NovelToon NovelToon
DiJadikan Budak Mafia Tampan

DiJadikan Budak Mafia Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Duniahiburan / Mafia / Balas Dendam / Lari Saat Hamil / Berbaikan / Cinta Terlarang / Roman-Angst Mafia
Popularitas:3.6k
Nilai: 5
Nama Author: SelsaAulia

Milea, Gadis yang tak tahu apa-apa menjadi sasaran empuk gio untuk membalas dendam pada Alessandro , kakak kandung Milea.
Alessandro dianggap menjadi penyebab kecacatan otak pada adik Gio. Maka dari itu, Gio akan melakukan hal yang sama pada Milea agar Alessandro merasakan apa yang di rasakan nya selama ini.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SelsaAulia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21

Jam dinding antik di ruang tamu menunjukkan pukul sepuluh malam. Satu jam sudah Milea terkurung di kamar mandi, air keran masih mengucur deras, membasahi lantai marmer yang dingin.

Keheningan mencekam. Hanya suara air yang memecah kesunyian malam. Gio, duduk santai di sofa kulit berlapis emas, mengamati segalanya dengan tatapan tajam.

Seutas senyum tipis mengembang di bibirnya. "Aku ingin tahu, seberapa kuat kau, Milea?" gumamnya, suara beratnya bergema lembut di ruangan luas itu.

Tok… tok… tok…

Suara ketukan pintu memecah lamunannya. Gio berdiri, langkahnya tenang namun penuh kewaspadaan. Siapa yang berani mengusik ketenangannya larut malam begini?

Pintu terbuka, memperlihatkan Gisela dengan senyum ramah yang terasa dipaksakan. Rambutnya yang terurai menutupi sebagian wajahnya, namun Gio tetap bisa melihat kilatan ketidaknyamanan di matanya.

"Gio," sapa Gisela, suaranya sedikit gemetar, "Aku akan ke paviliun untuk memeriksa kondisi Berlin. Aku hanya ingin meminta izinmu."

Gio menyipitkan mata, tatapannya menusuk. "Kau tinggal di sini memang untuk menjaga Berlin. Jangan membuat alasan apa pun untuk mengetuk kamarku tengah malam. Kali ini aku maafkan, tapi jangan ulangi lagi! Dan ingat, aku sudah pernah bilang, jangan membicarakan Berlin di dalam mansion ini, apalagi di hadapan Milea!" Suaranya dingin, tegas, tanpa ruang untuk penolakan.

Gisela mengangguk patuh, wajahnya menunjukkan kekecewaan yang terpendam. Bibirnya terkatup rapat, menahan desahan kecewa.

Dengan langkah gontai, ia meninggalkan mansion, meninggalkan Gio yang masih berdiri di ambang pintu, menatap punggung Gisela yang menjauh.

Di luar gerbang mansion, Gisela menghela napas panjang. Bayangan bulan purnama menerangi wajahnya yang dipenuhi keraguan dan ambisi. "Tapi kenapa Milea tidak boleh tahu tentang Berlin? Bukan kah Milea kekasih Gio… atau sekadar simpanan? Baguslah kalau begitu," gumamnya, senyum licik mengembang di bibirnya.

"Itu artinya peluangku untuk menjadi nyonya di sini lebih besar." Matanya berkilat tajam, menatap langit malam yang gelap, penuh dengan rencana dan ambisi yang tersimpan rapi di dalam hatinya.

"Tante Gisel!" sapa Dominic, suaranya riang memecah kesunyian paviliun yang remang-remang diterangi lampu tidur.

Bocah lelaki itu, dengan rambut pirang yang sedikit berantakan dan mata biru yang bersinar, berdiri di ambang pintu kamar Berlin.

Gisela, dokter pribadi Berlin, tersenyum lembut. Ia membungkuk sedikit, jemarinya menyapu lembut rambut halus Dominic. "Sayang, kamu belum tidur?" tanyanya, suaranya lembut seperti bisikan angin malam.

Dominic menggeleng, matanya berkaca-kaca. "Aku tidak bisa tidur, Tante."

Gisela mengerutkan dahi sedikit, sedikit khawatir. Ia melirik suster yang tengah mengawasi Dominic dari kejauhan. "Kenapa dia belum tidur?" tanyanya, suaranya lebih serius kali ini.

Suster itu mendekat, suaranya pelan dan penuh hormat. "Tuan muda tidur siang tadi, Nona. Jadi sampai sekarang belum mau tidur lagi."

Gisela mengangguk pelan, memahami penjelasan suster itu. Ia tahu betapa sulitnya menidurkan anak sekecil Dominic jika ia sudah terlanjur terjaga. Ia menghela napas, mencoba untuk tetap tenang.

Gisela mengusap lembut lengan Dominic yang kecil. Perasaan hangat memenuhi dadanya.

Dia menyayangi Dominic seperti keluarganya sendiri.

Sejak Berlin hamil, dialah yang selalu ada, menemani hari-hari penuh kecemasan. Dialah yang menyaksikan, dan membantu operasi sesar berlin untuk melahirkan dominic saat itu, karna Berlin masih dalam keadaan koma.

kelahiran Dominic ke dunia ini—tangisan pertama, sentuhan pertama, aroma bayi yang baru lahir. Kenangan itu selalu menghangatkan hatinya, sebuah ikatan yang tak terputus oleh waktu.

"Dominic," Gisela berjongkok, menatap mata biru Dominic yang penuh dengan pertanyaan. "Tante harus memeriksa ibumu dulu, ya. Kamu juga harus segera tidur. Oke?" Suaranya lembut namun tegas, penuh dengan kasih sayang dan juga sedikit perintah.

Dominic mengangguk, senyumnya mengembang kembali, meskipun masih tampak sedikit lesu.

Ia berlari kecil masuk ke kamarnya, Langkah kaki kecil Dominic menghilang di balik pintu, meninggalkan Gisela dengan pikiran yang sedikit lebih tenang.

 Ia berdiri di dekat jendela paviliun, menatap langit gelap yang di hiasi bintang. Bayangan Dominic yang ceria terlintas di benaknya. Sebuah senyum tipis mengembang di bibirnya. "Aku juga akan segera memiliki anak selucu Dominic bersama Gio nanti," gumamnya lirih, suara itu hanya terdengar oleh dirinya sendiri.

Namun, dalam kedalaman hatinya, ia menyadari bahwa angan-angan itu, indah namun rapuh, terlalu tinggi untuk dijangkau. Sebuah harapan yang bercampur dengan keraguan, sebuah mimpi yang masih terselubung kabut ketidakpastian.

*

*

*

Kecemasan yang menggerogoti hatinya jauh lebih kuat daripada gengsi yang selama ini menjadi tamengnya.

Gio, dengan langkah gontai yang tak biasa, berjalan menuju kamar mandi. Tangannya gemetar saat meraih gagang pintu. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debar jantungnya yang bergemuruh.

Pintu terbuka, memperlihatkan pemandangan yang membuatnya tersentak. Milea tergeletak lemas di lantai yang dingin, tubuhnya basah kuyup, tak bergerak. Wajahnya pucat pasi, bibirnya membiru.

"Milea!" Teriakan Gio menggema di ruangan itu, memecah kesunyian mencekam. Kepanikan menguasai dirinya.

Tanpa ragu, ia bertindak cepat. Dengan tangan gemetar, ia melepaskan pakaian Milea yang basah, gerakannya kasar namun penuh dengan kepedulian yang tersembunyi.

Gio menggendong tubuh Milea yang lemah, langkahnya tergesa-gesa menuju kamar tidur. Ia mencari piyama dan pakaian dalam, jari-jarinya gemetar saat memilih pakaian yang tepat untuk Milea. Setelah mengenakan pakaian itu pada Milea, ia langsung meraih ponselnya.

Jari-jarinya menekan nomor Sean, sahabat sekaligus dokter kepercayaan yang telah lama menjadi dokter pribadinya dan juga dokter yang menangani Milea di rumah sakit beberapa waktu lalu. Ia menjelaskan situasi darurat ini dengan suara yang sedikit bergetar.

Setelah menutup telepon, Gio mendekat ke ranjang, duduk di samping Milea yang terbaring tak sadarkan diri. Ia menggenggam erat tangan Milea yang dingin, merasakan betapa lemahnya tubuh gadis itu.

"Milea, sadarlah," bisiknya, suaranya bergetar menahan air mata. "Kenapa kau tidak memintaku untuk mengeluarkanmu?" Ia menggosok-gosok kedua tangannya, mencoba menghangatkannya, lalu membalut tubuh Milea dengan selimut tebal, berharap dapat mengembalikan kehangatan pada tubuh gadis itu.

Tak lama kemudian, Sean tiba. Wajahnya serius, namun sorot matanya menunjukkan keprihatinan yang mendalam.

Gio segera memberi jalan, menyingkir untuk memberi ruang bagi sahabatnya itu memeriksa Milea.

Sean dengan cekatan memeriksa Milea, jari-jarinya terampil memeriksa denyut nadi dan suhu tubuh.

Setelah beberapa saat, Sean menghela napas panjang. "Hufttt… syukurlah," katanya, suaranya terdengar lega. "Dia baik-baik saja. Untungnya tidak ada faktor lain yang menyebabkan hipotermia. Gio, jangan sekali-kali kau melakukan ini lagi! Ini bisa membahayakan nyawanya! Baru beberapa waktu lalu kau menyakitinya di ranjang, sekarang sudah menghukumnya di kamar mandi dengan air menyala. Sungguh kejam!" Sean menegur Gio dengan nada santai, tetapi kata-katanya menusuk tajam. Mereka sudah terlalu lama bersahabat, sehingga Sean berani menegur Gio tanpa basa-basi.

"Lalu? Bagaimana cara mengatasinya?" tanya Gio, suaranya terdengar sedikit gugup.

Sean tersenyum tipis, "Selimut tebal dan infus sudah cukup. Aku akan segera memasang infusnya sekarang. Aku sudah menduga saat kau menelepon dan memberitahu keadaannya." Sean mulai menyiapkan peralatan infus dengan cekatan, gerakannya terampil dan terlatih.

Gio hanya berdiri di samping, mengamati setiap gerakan Sean. Ia merasa bersalah, rasa menyesal menggerogoti hatinya.

Hipotermia? Astaga! Ceroboh sekali! batin Gio, menyesali keputusannya yang hampir merenggut nyawa Milea. Ia menyadari betapa besar kesalahannya, betapa bodohnya ia telah mengabaikan keselamatan Milea demi ego dan amarahnya sendiri.

1
it's me NF
lanjut... 💪💪
Siti Hadijah
awalnya cukup bagus,, semoga terus bagus ke ujungnya ❤️
SelsaAulia: terimakasih kaka, support terus ya ☺️❤️
total 1 replies
Elaro Veyrin
aku mampir kak,karya pertama bagus banget dan rapi penulisannya
SelsaAulia: terimakasih kaka
total 1 replies
Surga Dunia
lanjuttt
Theodora
Lanjut thor!!
Surga Dunia
keren
Theodora
Haii author, aku mampir nih. Novelnya rapi enak dibaca.. aku udah subs dan like tiap chapternya. Ditunggu ya update2nya. Kalau berkenan mampir juga yuk di novelku.
Semangat terus kak 💪
SelsaAulia: makasih kakak udh mampir 🥰
total 1 replies
✧༺▓oadaingg ▓ ༻✧
karya pertama tapi penulis rapi bget
di tunggu back nya 🥰
SelsaAulia: aaaa.. terimakasih udah mampir☺️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!