NovelToon NovelToon
Drama Cinta Kaki Lima (Rujak Seblak Mesra)

Drama Cinta Kaki Lima (Rujak Seblak Mesra)

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Perjodohan / Romantis / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu / Konflik etika
Popularitas:302
Nilai: 5
Nama Author: Laila ANT

Gunawan, penjual rujak bumbu yang pendiam, dan Dewi, pemilik seblak pedas yang independen, terjebak dalam perjodohan paksa setelah gerobak mereka bertabrakan, menciptakan kekacauan di lapak. Warga, di bawah arahan Pak RT, menghukum mereka dengan pernikahan untuk menjaga reputasi lapak. Awalnya, mereka sepakat untuk menjalani 'kontrak pacaran palsu', penuh kecanggungan dan konflik komedi. Namun, seiring waktu, serangkaian tantangan publik—mulai dari "Love Brigade" yang selalu mengawasi, drama keluarga, hingga sabotase pesaing—memaksa mereka bekerja sama. Tanpa disadari, sandiwara tersebut mulai menumbuhkan perasaan nyata, hingga akhirnya mereka harus memutuskan apakah akan tetap berpegang pada janji palsu atau jujur pada hati mereka, yang berarti menghadapi konsekuensi dari komunitas yang pernah memaksa mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ujian Tatapan Mata

Ia hanya bisa merasakan tatapan ketiga ibu-ibu itu mengunci mereka, menuntut sebuah aksi romantis yang sama sekali tidak mereka inginkan.

"Ayo, cepat! Jangan melamun begitu!" seru Bu Ida, suaranya melengking penuh semangat, seperti komandan militer yang siap melatih prajuritnya. Ia mengeluarkan ponsel jadulnya yang berlayar kecil, tapi layarnya bersih mengkilap, seolah tak pernah absen dari sesi selfie.

"Berdekatan! Senyum! Seperti orang yang lagi kasmaran! Jangan sampai ada jarak antar kalian, nanti dikira musuhan!"

Dewi melirik Gunawan, seringai palsu di bibirnya terasa kaku.

"Ayo, Gunawan. Jangan kaku begitu. Nanti disangka robot," bisiknya, suaranya penuh rasa muak.

Gunawan membalas tatapan itu, mencoba tersenyum sealami mungkin, yang justru terlihat seperti ia sedang menahan buang air besar.

"Kamu juga, Wi. Senyummu itu... lebih mirip harimau kelaparan daripada calon pengantin."

"Apa katamu?!" Dewi mendesis, tapi segera mengganti ekspresinya menjadi senyum dipaksakan saat Bu Ida berdeham.

"Nah, gitu dong! Berdekatan lagi!" Bu Marni, yang bertubuh sedikit lebih gemuk dari Bu Ida, mendorong punggung Dewi agar lebih rapat dengan Gunawan. Bu Tuti, yang pendiam, hanya mengangguk-angguk sambil memegang tas anyamannya, matanya menyorot penuh penasaran.

Gunawan dan Dewi akhirnya berdiri mepet, bahu mereka bersentuhan. Aroma rujak bumbu dan seblak pedas bercampur, menciptakan kombinasi aneh yang tak seharusnya ada dalam adegan romantis. Mereka saling melirik, lalu menatap lurus ke kamera ponsel Bu Ida.

"Satu... dua... ti—"

KLIK!

Bu Ida menurunkan ponselnya. Ekspresinya yang tadinya ceria berubah menjadi kerutan dalam.

"Ya ampun, kalian ini! Ini foto apa? Gunawan, mukamu itu seperti sedang melihat hantu! Dewi, senyummu itu... seperti mau menerkam mangsa! Tidak ada mesra-mesranya sama sekali!"

"Memang begitu, Bu Ida," Dewi mencoba menjelaskan,

"Kami kan baru saja... eh, baru saja baikan setelah tabrakan. Jadi masih canggung."

"Canggung apanya!" Bu Ida menggelengkan kepala.

"Justru itu yang harus dilatih! Kalau begini terus, bagaimana nanti lapak kita tidak dicap sarang kekacauan? Tidak! Tidak bisa dibiarkan!" Ia menatap sekeliling, matanya menyapu kerumunan warga yang sudah mulai melirik-lirik, penasaran dengan drama baru ini.

"Dengar, anak-anak muda," Bu Ida bertolak pinggang, suaranya sedikit meninggi.

"Perjodohan ini bukan cuma soal kalian berdua. Ini soal citra! Soal nama baik lapak! Kalian harus belajar bagaimana caranya terlihat mesra, bahkan kalau di hati kalian sedang perang dunia ketiga!"

Gunawan menelan ludah. Ini akan lebih sulit dari yang ia duga.

"Begini saja," Bu Ida tiba-tiba mendapat ide, matanya berbinar seperti menemukan resep baru.

Ia menunjuk ke arah bangku panjang di tengah-tengah lapak, dekat tumpukan karung bawang yang baru saja diantar. Beberapa pelanggan yang sedang menikmati kopi dan gorengan di dekat sana, langsung menegakkan kuping, siap menyimak drama.

"Kalian berdua duduk di sana! Kita akan lakukan sesi latihan 'Tatapan Cinta'!"

Dewi terkesiap, wajahnya pucat pasi.

"Tatapan Cinta? Bu Ida, ini kan lapak! Banyak orang!"

"Justru itu!" Bu Ida menyeringai lebar.

"Supaya kalian terbiasa dengan sorotan publik! Supaya mental kalian kuat menghadapi cibiran! Ayo, cepat! Love Brigade akan mengawasi setiap gerak-gerik kalian!"

Dengan langkah berat yang terasa seperti menyeret beban seribu gerobak, Gunawan dan Dewi berjalan menuju bangku yang ditunjuk. Setiap langkah terasa seperti di atas panggung besar, di bawah sorotan lampu yang tak terlihat, dengan mata puluhan warga lapak sebagai penonton setia. Bisikan-bisikan mulai terdengar dari para pelanggan, berdesir seperti angin sore.

"Wah, mau ngapain tuh Gunawan sama Dewi?"

"Pasti disuruh mesra-mesraan lagi sama Bu Ida!"

"Sudah kayak drama Korea saja, ya? Tapi ini drama kaki lima!"

"Semoga mereka beneran jatuh cinta, biar lapak kita makin rame!"

Mereka duduk di bangku, berhadapan satu sama lain, lutut hampir bersentuhan. Bu Ida berdiri di depan mereka, seperti pelatih mental yang garang, menancapkan pandangan tajamnya. Bu Marni dan Bu Tuti mengambil posisi di sampingnya, siap menjadi juri yang tak kenal ampun, dengan buku catatan dan pulpen di tangan, seolah sedang menilai lomba tarik suara.

"Oke, aturannya begini," Bu Ida menjelaskan, matanya memancarkan keseriusan yang mutlak.

"Kalian harus saling menatap mata. Tanpa berkedip! Tanpa tertawa! Tanpa mengalihkan pandangan! Minimal... sepuluh detik! Kalau kalian bisa, itu artinya ada benih-benih cinta yang mulai tumbuh di antara kalian!"

Dewi melirik Gunawan, yang kini menatapnya dengan ekspresi kosong, seolah jiwanya sudah terbang entah ke mana.

"Sepuluh detik? Bu Ida, ini konyol! Ini namanya penyiksaan publik!"

"Tidak ada yang konyol dalam cinta, Dewi!" Bu Ida membalas, tak tergoyahkan.

"Ayo! Mulai! Satu... dua... tiga!"

Gunawan dan Dewi saling menatap. Awalnya, ada keheningan yang canggung, tebal seperti adonan kental. Mata Gunawan, yang biasanya lesu dan cenderung menghindar, kini mencoba fokus ke mata Dewi yang tajam dan berapi-api. Dewi, di sisi lain, mencoba menahan diri untuk tidak memutar bola matanya atau mendengus kesal.

Satu detik...

Gunawan menahan napas, paru-parunya terasa penuh. Mata Dewi terlihat lebih besar dari biasanya dari jarak sedekat ini. Ada kilatan api di sana, tapi juga... entah apa. Sebuah bayangan kekhawatiran yang samar? Atau mungkin hanya pantulan cahaya dari wajan seblaknya.

Dua detik...

Dewi mulai merasa tidak nyaman. Ia melihat Gunawan. Pria ini memang selalu terlihat pasrah, tapi ada sesuatu di matanya yang dalam, sesuatu yang sulit ia baca. Ada sedikit kemerahan di pipinya, atau itu hanya pantulan cahaya matahari sore yang menyengat?

Tiga detik...

Gunawan tiba-tiba merasa ingin tertawa. Rasanya absurd sekali. Ia dan Dewi, duduk berhadapan seperti ini, di tengah lapak yang ramai, disuruh saling menatap seperti sepasang kekasih yang baru dimabuk asmara. Ia melihat ada kotoran saus di pipi Dewi yang belum sepenuhnya bersih.

Empat detik...

"Hahaha!" Gunawan tak tahan lagi. Tawa kecilnya meledak, memecah keheningan yang tegang. Dewi sontak memalingkan wajah, menyembunyikan senyumnya yang dipaksakan di balik telapak tangan.

"Kalian ini!" Bu Ida menghela napas panjang, kekecewaannya kentara di setiap tarikan napasnya.

"Baru empat detik! Gunawan, kenapa kamu tertawa?!"

"Aku... aku tadi melihat ada sisa saus seblak di pipinya Dewi, Bu Ida," Gunawan berusaha menahan tawa, bahunya berguncang.

"Jadinya lucu, Bu."

Dewi melotot, matanya menyala.

"Apa?! Kurang ajar kamu! Memangnya kamu pikir rujak bumbumu itu bersih semua, hah? Ada sisa kerupuk di gigimu, tahu! Seperti orang belum makan seminggu!"

"Sudah! Sudah! Jangan berdebat!" Bu Ida menggelengkan kepala, tangannya mengibas di udara.

"Kita ulang! Kali ini lebih serius! Pikirkan kalau kalian itu Romeo dan Juliet! Pasangan paling romantis sepanjang masa!"

"Romeo dan Juliet berakhir tragis, Bu Ida," Dewi membalas, masih cemberut.

"Mati berdua karena salah paham."

"Itu kan karena tidak ada Love Brigade yang mengawasi!" Bu Ida bersikeras, tak mau kalah.

"Ayo, ulang! Fokus! Kali ini, saya hitung sampai lima dulu, baru kalian boleh mulai! Satu... dua... tiga... empat... lima! Mulai!"

Mereka kembali saling menatap. Kali ini, Gunawan mencoba lebih serius. Ia memfokuskan pandangannya ke mata Dewi. Warna hitam pekatnya, bingkai bulu matanya yang lentik, dan sorotnya yang selalu terlihat berapi-api.

Tapi kali ini, di bawah tekanan, ada sedikit kebingungan di sana. Gunawan menyadari, tanpa api amarah yang biasanya membara, mata Dewi terlihat... indah. Ada kedalaman yang tidak pernah ia perhatikan sebelumnya. Seperti dua sumur gelap yang menyembunyikan banyak rahasia, banyak cerita, jauh di balik lapisan pedas dan kerasnya. Sebuah perasaan aneh merayap di dadanya, bukan hanya kepura-puraan demi sandiwara, tapi sesuatu yang lebih hangat, lebih tulus, seperti tetesan madu yang menetes ke dalam bumbu rujak.

Satu detik...

Dua detik...

Dewi melihat Gunawan. Ia berusaha keras tidak tertawa atau memaki. Pria ini, dengan topi capingnya yang miring, wajahnya yang selalu polos, kini menatapnya dengan tatapan yang intens. Tapi ada sesuatu yang berbeda di tatapannya kali ini. Ada semacam... konsentrasi yang aneh.

Atau mungkin, hanya Gunawan yang sedang memikirkan resep bumbu rujak apa lagi yang bisa ia jual.

Tiga detik...

"Kamu... kamu cantik kalau lagi tidak marah, Wi," Gunawan tiba-tiba berbisik, suaranya rendah, tanpa sadar bahwa ia baru saja mengatakan sesuatu yang tulus, bukan bagian dari sandiwara yang mereka sepakati.

Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirnya, seperti peluru yang lepas dari senapan.

Dewi terkesiap. Wajahnya langsung memerah padam, bukan karena malu atau tersipu, tapi karena terkejut yang mendalam. Gunawan tidak pernah mengatakan hal seperti itu. Ia selalu mengolok-oloknya, menyindirnya, atau paling tidak, bersikap acuh tak acuh.

"Apaan sih kamu!" Dewi buru-buru memalingkan wajah, meninju lengan Gunawan pelan, tapi cukup keras untuk membuat Gunawan meringis kesakitan.

"Dasar tukang gombal murahan! Jangan cari kesempatan dalam kesempitan!"

"Gagal lagi!" Bu Ida menghela napas frustrasi, tangannya memijat pelipisnya yang berkerut.

"Kalian ini benar-benar tidak ada bakat romantisnya sama sekali! Bisikan apa itu tadi, Gunawan?! Saya dengar lho!"

"Tidak ada, Bu Ida! Aku cuma... bilang ada lalat di rambutnya Dewi!" Gunawan berbohong secepat kilat, dengan wajah yang kini memerah karena malu.

Dewi melotot, lalu mengibas-ngibaskan tangannya di rambutnya, meskipun ia tahu tidak ada lalat.

"Bohong! Dia tadi... dia tadi bilang..."

"Sudah! Sudah! Cukup!" Bu Ida mengangkat tangan, menghentikan perang kata-kata mereka.

"Saya sudah tidak sanggup melihat drama kalian ini! Warga sudah mulai berbisik-bisik! Ini justru merusak citra lapak, bukan membangunnya!" Ia menatap Gunawan dan Dewi dengan pandangan yang tegas, tidak ada lagi senyum di bibirnya.

"Karena kalian tidak bisa bekerja sama dengan baik dalam hal yang paling mendasar sekalipun, yaitu saling menatap mesra..."

Keheningan menyelimuti lapak, lebih pekat dari kabut pagi. Para pelanggan yang tadinya berbisik-bisik, kini diam seribu bahasa, menantikan putusan akhir dari Love Brigade. Dewi dan Gunawan saling pandang, firasat buruk menyelimuti mereka seperti awan mendung.

"...maka saya putuskan," lanjut Bu Ida, suaranya menggelegar seperti putusan hakim di pengadilan.

"Sebagai hukuman, dan untuk melatih kemesraan kalian secara paksa, besok..."

Jantung Gunawan berdegup kencang, berpacu seperti drum yang dipukul bertalu-talu. Dewi menahan napas, paru-parunya terasa kosong.

"...kalian harus berpegangan tangan di depan umum sepanjang hari. Titik!"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!