Sebuah kecelakaan beruntun merenggut nyawa Erna dan membuat Dimas terbaring lemah di ruang ICU. Di detik-detik terakhir hidupnya, Dimas hanya sempat berpesan: "Tolong jaga putri saya..." Reza Naradipta, yang dihantui rasa bersalah karena terlibat dalam tragedi itu, bertekad menebus dosanya dengan cara yang tak terduga-menjodohkan Tessa, putri semata wayang Dimas, dengan putra sulungnya, Rajata. Namun Rajata menolak. Hatinya sudah dimiliki Liora, perempuan yang ia cintai sepenuh jiwa. Tapi ketika penyakit jantung Reza kambuh akibat penolakannya, Rajata tak punya pilihan selain menyerah pada perjodohan itu. Tessa pun terperangkap dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan. Ia hanya ingin hidup tenang, tanpa harus menjadi beban orang lain. Namun takdir justru menjerat mereka dalam ikatan yang penuh luka. Bisakah Tesha bertahan di antara dinginnya penolakan? Dan mungkinkah kebencian perlahan berubah menjadi cinta?
Kehangatan
@CakrawalaTalks
💥 BREAKING NEWS!💥
Rajata & Liora Officially PUTUS?! 💔
Setelah hampir 2 tahun jadi couple goals Universitas Cakrawala, kabar mengejutkan datang: Rajata dan Liora dikabarkan sudah nggak bersama lagi! 🥶 Menurut sumber dekat, Rajata sang Kapten Basket andalan kita yang memutuskan hubungan mereka secara sepihak dan bikin Liora sampai nangis di parkiran pagi tadi.
🔥 What do you think? Tim Balikan or Move On?
@milenakampus: "Udahlah Li, kalo beda keyakinan susah endingnya... rajata nggak salah kalo mutusin sekarang daripada nanti lebih sakit 🥲."
@ryan_212: "Liora itu dari dulu juga terkenal arogan kan? Mungkin Rajata capek. Move on lah bro, banyak yang lebih worth it 👏."
@liolovers: "Rajata brengsek sih mentang-mentang udah jadi Kapten Basket, mutusin cewek yang udah nemenin dia dari nol... alasan beda agama? Please deh kayak nggak ada solusi aja 😤."
@grace_98: "Cowok kayak gini nih nggak gentle! Mau putus ya ngomong baik-baik dong, jangan ghosting duluan 😡."
@sissyjkt: "Sakit banget jadi Liora, udah all out malah ditinggalin... tim balikan plis 😭."
————————————————————
Tessa, Diana, dan Raisa sudah duduk manis di salah satu sudut kantin fakultas setelah melewati kelas dua SKS yang cukup menguras tenaga. Suasana kantin siang itu ramai, suara obrolan mahasiswa bercampur dengan aroma makanan yang menguar dari berbagai arah.
Raisa menyeruput es teh sambil merebahkan punggung ke kursi. "Kayaknya gue nggak cocok deh kuliah pagi..." gumamnya dengan lelah.
"Makanya jangan banyak begadang lo Sa," sahut Diana sambil terkekeh.
"Putri lama banget ya? Katanya tadi udah selesai kelas." Lanjut nya Diana sambil mengecek ponsel nya berkali-kali
"Iya, sabar aja. Kan lumayan biar kita bisa istirahat dulu di sini," jawab Tessa sambil menyeruput es tehnya pelan. Mereka bertiga memang sudah akrab sejak masa ospek dan hampir selalu menghabiskan waktu istirahat bersama.
Raisa yang tadinya sibuk scroll ponsel mendadak mengangkat wajahnya, menatap Tessa. "Tess... gue turut berduka cita ya. Kenapa lo nggak bilang sih ke kita?" ucapnya lembut, nada suaranya penuh simpati.
Tessa tersenyum tipis. "Kejadiannya terlalu mendadak... jadi gue nggak sempet ngabarin kalian." Suaranya pelan, hampir tenggelam oleh riuh kantin.
Memang, ia tak punya cukup waktu untuk sekadar berkabar pada teman-temannya. Setelah kedua orang tuanya meninggal, hidupnya berubah drastis. Ia bahkan terpaksa menikah dengan Rajata, seseorang yang bahkan tidak pernah terbayang akan menjadi suami nya.
Diana ikut menatap Tessa dengan mata prihatin. "Terus sekarang lo tinggal sendiri, Tess?" tanyanya hati-hati.
Tessa menggeleng cepat. "Ngg—nggak. Gue tinggal di rumah saudara ayah... sementara di sana dulu." Jawabannya singkat, tapi ada jeda canggung di ujung kalimatnya. Tidak kungkin dia jujur kalau dia tinggal dirumah Rajata kan??
Tak lama kemudian, Putri datang tergopoh-gopoh. Nafasnya memburu seperti habis lari maraton.
"Eh... kalian tahu nggak breaking news Cakrawala pagi ini?!" serunya sambil langsung menyambar es teh milik Raisa.
"Heh! Itu teh gue, yaaa!" protes Raisa melotot, tapi Putri tak peduli.
Diana yang melihat Putri sampai ngos-ngosan ikut merasa sesak. "Astaga, emang berita apaan sih sampai bikin lo lari-lari kayak lagi ngejar maling? Gue jadi ikutan engap tau nggak!"
"Itu..." Putri menarik napas panjang. "Rajata. Dia... dia putus sama Liora!"
Kalimat itu membuat Tessa refleks tersedak minumannya. Batuknya tertahan di tenggorokan, sementara Raisa menjatuhkan ponsel dari tangannya. Diana bahkan berhenti mengunyah gorengan di mulutnya, menatap Putri dengan wajah syok.
"Lo yang bener, Put?!" seru Diana tak percaya.
Raisa buru-buru meraih ponselnya lagi. Jemarinya lincah men-scroll timeline. "Astaga... beneran dong! Ada videonya... sama foto-fotonya juga!" serunya setelah menemukan unggahan di akun base.
"GILAAA! Akhirnya putus juga mereka!" Raisa bersorak, matanya berbinar penuh gosip.
"Mereka sih cocok-cocok aja... sama-sama ganteng dan cantik. Tapi gue nggak suka sama sifat arogan Liora itu," lanjutnya sambil menggeleng.
"Bener banget," timpal Diana cepat. "Bagus deh putus, gue jadi punya kesempatan nih!" ujarnya dengan nada bercanda.
"Yeeee... masa abis dapet Liora terus downgrade ke lo, Di," cibir Raisa sambil tertawa.
Candaan itu membuat semua tertawa, tapi tidak dengan Tessa. Senyum di wajahnya terasa kaku—lebih mirip garis tipis yang dipaksakan. Di dalam dadanya, ada rasa panas yang sulit dijelaskan. Campuran antara gugup, takut, dan... entah apa, perasaan aneh yang membuatnya ingin lenyap dari sana saat itu juga.
Apakah ia... cukup pantas?
Apakah ia layak menggantikan posisi Liora di sisi Rajata?
Tessa menunduk, menyembunyikan sorot matanya yang mulai gelisah. Jemarinya tanpa sadar meremas sendok, berusaha meredam semua gejolak yang mengguncang pikirannya.
Di sisi lain, Rajata sedang melakukan pemanasan di lapangan indoor kampus. Minggu depan tim mereka akan bertanding melawan kampus lain dalam ajang liga antar-universitas. Keringat sudah mulai membasahi pelipisnya meski latihan baru saja dimulai.
"Lo beneran putus sama Liora, Ja?" tanya Aksa sambil memantulkan bola ke lantai. Nada suaranya penuh rasa ingin tahu.
Rajata hanya berdehem pelan, tak berniat memberi jawaban panjang. "Hm."
"Sayang banget sih, tapi... kalau beda agama emang mending udahan," Aksa menimpali sambil mengangkat bahu santai. "Daripada makin dalam terus ribet di ujung karena nggak ada yang mau ngalah."
"Iya, jangan kayak temen lo tuh, udah tau beda agama masih aja lanjut part dua." Sahut kala yang kini ikut bergabung.
Tibra menoleh cepat dengan alis terangkat. "Nyindir gue lo?"
"Gue mah beda, dia mau pindah agama makanya kita masih barengan sampai sekarang." Sahut nya santai.
Rajata hanya diam. Ia melemparkan bola ke arah ring dengan keras, tapi pantulannya meleset. Kepalanya tiba-tiba terasa penuh—bukan karena latihan atau tanding minggu depan. Tapi karena bayangan wajah Liora yang menangis dan... Tessa.
Entah kenapa, setiap kali ia mencoba mengingat Liora, bayangan Tessa yang terlihat rapuh di pemakaman selalu menyelinap masuk.
***
Senja mulai menguning, semburat jingga menyapu langit dengan indahnya. Di teras kafe dekat kampus, empat gadis itu duduk melingkar di meja paling pojok, ditemani minuman dingin dan sepiring camilan yang belum banyak tersentuh.
Raisa melirik Tessa yang sejak tadi hanya sibuk mengaduk-aduk es cappuccino-nya tanpa minat untuk menyesap sedikit pun.
"Tess, r u okeey?" tanya Raisa hati-hati, menatap sahabatnya yang dari tadi hanya diam sambil memainkan sendok di gelasnya.
Tessa tersenyum kecil, tapi jelas senyuman itu dipaksakan. "Gue... gue nggak apa-apa, Sa." Suaranya pelan, hampir tak terdengar.
Raisa menghela napas. "Gue tau ini pasti berat banget buat lo. Gue cuma mau lo tau... lo boleh sedih, lo boleh banget ngerasa kehilangan... tapi lo harus inget, hidup lo tetep harus jalan, Tess."
Diana ikut menimpali sambil meraih tangan Tessa yang ada di meja. "Iya Tess, kita semua tau lo kuat. Tapi kuat bukan berarti lo harus pura-pura baik-baik aja. Nangis aja kalo mau nangis, kita disini buat lo."
Putri yang duduk di seberang mereka mengangguk mantap. "Lo masih punya kita di sini, Tess. Kita bakal nemenin lo, sampe kapan pun. Jadi jangan ngerasa sendirian, ya."
Kata-kata itu membuat dada Tessa terasa hangat sekaligus sesak. Air matanya hampir jatuh, tapi ia cepat-cepat menunduk, menelan semua rasa yang berkecamuk di dadanya.
"Makasih, guys... gue nggak tau harus ngomong apa lagi," bisiknya lirih.
Raisa tersenyum hangat, lalu meraih bahu Tessa dan menariknya mendekat. Tanpa aba-aba, Diana dan Putri ikut merangkul dari sisi lain. Mereka akhirnya berpelukan di meja kafe itu, sebuah lingkaran kecil yang hangat di tengah suasana sore yang mulai temaram.
jangan2...
kasihan, malang benar nasibmu Tessa