NovelToon NovelToon
Jodohku Teman Mama

Jodohku Teman Mama

Status: tamat
Genre:Romantis / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Romansa / Tamat
Popularitas:6.7k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Raisa tak pernah mengira hidupnya akan berubah drastis setelah ulang tahunnya yang ke-23. Gadis ceria itu terkejut ketika sang mama mengenalkannya pada seorang pria—bukan untuk dijodohkan dengan lelaki muda seperti biasanya, melainkan dengan teman dekat mamanya sendiri, seorang pria dewasa bernama Ardan yang berusia hampir dua kali lipat darinya.

Ardan, seorang duda mapan berwibawa, awalnya tak berniat menerima tawaran perjodohan itu. Namun, kepribadian Raisa yang hangat dan polos perlahan membuatnya goyah. Raisa pun dilanda dilema: bagaimana bisa ia jatuh hati pada seseorang yang selama ini ia kenal sebagai “Om Ardan”, sosok yang sering datang ke rumah sebagai sahabat mamanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 24

Seperti malam sebelumnya. Raisa tetap pada prasangka buruknya. Ia kembali memikirkan semua yang terjadi pada suaminya.

Malam itu, meski hujan sudah reda, hawa dingin masih menggantung di udara. Raisa tetap berdiri di balkon, memeluk tubuhnya sendiri. Pandangannya kosong, menembus gelap kota yang hanya diterangi lampu-lampu jalan dan sorotan gedung-gedung tinggi. Ia menghela napas panjang, lalu memejamkan mata. Setiap kali ia menutup mata, kalimat itu selalu kembali.

"Kalau benar sayang, lepaskan."

Kata-kata Bu Ratna seperti racun yang menyusup ke dalam darahnya. Ia benci mendengarnya, tapi ia tak bisa menyangkal bahwa kalimat itu mulai membuatnya ragu pada dirinya sendiri. Apa benar? Apa dengan tetap di sisi Ardan, ia justru menjerumuskannya?

Ardan keluar ke balkon beberapa menit kemudian, tanpa banyak suara. Raisa bisa merasakan kehadirannya bahkan sebelum pria itu memeluk pinggangnya dari belakang.

“Masih dingin?” suara Ardan terdengar parau, seperti seseorang yang menyimpan terlalu banyak kata dalam dadanya.

“Sedikit.” Raisa berusaha terdengar biasa.

Ardan tak menjawab. Mereka hanya berdiri bersama, mendengarkan bunyi tetesan air hujan dari pipa di sudut bangunan. Lama-lama, Raisa merasa seperti mereka berdua berada di dunia yang terpisah dari semua orang. Dunia yang sempit, tapi terasa aman—atau setidaknya dulu terasa begitu.

“Om…” Raisa akhirnya bicara, nadanya pelan. “Kalau semua ini… mengganggu hidup Om, karier Om… aku—”

“Raisa.” Ardan langsung memotong. Suaranya keras, tapi bergetar. “Berhenti ngomong kayak gitu. Aku udah bilang, kan? Kamu tetap di sini. Sama aku. Titik.”

Raisa menggigit bibirnya. “Tapi Om nggak marah? Semua orang ngomongin aku… ngomongin kita.”

“Aku cuma marah sama satu hal,” Ardan menarik napas panjang, lalu memutar tubuh Raisa agar menatapnya. “Kalau kamu sampai mikir buat ninggalin aku. Itu… itu yang nggak bisa aku terima.”

Mata Raisa basah. Ia mengangguk, tapi tak berkata apa-apa.

Keesokan harinya

Ardan kembali ke kantor, menghadapi hari yang lebih berat dari kemarin. Ia tahu, sejak berita tentang pernikahannya menyebar, banyak klien yang mulai menarik diri. Beberapa alasan dibuat sehalus mungkin—“strategi bisnis,” “kondisi pasar,”—tapi Ardan tahu persis apa yang mereka maksud: mereka tak mau berhubungan dengan orang yang “berulah.”

Siang itu, Ardan duduk di ruangannya sendirian. Segala berkas dan laptop di meja tak disentuh. Pikirannya kusut. Ia menatap jendela besar di depannya, melihat kota dari lantai 20.

"Kalau benar sayang, lepaskan."

Bahkan ia pun tak bisa menghilangkan suara itu dari kepalanya. Ia tahu Bu Ratna mendesak Raisa, mungkin setiap hari. Dan ia tahu Raisa mulai terpengaruh.

Teleponnya berdering. Nama Raisa muncul di layar. Ardan cepat-cepat mengangkat.

“Sayang?”

“Om…” suara Raisa lembut tapi ragu. “Om pulang cepat, ya? Aku masak kesukaan Om.”

Ardan menutup mata sejenak. Sekuat apa pun ia mencoba terdengar biasa, Raisa pasti tahu ada sesuatu yang salah. “Iya, aku pulang cepat.”

Di apartemen

Raisa sibuk menata meja makan. Sup ayam kesukaan Ardan mengepul, aromanya memenuhi apartemen. Ia bahkan mengenakan baju kasual favorit Ardan—kaus longgar dengan celana pendek—hal sederhana yang biasanya cukup membuat Ardan tersenyum.

Namun ketika Ardan pulang, tak ada senyum. Ia hanya meletakkan jasnya di sofa dan duduk di meja makan tanpa bicara.

“Om nggak suka masakanku?” Raisa mencoba memulai percakapan.

Ardan menggeleng. “Aku cuma capek.”

“Kerjaan?”

“Ya.”

Keheningan kembali menelan mereka. Raisa menatap sup di mangkuknya. Ia ingin berbicara, tapi takut salah kata.

Akhirnya, ia memberanikan diri. “Om…” suaranya nyaris berbisik. “Kalau semua ini bikin Om makin berat… mungkin aku harus—”

“Berhenti di situ.” Suara Ardan tiba-tiba meninggi, membuat Raisa tersentak.

“Tapi Om—”

“Aku bilang berhenti, Raisa!”

Air mata langsung menggenang di mata Raisa. Ardan buru-buru meraih tangannya, menyesal. “Maaf… aku nggak bermaksud marah. Aku cuma nggak mau denger kamu ngomong kayak gitu. Jangan pernah berpikir ninggalin aku. Jangan.”

Raisa menunduk. “Tapi Om, kalau aku yang bikin semua ini berantakan… apa aku nggak egois kalau tetap di sini?”

Ardan mengusap wajahnya. “Kalau kamu pergi… itu yang benar-benar akan hancurin aku.”

Beberapa hari kemudian

Pesan dari Bu Ratna masuk lagi. Kali ini tak ada basa-basi.

"Kamu datang ke rumah sekarang. Kita bicara baik-baik."

Raisa pergi. Dan seperti yang sudah ia duga, percakapan itu sama saja. Bu Ratna tetap pada pendiriannya: Raisa harus pergi.

“Kamu masih muda,” kata Bu Ratna dingin. “Kamu masih bisa punya hidup yang layak tanpa harus menyeret Ardan dalam semua masalah ini.”

“Saya nggak mau ninggalin Ardan, Bu,” suara Raisa bergetar.

“Jadi kamu lebih mementingkan egomu daripada masa depan Ardan?”

Kata-kata itu membuat Raisa tercekat.

“Kalau benar sayang, lepaskan. Itu yang terbaik untuknya.”

Malam itu

Raisa kembali berdiri di balkon. Hujan sudah lama berhenti, tapi hawa dingin tetap menggigit kulitnya. Suara tetesan air dari pipa terdengar jelas di tengah malam yang sunyi.

Ardan menghampirinya seperti biasa, memeluk dari belakang.

“Kenapa kamu sering banget di sini akhir-akhir ini?” bisiknya.

“Karena di sini… aku bisa berpikir,” jawab Raisa pelan.

Ardan mengecup kepalanya. “Jangan terlalu banyak mikir. Kamu cuma perlu satu hal: percaya sama aku.”

Tapi Raisa tahu, ia tak bisa berhenti berpikir.

Karena untuk pertama kalinya sejak menikah, ia benar-benar takut.

Kalau aku benar-benar mencintainya… apa aku harus tetap tinggal? Atau justru pergi, demi kebaikannya?

Dan pertanyaan itu, lebih dari apa pun, membuatnya tak bisa tidur malam itu.

1
Afifa Mega
kok aku bingung ya sama alur cerita nya
Nurminah
manusia terkadang menilai sesuatu berdasarkan sudut pandang mereka tanpa tabayun dulu sehina itu menikah beda usia tapi laki-laki yg memiliki sugarbaby dianggap wajar zina dinormalisasi pernikahan dianggap aib
Julia and'Marian: Ya kak, apalagi jaman sekarang sudah hal wajar seperti itu. miris banget.
total 1 replies
Aliya Awina
siapa yg gak sok baru datang langsung lamaran,,,
Julia and'Marian: 🤭🤭🤭,,
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!