NovelToon NovelToon
The Book

The Book

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Mata Batin / Kutukan / Hantu
Popularitas:23.5k
Nilai: 5
Nama Author: Dfe

Ziudith Clementine, seorang pelajar di sekolah internasional Lavante Internasional High School yang baru berusia 17 tahun meregang nyawa secara mengenaskan.
Bukan dibunuh, melainkan bunuh diri. Dia ditemukan tak bernyawa di dalam kamar asramanya.
Namun kisah Ziudith tak selesai sampai di sini.

Sebuah buku usang yang tak sengaja ditemukan Megan Alexa, teman satu kamar Ziudith berubah menjadi teror yang mengerikan dan mengungkap kenapa Ziudith memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dfe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dua pilihan, diam atau menyelamatkan?

Kabut hitam menyelubungi pandangan Megan. Cengkraman dingin itu seperti ular yang melilit lehernya, membuat napasnya terhenti perlahan. Arkana di sebelahnya meronta, tetapi tangannya justru menembus tubuh Ziudith, seperti meninju asap yang padat.

"M-Megan…!" suara Arkana serak, setengah tercekik.

Megan tidak mampu menjawab. Matanya membelalak, dan dari sudut pandangnya, wajah Ziudith begitu dekat. Kulitnya pucat abu-abu, bibirnya pecah-pecah, dan matanya... oh Tuhan... mata itu seperti sumur tak berdasar, memantulkan semua dosa orang-orang yang pernah merundungnya.

"Kau diam… waktu aku disiksa." bisik Ziudith, tapi bisikan itu menggema seperti di dalam kepalanya sendiri. "Kau melihatku mati… tapi kau tidak menolong. Dan sekarang lihatlah bagaimana Queenza meregang nyawa di hadapan mu!"

Cengkraman di lehernya semakin kuat. Megan mencoba menjerit, tetapi yang keluar hanya suara serak patah-patah.

Sekejap kemudian dinding health center mulai retak, menyibak celah yang menganga lebar, seperti ada lubang hitam yang muncul dari sana. Lantai di bawah mereka pun terbelah, dan Megan merasakan dirinya terseret ke dalam kehampaan. Ini mimpi atau nyata?? Pertanyaan ini terus berputar di kepala Megan serta Arkana.

"TIDAK!" Arkana berteriak.

Dengan sisa tenaga, dia berhasil melepaskan diri dari cekikan Ziudith. Dia raih tubuh Megan dan mencoba menariknya. Tapi tangan Ziudith justru menggapai kedua siswa Lavente itu sekaligus, menyeret mereka masuk ke dalam pusaran gelap tanpa ada setitik cahaya tersisa.

Mereka terseret jauh lalu jatuh... sampai Megan tidak tahu lagi mana atas mana bawah. Suara tawa tipis Ziudith terdengar ketika berhasil menyedot mereka berdua ikut bersamanya. Kemudian Arkana dan Megan merasakan tubuh mereka menghantam lantai yang keras dan dingin. Megan terbatuk hebat, paru-parunya terasa terbakar saat udara kembali memasukinya.

"Ar… kita di mana?" suara Megan bergetar.

"Entah lah Megan. Kau... Kau tak apa-apa? Ada yang sakit??" Tanya Arkana cemas.

Semua terasa sakit. Hati, pikiran dan badan Megan. Tapi perlukah Arkana mengetahui itu semua? Sepertinya hal seperti itu cukup dia simpan sendiri. Megan menggeleng sebagai jawaban pertanyaan Arkana.

Arkana menatap sekeliling. Mereka berada di sebuah koridor Lavente… tapi bukan Lavente yang mereka kenal. Lampu-lampu neon menggantung rendah, berayun sendiri meski tak ada angin. Dindingnya lembap dan berjamur, bercak darah seperti tangan-tangan kecil mencakar-cakar catnya.

Dan di ujung lorong, terdengar suara sepatu yang menyeret lantai. Pelan… pelan… semakin dekat.

"Queenza?" panggil Arkana, ragu-ragu.

Yang muncul bukan Queenza, melainkan bayangan tubuh pucat, mata membelalak, bibir terkatup rapat seperti dipaksa untuk diam selamanya. Kepalanya sedikit miring, seolah patah di leher, dan dari mulutnya mengalir darah hitam.

Megan menjerit dan mundur, membentur dinding.

"Kenapa… kau tidak menolongku…?" suara itu tak keluar dari bibir Queenza, melainkan langsung menghunjam di dalam kepala Megan serta Arkana.

"Ar! Dia… dia bukan Queenza yang asli!" Jerit Megan lantang menarik tangan Arkana untuk menjauh dari sosok yang menyerupai Queenza.

Bayangan itu bergerak cepat, terlalu cepat. Satu detik ada di ujung lorong, detik berikutnya wajahnya sudah nyaris menempel pada Megan. Arkana spontan menarik Megan, berlari sekuat tenaga ke arah lain.

Namun lorong itu memanjang tanpa ujung, dan di setiap sisi dinding tergantung foto-foto wajah siswa Lavente yang sudah meninggal. Semuanya menatap mereka dengan mata kosong. Satu per satu, foto itu mengeluarkan darah, menetes ke lantai, membentuk genangan yang membuat langkah mereka tergelincir.

Suara Ziudith kembali terdengar, semakin nyaring, semakin dekat.

"Kalian ingin menyelamatkan Queenza… atau kalian lebih memilih menonton dia mati seperti kalian menonton ku dulu?"

Arkana menghentikan langkahnya, terengah. "Megan… ini peringatan. Dia belum membunuh Queenza. Kita masih bisa—"

DOR! DOR! DOR!

Ucapan Arkana terpotong oleh bunyi berisik pintu yang seperti minta untuk dibuka. Pintu di sisi kiri lorong bergetar hebat, seperti ada yang menggedor dari dalam. Sebuah suara lemah memanggil,

"Tolong… aku…" Suara itu hampir seperti angin berhembus pelan. Tidak terlihat tapi bisa dirasakan.

Mereka menoleh bersamaan. Itu suara Queenza. Queenza yang asli! Tanpa pikir panjang, dia meminta Arkana untuk membuka pintu. Namun begitu pintu terbuka, yang mereka lihat adalah....

Queenza terikat di kursi, wajahnya lebam, matanya dipaksa terbuka lebar dengan kawat-kawat kecil sebagai penyangga, dan di depan wajahnya ada jam pasir besar berisi pasir hitam yang terus mengalir. Di belakang Queenza, berdiri Ziudith. Senyumnya perlahan merekah, matanya berkilat merah.

"Waktu Queenza hampir habis. Apakah kalian akan diam lagi?"

Megan membeku. Pikirannya seperti membentur tembok, perasaan bersalahnya mengikat kaki dan tangannya, menahannya untuk bergerak. Dia berdiri di tempatnya.

Arkana melangkah maju berusaha menyelamatkan Queenza, tapi setiap kali dia mencoba mendekati Queenza, lantai di depannya berubah menjadi jurang hitam, dari dalamnya keluar tangan-tangan pucat yang mencoba menariknya jatuh.

Ziudith terkekeh pelan memandang ke arah Megan. "Itulah kau, Megan. Penjahat yang tidak mau mengakui kejahatannya, kau diam melihat semua yang terjadi di depan matamu. Dan penjahat… tidak pantas selamat. Orang lain berpikir tentang keselamatan mu, tapi kamu malah ingin menyelamatkan dirimu sendiri! Egois!!"

Lalu lampu padam, kegelapan memeluk mereka. Yang terdengar hanya teriakan Queenza… dan desahan panjang Ziudith.

Lampu kembali berkedip… satu kali… dua kali… lalu mati total.

Megan hanya bisa merasakan napasnya sendiri yang memburu, bercampur dengan desah dingin Ziudith yang terasa tepat di telinganya. "Kau pikir kau bisa menyelamatkannya?" Suara itu menyusup, seperti racun yang merambat ke dalam tulang. "Kau bahkan tak bisa menyelamatkan dirimu sendiri."

Kuku hitam tajam Ziudith menggores pipi Megan, membuat sayatan panjang yang perih serta menyakitkan. Isak tangis Megan seperti nyanyian merdu di telinga Ziudith.

"Megaaaaan! Pegang tanganku!" Arkana berteriak, tapi suaranya seperti datang dari kejauhan.

Megan tidak tahu Arkana ada di mana. Dia sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Tangannya terulur entah untuk apa.

"Ar..." suara Megan hampir tak terdengar, "Aku... aku takut."

"Ya. Aku tahu, Megan! Kita sama-sama takut, tapi kita harus--"

Sebuah tangan pucat tiba-tiba keluar dari kegelapan, mencengkeram lengan Arkana dengan kekuatan tak wajar. Ucapan Arkana terpotong olehnya. Arkana menjerit kesakitan, mencoba meronta, tapi semakin dia berusaha, semakin dalam kuku-kuku itu menancap, meninggalkan garis merah di kulitnya.

Samar-samar Megan melihatnya. Dia tahu Arkana sedang diseret menjauh ke arah yang sama di mana Ziudith berdiri dengan Queenza. Tapi kakinya, kakinya terasa berat, seperti dirantai atau terpahat paku, Megan tidak tahu.

"LIHAT AKU!" Ziudith menjerit, dan cahaya samar muncul dari jam pasir.

Cukup untuk memperlihatkan wajahnya yang kini begitu dekat, mata merahnya memantulkan bayangan Megan yang tampak kerdil, rapuh, dan pengecut.

"Aku akan tunjukkan apa yang kau lakukan padaku!!"

Megan tiba-tiba dikelilingi oleh kilasan-kilasan memori.... Ziudith di kamar mandi di dalam kamar asrama, memeluk lutut sambil menahan tangis. Ziudith di lorong, menatapnya dengan mata memohon ketika siswa lain menjambak rambutnya. Ziudith duduk sendirian di kantin, sementara semua orang menjauh. Dan dalam setiap gambar itu, Megan hanya lewat, hanya menoleh sekilas lalu pergi.

"Berhenti!!! Hentikan!!! Aku---" Megan memegangi kepalanya, seakan ingin menutup semua itu. Tapi memori-memori itu terus menimpa, membanjiri otaknya.

"Waktu Queenza hampir habis!" Ziudith menyeringai.

Megan menoleh, pasir di jam pasir tinggal sedikit. Arkana masih berusaha meraih Queenza, tapi lantai di bawahnya sudah hampir seluruhnya menjadi jurang hitam.

"Apa-apa yang harus aku lakukan, Ar? Kakiku tidak bisa digerakkan!!" Teriak Megan memberitahu. Matanya sudah kehabisan air mata.

Tubuh Megan bergetar hebat. Dia tahu, kalau dia diam lagi, Queenza akan mati. Sama seperti Ziudith. Sama seperti semua korban sebelumnya. Tapi langkahnya berat, terlalu berat.

Sampai sebuah suara lain muncul, tipis tapi jelas... suara Ziudith di masa lalu. Suara Ziudith yang Megan kenal. Bukan Ziudith yang berwujud monster seperti sekarang.

"Aku hanya ingin suara ku di dengar.. Ada seseorang yang mau mendengar semua kepiluan ku. Hanya itu. Apa itu berlebihan?"

Itu cukup untuk memecah rantai di kaki Megan. Dengan teriakan histeris, dia melompat melewati celah jurang, menepis tangan-tangan pucat yang mencoba meraih pergelangan kakinya. Dia mendarat di samping Arkana, lalu berdua mereka menyerbu ke arah Queenza.

Ziudith berteriak marah. "KALIAN TERLAMBAT!"

Pasir terakhir jatuh. Tali yang mengikat Queenza meleleh seperti dibakar api dari dalam, dan bersamaan dengan itu tubuh Queenza mulai kabur seperti sedang ditarik oleh kekuatan lain.

Arkana meraih bahunya. Megan memegang tangan Queenza erat-erat. "JANGAN LEPASKAN!"

Cahaya menyilaukan menyelimuti mereka, dan dunia tiba-tiba runtuh.

BRUK!

Megan terbangun di lantai health center. Nafasnya memburu, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Arkana duduk di sampingnya, juga terengah-engah, matanya liar mencari Queenza.

Tidak ada.

Hanya lemari obat, meja perawat, dan bau antiseptik yang menusuk hidung.

"Apa yang terjadi sebenarnya?? Apa kita, kita gagal menyelamatkan Queenza?" suara Megan nyaris patah.

Arkana menatapnya. "Aku tidak tahu, Megan. Mungkin itu cuma peringatan. Tapi sungguh, aku bisa gila jika terus berhadapan dengan kondisi seperti itu." Suara Arkana terdengar lesu, lemah dan nyaris kehilangan semua tenaga yang dia miliki.

Arkana mengerang ketika merasakan lengannya ada tanda kebiruan. Rupanya jejak tangan pucat yang mencengkram dirinya tadi bukan ilusi! Bukti nyata ada di depan matanya. Lalu, mata Arkana tertuju pada pipi Megan.. Pipi gadis itu terdapat goresan yang lumayan panjang namun tidak dalam. Darah segar masih terlihat berkilat di bagian sana.

"Kaki ku sakit, Ar..." Suara Megan merasakan kakinya seperti habis lepas dari ikatan kencang.

"Pipimu terluka. Apa kau tidak merasakannya?" Arkana buru-buru mengambil antiseptik dan membantu Megan membersihkan luka yang entah muncul dari mana.

Megan memeluk lututnya, mencoba menghentikan gemetar di tangannya. Di kepalanya, suara Ziudith masih bergema...

"Kau melihat, tapi kau memilih buta."

Arkana menatap Megan penuh perasaan, dia mengusap telapak tangan gadis di hadapannya. Mata sendu itu mampu menarik atensi Megan untuk berbalik melihat ke arah Arkana.

"Kita tidak bisa menunggu dia datang dan mengambil apa yang dia inginkan. Kita harus cari Queenza sekarang. Malam ini."

Megan menelan ludah. Dia tahu, kalimat Arkana itu berarti mereka harus keluar dari zona aman, menghadapi Ziudith lagi. Tapi kali ini, jika dia kembali diam, itu akan jadi akhir untuk Queenza.

"Apa aku memang sepengecut itu, Ar? Aku diam selama ini. Samuel bilang, jangan pernah mencampuri urusan yang bukan berkaitan dengan kita. Dan aku mendengarnya! Aku hanya ingin tidak terlibat masalah dengan mencampuri urusan orang lain. Apa itu salah?" Isak tangis Megan terdengar.

Mau bilang apa? Arkana memilih menggunakan tubuhnya untuk menenangkan Megan, dia peluk erat gadis itu agar lebih tenang. Dia sendiri tidak tahu, apakah kalimat 'Diam adalah emas' tidak sepenuhnya benar? Atau mereka yang salah kaprah merealisasikan kata 'diam' itu sendiri?

Jari-jarinya dingin. Bukan karena udara malam, tapi karena sesuatu yang lebih dalam. Sebuah keputusan yang mulai Megan bentuk, meski otaknya sendiri menolak mengakuinya. Dia salah, dia sadar sepenuhnya jika dia bersalah atas apa yang terjadi pada Ziudith!

.

.

.

Di sudut koridor asrama putri, lampu terakhir berkelip, lalu mati. Hanya cahaya bulan dari jendela tinggi yang membelah kegelapan. Di sanalah Megan melihat Queenza, duduk di bangku kayu tua, tubuhnya sedikit membungkuk.

"Queenza…?" Megan mendekat perlahan.

Gadis itu menoleh, dan Megan tersentak menatap perubahan pada diri gadis polos itu. Wajahnya pucat seperti kertas, matanya merah, bukan karena menangis, tapi seperti kurang tidur... Mungkin berhari-hari atau berminggu-minggu, entahlah. Bibir Queenza bergetar sebelum suara seraknya keluar.

"Megan, aku mendengar langkah kaki setiap malam. Aku pikir, aku gila."

Megan duduk di sebelahnya.

"Langkah apa? Di asrama kita memang sering terdengar langkah kaki kan Queenza?" Megan berusaha menenangkan Queenza.

"Bukan langkah manusia. Tapi langkah menyeret yang terdengar berat dan berulang setiap malam. Kau tau, setelah aku bertanya pada teman kita yang lain yang ada di sini... Mereka tidak mendengar apapun. Hanya aku yang mendengarnya."

Megan menatapnya lama, mencoba membaca kebohongan di wajah itu, tapi yang dia lihat hanya ketakutan murni. Lalu, seperti kabut tipis yang menyelinap di bawah pintu, hawa dingin makin menusuk tulang. Megan mengabaikan semua itu.

"Aku ingin bertanya padamu, aku harap kau bisa berkata jujur. Apa kau ada hubungannya dengan semua perundungan yang Ziudith alami semasa hidupnya? Mungkin melihat atau menyaksikannya tapi setelah itu kau memilih pergi? Mengabaikan apa yang terjadi?" Megan masih bisa

Queenza menggeleng cepat.

"Ada satu kejadian, yang membuatku menyesal hingga sekarang. Patricia dan Nancy.. Mereka mencekik Ziudith di koridor sepi. Entah apa alasan mereka, tapi aku buru-buru menuju ruangan principal untuk melaporkan apa yang mereka lakukan pada Ziudith. Ta-tapi.. Ucapan ku dianggap lawakan oleh principal. Dia tertawa, dan menganggap ucapan ku sekedar omong kosong. Aku ingin membawanya langsung ke koridor kelas, atau memintanya melihat cctv di bagian itu. Namun dia menolak! Katanya orang tua Patricia terlalu berpengaruh di sekolah. Aku gagal menolongnya, rasa bersalah ku semakin menjadi-jadi ketika mendengar kabar Ziudith meninggal karena bunuh diri beberapa bulan setelah kejadian itu." Jelas Queenza tanpa ada yang dia tutup-tutupi.

"Bohong!!! Dia hanya melihat, lalu melarikan diri!!!"

Megan menoleh cepat. Tak ada siapa-siapa. Tapi lorong di depan mereka kini gelap, seolah tertutup tirai hitam.

"Dia penjahat!!! Dia memilih bungkam!!!" Lanjut suara yang sudah pasti bisa Megan tahu itu siapa. Ziudith!

Dari ujung gelap itu, sesuatu bergerak tidak berjalan, tapi melayang cepat. Bukan putih tapi bayangan hitam pekat, seperti tinta tumpah yang merangkak di lantai, memanjat dinding, dan menetes dari langit-langit. Perlahan dari bayangan itu, wajah Ziudith terbentuk. Pucat. Senyum tipis. Mata kosong yang justru terasa menghujam jantung.

"Zi--Ziudith... Itu kau..?" Queenza bertanya dengan suara lembutnya.

"Ya! Ini aku!!! Dan aku ingin kau ikut bersama ku!!!" Suara dari mulut yang tidak terbuka. Tapi jelas jika lengkingan itu terasa menusuk gendang telinga.

"Kau dengar sendiri kan, Ziu! Queenza tidak bersalah. Dia ingin menolong mu waktu itu. Ziudith, dia bukan orang jahat...." Ucap Megan lantang meski dia tahu yang dihadapi saat ini bukan manusia, tapi makhluk dari dunia berbeda.

Ziudith berdiri di antara mereka dan satu-satunya pintu.

"Kalian hanya ingin menyelamatkan diri kalian kan, makanya berkata seperti itu??? Kikikikiiiiik..... Aku hanya ingin satu jiwa,” suara Ziudith lembut, nyaris seperti ajakan. "Aku tidak peduli pada apapun lagi. Penjahat tetaplah penjahat!!!"

Megan menatap Queenza, lalu ke Ziudith. "Dia tidak bersalah, Ziudith."

Senyum Ziudith merekah sedikit. "Lalu?"

Megan menarik napas panjang, dan kata-kata itu keluar sebelum dia sempat menahannya. "Aku. Ambil saja nyawaku. Aku bersedia menggantikan Queenza untuk ikut bersama mu."

Queenza menoleh cepat, matanya membelalak. "Megan, apa yang kau lakukan?! Jangan gila!!! Kau tidak harus melakukan ini!! Kau tidak begitu mengenal ku, untuk apa kau korbankan hidup mu demi orang seperti ku?? Tidak, jika ada yang harus pergi... Maka orang itu adalah aku!!"

Ziudith tertawa dengan lengkingan paling keras dan begitu menyayat. Bukan tawa bahagia tapi tawa penuh luka.

Jari-jari Ziudith terulur, hitam pekat mengalir di sepanjang lengannya. Dia menyentuh kepala Queenza, mengoyak memori gadis itu dengan kemampuan iblis yang dia miliki. Tubuh Queenza seperti membeku, dia diam di tempat. Mata indahnya perlahan menjadi putih. Manik biru yang tadinya ada di sana seperti menghilang entah kemana. Lambat laun tubuh Queenza menggelepar seperti seekor ikan yang dipaksa bernafas di daratan.

Megan tentu tak tinggal diam. Dia berusaha mendekat namun gagal, seperti ada energi kuat tak kasat mata yang menghalau dirinya mendekati Queenza. Sorot mata Ziudith berubah, tidak lagi semarah tadi. Seperti menemukan jawaban atas keinginan tahuannya.

Melalui memori yang Ziudith lihat dari Queenza, ternyata apa yang dikatakan Queenza memang benar adanya. Dia tidak berbohong! Melihat Queenza yang ambruk, Megan berlari mendekat, berusaha mengalahkan kekuatan tak kasat mata itu dengan tubuh ringkihnya. Yang terjadi adalah.... Ziudith kembali murka! Dia seperti bukan lagi Ziudith yang Megan kenal! Amarah Ziudith kali ini seperti ingin menelan apa saja yang ada di depan matanya.

Satu gerakan tangan seperti menyingkap udara, membuat Megan terpelanting mundur hingga beberapa meter jauhnya.

"Kau sudah tahu kebenarannya... Untuk apa kau masih semarah ini??"

Bukan Megan, bukan juga Queenza yang bicara tapi Arkana! Pemuda itu bagaimana bisa ada di koridor asrama putri? Ah, lupakan pertanyaan bodoh itu!! Yang terpenting bukan kehadiran Arkana di sana tapi sosok Ziudith yang perlahan mundur, wajahnya retak seperti kaca terkena pukulan. "Ini belum selesai…" bisiknya, lalu tubuhnya larut kembali menjadi kabut hitam, menghilang di celah-celah dinding.

Megan hampir roboh, tapi Arkana menangkapnya. Di belakangnya, Queenza tak sadarkan diri. Di ujung koridor, dari mata lelahnya Megan menoleh sekali lagi. Sekilas, dia melihatnya bayangan di kaca jendela, tersenyum menyeringai menyeramkan. Megan tidak kuat melihatnya hingga akhirnya dia ikut tumbang di pelukan Arkana.

1
🟢🌻ֆɦǟզʊɛɛռǟ ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ🌻
biarkan sja mereka mati megann siapa suruh gak percaya🙄🙄
🟢🌻ֆɦǟզʊɛɛռǟ ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ🌻
dihhh jaga tuh mulut mu iti kl kamu tuh udah jadi target dr the book gak bakal.selamt lagi aliass koitt🤣🤣🤣
🍊 NUuyz Leonal
please lah Thor aku ko ya yg cape gini berasa aku yng di kejar kejar sama hantu nya
🍊 NUuyz Leonal
asli padahal aku takut tapi masih nekat aja baca😫😫😫
💖⃟🌹Ʃеᷟʀͥᴎᷤᴀᷤ🌹💖👥
ish kalo Megan mati, selese donk ceritanya..
Kan Megan pemeran utamanya
ㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤ𒈒⃟ʟʙᴄ
itu si ziu kok minta di bunuh sekali lagi yaa😤😤iblis mana sih menyerupai ziu sampai segitunya sama megan🤦‍♀️🤦‍♀️🚶🏿‍♀️🚶🏿‍♀️🚶🏿‍♀️
Huewir Ruek 𝐙⃝🦜
ihhhh ksian Ziudith
tadinya kami menyanjung dan mengasihaninya Krn nasib tragis yg menimpanya
tapi sekarang kami membencinya karena dendam yg membabi-buta
dikira jadi saksi kejahatan itu mudah apa?
dipikir kalo kita mengadukan ke pihak berwajib juga akan bisa 'menolong' sang korban sebagaimana mestinya?
disangka kalo kita jadi saksi gak akan kena beban moral dari sonosini?
huhhhh dasar iblissss, emang udh tabiatnya berbuat sesaddddd lagi menyesadkannn😤😤😤
𝐙⃝🦜尺o
apa ziu perlu mati lagi biar lenyap?
𝐌𝐄𝐍𝐘𝐄𝐌𝐄𝐍𝐘𝐄 😏
thorrr oeiiii.. kok habis.. ga bisa skrol lagi ini😤😤😤😤
𝐌𝐄𝐍𝐘𝐄𝐌𝐄𝐍𝐘𝐄 😏
untung ga ketemu ladhu... bisa berabe negonya🤣
Rita Ariani
kasian megan
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
itu mah bukan ziu tapi iblis yang menyerupai ziu😒😒yuk megan kamu bisa melawan rasa takut dalam dirimu 🙈🙈🚶🏿‍♀️🚶🏿‍♀️🚶🏿‍♀️
𝐇𝐁𝐃 𝐄𝐑𝐋🎉🎊
sepertinya sia² Meg..
karna kmn pun kamu pergi, dia selalu mengikutimu
𝐇𝐁𝐃 𝐄𝐑𝐋🎉🎊
lagu siapa nih?
bae² kena royalti ntar🚴🏻‍♀️🚴🏻‍♀️🚴🏻‍♀️
𝑨𝒌𝒖 𝑴𝒂𝒚𝒂🎐ᵇᵃˢᵉ
Megan akan menjadi sasaran terakhir ziudith kah??
Megan tidak pernah jahat kepada ziudith,tapi kenapa Megan selalu di buru oleh Ziudith???!
𝐙⃝🦜尺o
deritamu dan nasib burukmu gak harus menyeret orang lain yang gak berhubungan denganmu ziu, meski Megan cuek tapi dia gak jahat sama kamu
💖⃟🌹Ʃеᷟʀͥᴎᷤᴀᷤ🌹💖👥
Ya ampun,Ziudith ini ngeselin amat sih. Situ yg dibully koq minta balas dendam kesemua orang. Aneh lho..
Apakah Megan bakal kecelakaan,smoga enggak ah.. Jangan sampe
maya ummu ihsan
aku harap kalian tidak kalah dari iblis yg menyerupai ziudith
𝐇𝐁𝐃 𝐄𝐑𝐋🎉🎊
benar² bisa gila klo setiap hari selalu dihantui kek gitu🤦🏻‍♀️
𝐇𝐁𝐃 𝐄𝐑𝐋🎉🎊
knp seperti buah simalakama?
mau diem, diteror terus.. mau nolong, ehh malah lebih horor lagi juga🤦🏻‍♀️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!