk, kini menegakan kepalanya. "Kenapa lo berangkat duluan pagi ini, Dev? Daddy khawatir sama lo."
"Bukan urusan lo." Deva menggeser posisi tubuhnya berniat pergi saja tapi Sera buru-buru menghadangnya lagi.
"Dev, lo marah sama gue?" tanya Sera.
Rora memutar matanya. "Lo beneran nggak peka atau emang bego? udah jelas-jelas Deva benci sama lo masih di tanya juga?"
"Salah gue apa?" Sera menoleh ke arah Rora. "Gue nggak punya salah apa-apa sama Deva."
Seketika Rora tertawa sinis. "Wah... Wah, lo nggak punya kaca, ya? Bisa-bisanya cewek kayak lo nggak tolol banget."
"Gue nggak tolol, kok. Gue cuma bicara apa adanya."
Emosi Rora langsung naik, saat ia hendak membalas Deva segera menarik tangannya agar mundur dan menjaga jarak dari Sera.
"Mau lo apa sih? Lo selalu ngusik gue, apa hidup lo sepi kalo nggak ngerusuhin hidup gue sehari aja?" Deva bertanya dengan nada sinis.
"Kok lo ngomongnya kayak gitu, Dev? Kita ini saudara." Ujar Sera sendu.
"Gue nggak pernah nganggap lo saudara!" seru Deva tegas.
Pembicaraan mereka menjadi tontonan banyak orang, di antara mereka terdapat sosok Elliot yang langsung menyerbu kerumunan dan berdiri di sebelah Sera.
"Dev, nggak sepantasnya lo ngomong kayak gitu." Tegur Elliot menatap tunangannya tak setuju.
Deva menyeringai. "Bela aja terus, kalo perlu jagain dia 24 jam sekalian."
"Lo kenapa sih? Gue cuma nggak mau lo berantem sama Sera, kalian satu rumah ada baiknya kalian akur."
"Berisik!" Deva menatap jengah ke arah Elliot. "Lo nggak tahu apa-apa tentang gue, atau pun keluarga gue jadi jangan ikut campur."
"Gue tunangan lo, wajar kalo gue ngasih tahu dan negur lo." Protes Elliot tak setuju.
Deva mengangguk, lalu melepaskan cincin di jari manisnya dan melemparnya tepat di bawah kaki Elliot. "Tuh, ambil cincin itu. Mulai sekarang lo bukan lagi tunangan gue!"
"Dev, maksud lo ap--"
"Gue pergi. Urusin tuh cewek munafik di samping lo, suruh dia jauhin gue karena gue nggak mau ketularan rabies dari dia." Ucap Deva pedas.
Setelah mengatakan hal itu, ia bergegas pergi meninggalkan Elliot yang membeku di tempatnya.
***
Bel pulang sekolah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Deva bersama Rora memilih duduk di halte, Rora sedang menunggu jemputan dan Deva hanya menemaninya saja.
Sesekali mereka melempar candaan yang membuat keduanya sama-sama tertawa.
"Tebak nih, kayu... Kayu apa yang renyah?" Rora memberikan tebakan. Ia menatap Deva seraya menaik turunkan alisnya. "Lo pasti nggak bakal bisa jawab."
Deva terkekeh. "Gampang, jawabannya kayupuk, kan? Udah tahu gue."
"Kok lo bisa jawab sih?"
Deva mengangkat kedua bahunya acuh. "Sekarang giliran gue. Dengar nih, semangka di lubangi, dikasih es batu, dikocok-kocok, terus di tendang, jadi apa?"
"Jadi jauh lah! Haha." Jawab Rora songong.
Deva terkekeh menanggapi jawab itu, ia mengedarkan pandangannya ke seluruh area jalan. Tatapan Deva terkunci pada salah satu mahasiswa yang baru saja keluar dari gerbang kampus Luxen. Gadis itu menajamkan tatapannya saat menyadari bahwa pemuda itu adalah orang yang menyebabkan lututnya terluka tempo hari.
Tanpa sepatah kata pun, Deva melompat turun dari motornya dan berjalan menghampiri pemuda yang ia tahu bernama Jack Claiborne.
"Jack!" teriak Deva.
Namun, pemuda itu mengabaikannya seakan tidak mendengar panggilan itu. Jack yang baru saja menaiki motornya langsung mengurungkan niatnya, saat melihat Deva mendadak berdiri di depannya.
Gadis yang memiliki tinggi tidak terlalu jauh dengannya itu, kini sedang melemparkan tatapan jengkel ke arahnya.
"Kenapa?" tanya Jack.
"Minta maaf sama gue, sekarang!" gadis itu menilai penampilan Jack dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Jack di kenal sebagai bad boy dengan reputasi terburuk sepanjang kuliah, dia juga tokoh antagonis pria paling tampan bahkan ketampanannya melebih Elliot yang merupakan tokoh utama pria.
Jack menaikan sebelah alisnya tidak paham. Gadis itu baru saja menyuruhnya untuk minta maaf? Atas dasa apa? "Minta maaf? Lo nggak salah orang? Emang gue ngapain sampai harus minta maaf sama lo?"
"Lo lupa atau pura-pura nggak inget?"
"Gue--"
"Gara-gara lo lutut gue luka, dan gue harus menjalani pengobatan beberapa hari. Itu semua salah lo!"
"Masa? Gue bahkan nggak ngapa-ngapain. Kenapa lo--" ucapan Jack terpotong saat tiba-tiba Deva menarik bajunya hingga jarak mereka terkikis sepenuhnya.
Jack ingin berteriak memarahi Deva, tapi langsung ia urungkan saat mendengar suara hantaman keras di samping tubuhnya.
Ia menoleh dan terkejut ketika melihat sebuah motor menghantam pagar kampus itu dengan sangat keras.
Jack beralih menatap Deva tak percaya. "Lo nolongin gue?"
"Menurut lo?" Deva memutar bola mata malas. Ia terkejut saat merasakan jitakan halus di keningnya dari pemuda di depannya. "Heh, lo ap--"
"Modus."