Dewi, seorang pelayan klub malam, tak sengaja menyaksikan pembunuhan brutal oleh mafia paling ditakuti di kotanya. Saat mencoba melarikan diri, ia tertangkap dan diculik oleh sang pemimpin mafia. Rafael, pria dingin dengan masa lalu kelam. Bukannya dibunuh, Dewi justru dijadikan tawanan. Namun di balik dinginnya Rafael, tersimpan luka dan rahasia yang bisa mengubah segalanya. Akankah Dewi bisa melarikan diri, atau justru terperangkap dalam pesona sang Tuan Mafia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 15
Dewi duduk di sudut kamar, hampir tak terlihat di balik tirai tebal yang menggantung berat dari langit-langit hingga menyentuh lantai. Tirai itu menelan cahaya, menciptakan bayangan pekat yang menutupi tubuh kecilnya yang meringkuk.
Lututnya menempel di dada, kedua tangannya mencengkeram telinganya erat-erat, seolah ingin merobek suara-suara yang terus menghantui kepalanya. Tapi sia-sia.
Raungan harimau.
Suara jeritan.
Bunyi cipratan darah saat tubuh itu terkoyak.
Semuanya masih hidup di dalam telinganya.
Masih segar.
Masih menjerit.
Tubuhnya menggigil hebat. Nafasnya pendek, seperti mencoba melawan udara dingin yang menusuk tulangnya. Air mata terus mengalir tanpa suara. seperti sungai yang tak bisa dibendung.
Lalu…
Krak.
Pintu kamar terbuka perlahan.
Langkah kaki yang berat dan mantap memasuki ruangan.
Dewi tak berani menoleh.
Dia tahu siapa yang datang.
Rafael.
Dengan posturnya yang menjulang tinggi, sorot matanya dingin, dan ekspresi yang tak berubah. datar dan menakutkan.
Ia berdiri tepat di depan tirai.
Tanpa sepatah kata pun, tangannya yang besar meraih tirai dan menyibakkannya keras, hingga cahaya remang dari lampu gantung mengguyur tubuh Dewi yang tergulung seperti boneka rusak.
Rafael menatapnya.
Dewi tak membalas.
Ia hanya diam, memeluk lututnya. Gaun hitamnya koyak di banyak tempat. Kakinya luka, menghitam dan berdarah karena terkena ranting dan kerikil. Wajahnya penuh goresan. Rambutnya kusut, lengket oleh peluh dan debu.
Sejenak, sunyi membentang panjang.
Lalu, tanpa peringatan, Rafael membungkuk, mengangkat tubuh Dewi dalam gendongannya. Gadis itu terlalu lemah untuk melawan. Ia hanya bisa terperangkap dalam pelukannya yang dingin dan mematikan.
Rafael melangkah ke kamar mandi, matanya tak bergeser dari wajah Dewi yang pucat.
Sesampainya di dalam, ia menyalakan air hangat. Uap perlahan memenuhi ruangan.
Dengan gerakan perlahan namun pasti, Rafael mulai memandikan Dewi. Mengangkat gaun yang koyak, melepaskan pakaian yang menempel kotor pada kulit gadis itu. Ia bersihkan setiap luka, menyeka debu dari pipi, menyiram rambutnya dengan air, seperti sedang memandikan anak kecil yang tak bisa melakukannya sendiri.
Wajahnya tetap tenang.
Tidak tersenyum. Tidak marah.
Hanya... kosong.
Dewi gemetar, mencoba menahan air mata, tapi air matanya jatuh juga. Tubuhnya masih terasa dingin, bahkan saat air hangat mengguyurnya.
Hingga akhirnya, dalam bisikan lirih, suaranya pecah.
“Kau... gila, Rafael...”
Suaranya nyaris tak terdengar.
Retak. Patah.
Seperti daun kering yang hancur di bawah kaki.
Rafael berhenti.
Tangannya masih menggenggam handuk yang baru saja menyeka luka di pundak Dewi. Ia tak menoleh langsung, tapi kepalanya sedikit berpaling.
Lalu ia menjawab, pelan... datar... namun menghantam lebih tajam dari pisau.
“Siapa yang waras...
...saat hidup di dunia yang sudah hancur sejak awal?”
Diam.
Sunyi kembali mengisi ruangan.
Rafael melanjutkan pekerjaannya, seolah tak ada yang baru saja dikatakan. Ia menyiram rambut Dewi, menyisirnya dengan jari-jarinya yang panjang dan dingin. Menyeka luka di lutut, di pergelangan tangan, bahkan yang tersembunyi di belakang telinga.
Sementara Dewi, hanya bisa terdiam dalam pelukannya.
Menangis tanpa suara.
Menggigil dalam ketakutan, trauma, dan kebingungan.
Malam itu, dunia tak memberi ruang untuk logika.
Yang ada hanya trauma dan kekuasaan,
diam dan jeritan batin yang tak akan pernah terdengar di balik dinding rumah megah Rafael.
Setelah menyelesaikan pembersihan luka-luka Dewi, Rafael menutup keran air. Kamar mandi kembali diselimuti keheningan, hanya tersisa suara tetesan air yang jatuh perlahan ke lantai marmer.
Tubuh Dewi lemas dalam gendongannya, mata yang sembab karena tangis hanya menatap kosong ke dinding.
Tanpa sepatah kata pun, Rafael mengangkat tubuhnya kembali. dengan mudah, seolah Dewi tak lebih dari sebuah boneka yang kehilangan semua kekuatannya. Ia membawanya keluar dari kamar mandi, kembali ke kamar yang masih dipenuhi hawa dingin dari trauma yang baru saja terjadi.
Ia membaringkan Dewi di atas tempat tidur besar, lalu berjalan menuju lemari di sudut ruangan. Tangannya menarik pintu kayu gelap itu, memperlihatkan deretan kemeja mahal yang tergantung rapi.
Tanpa banyak pilih, Rafael mengambil satu kemeja putih bersih. panjang dan cukup lebar untuk menutupi tubuh Dewi yang mungil dan rapuh.
Ia mendekat. Tatapannya tetap kosong, namun kali ini... entah kenapa, ada sedikit gerakan di rahangnya. seperti orang yang menahan sesuatu di dalam dirinya.
Rafael berlutut di tepi ranjang. Tangannya mulai memakaikan kemejanya ke tubuh Dewi, perlahan. Ia menyelipkan satu tangan Dewi ke dalam lengan kemeja, lalu tangan satunya. Ia menyisakan beberapa kancing terbuka, membiarkan kemeja itu jatuh longgar di tubuh gadis itu.
Dewi hanya diam.
Matanya sayu.
Bibirnya bergetar, tapi tak ada suara yang keluar.
Saat Rafael menyelimutinya dengan selimut tebal, ia sempat menunduk, menatap wajah Dewi yang luka. Mata mereka bertemu sejenak. hanya sekejap. Tapi cukup untuk membuat dada Dewi berdegup kencang oleh rasa takut yang belum hilang.
Rafael berdiri.
Langkahnya menjauh dari ranjang.
Tapi saat ia sampai di depan jendela, ia berhenti. Punggungnya menghadap Dewi. Suaranya terdengar dalam, datar... namun berat.
"Aku tidak akan menyentuhmu malam ini," katanya pelan.
"Bukan karena aku iba... tapi karena aku ingin kau mengingat rasa takut itu lebih lama."
Dewi menggigit bibirnya. Tangis yang sempat reda, kembali mengalir tanpa suara.
“Kenapa kau menyiksaku seperti ini, Rafael…”
Suara itu lirih. Retak. Jatuh seperti serpihan kaca di lantai marmer.
Rafael masih berdiri membelakangi.
“Karena kau berani memilih lari dariku. Dan untuk setiap langkah yang menjauh dariku…”
Ia menoleh perlahan.
Tatapan itu kembali menusuk.
“…akan selalu ada harga yang harus dibayar.”
Dewi menutup mata. Tubuhnya bergetar hebat. Ia tak tahu harus membenci, takut, atau menangis lagi. Luka di tubuhnya jauh lebih ringan dari luka yang kini mengendap di dalam jiwanya.
Rafael memadamkan lampu.
Ruangan tenggelam dalam gelap.
Langkah kakinya terdengar menjauh, pintu kamar ditutup pelan namun tegas.
Dan Dewi…
terbaring diam,
dalam gelap,
dengan tubuh mengenakan kemeja lelaki yang menghancurkan jiwanya sedikit demi sedikit.
...
Pagi datang dengan cahaya suram yang menembus celah tirai tebal. Tidak ada sinar matahari yang hangat, hanya cahaya abu-abu yang membuat segalanya terlihat beku.
Cklek!
Suara pintu berderit pelan.
Langkah kaki berirama ringan masuk ke dalam kamar. Lalu terdengar suara lembut dari perabotan perak yang diletakkan di atas meja kecil di sisi ranjang. Aroma roti panggang dan sup ayam menyusup ke udara, berbaur dengan wangi antiseptik samar yang masih melekat dari malam sebelumnya.
Dewi perlahan membuka mata.
Matanya terasa berat dan kering. Pandangannya kabur, berputar-putar. Ia mencoba menggerakkan tubuh, namun seluruh ototnya terasa lumpuh. Nafasnya pendek, dadanya panas seperti terbakar. Dahi dan tengkuknya dipenuhi keringat dingin, namun tubuhnya menggigil hebat seperti terjebak di tengah salju.
"Selamat pagi, Nona."
Suara itu datang dari arah samping.
Datar.
Tanpa intonasi.
Seolah keluar dari mulut boneka mekanik.
Dewi memutar sedikit wajahnya. Di sisi tempat tidur, berdiri seorang wanita berseragam pelayan rapi: blouse putih, apron hitam, dan rambut yang digulung ketat di belakang kepala. Wajahnya bersih tanpa make-up, namun matanya hampa. Tidak ada emosi. Tidak ada perhatian. Hanya... tugas.
"Aku membawa sarapan," katanya sambil menunjuk nampan berisi semangkuk sup, sepotong roti, dan segelas air putih.
"Apakah Anda memerlukan sesuatu?"
Dewi ingin menjawab, tapi bibirnya kaku. Lidahnya berat. Ia hanya mampu mengeluarkan helaan napas pelan, hampir tak terdengar.
Pelayan itu tetap menatapnya. Wajahnya tidak menunjukkan keprihatinan, tidak juga jijik atau iba melihat kondisi Dewi yang memburuk. Hanya ekspresi kosong, seolah Dewi bukan manusia, hanya bagian lain dari rumah ini yang rusak dan harus dirawat sebelum dibuang.
Tubuh Dewi semakin gemetar. Matanya berkabut. Kepalanya berdenyut tajam, seolah ada palu besar yang menghantam dari dalam tengkoraknya. Ia mencoba membuka selimut, tapi lengannya lemas, nyaris tak bergerak.
Pelayan itu mengedipkan mata sekali, lalu menoleh ke arah pintu.
"Akan saya panggilkan dokter pribadi Tuan Rafael," katanya datar.
Ia berbalik, namun sebelum ia melangkah keluar, Dewi berusaha memanggilnya. Suara itu keluar seperti desis ular yang sekarat.
“T-tunggu…”
Langkah si pelayan terhenti. Ia menoleh setengah badan, menatap Dewi dengan kepala miring sedikit seperti robot yang menerima instruksi aneh.
“Ya, Nona?”
Dewi menatapnya dengan mata penuh air.
Bibirnya bergetar saat berkata,
“…kenapa kalian semua di sini… seperti... bukan manusia?”
Sekejap.
Hanya sekejap, mata pelayan itu berkedip. Namun tidak ada perubahan pada raut wajahnya.
Ia hanya menjawab pelan, tenang.
“Karena kami tidak diizinkan merasa, Nona. Kami hanya diperintahkan untuk melayani.”
Hening mengendap di ruangan.
Lalu pelayan itu membuka pintu, berjalan keluar, dan menutupnya kembali dengan lembut.
Dewi hanya bisa memejamkan mata lagi.
Air matanya mengalir diam-diam.
Tak ada tempat yang aman di rumah itu.
Bahkan suara pun tak bisa menyelamatkannya.
Yang ada hanya luka… dan keheningan yang terasa seperti penjara tak berdinding.