Irsyad mendapat tugas sulit menjadikan Bandung Medical Center sebagai rumah sakit pusat trauma di Bandung Timur.
Kondisi rumah sakit yang nyaris bangkrut, sistem yang carut marut dan kurangnya SDM membuat Irsyad harus berjuang ekstra keras menyelesaikan tugasnya.
Belum lagi dia harus berhadapan dengan Handaru, dokter bedah senior yang pernah memiliki sejarah buruk dengannya.
Bersama dengan Emir, Irsyad menjadi garda terdepan menangani pasien di Instalasi Gawat Darurat.
Terkadang mereka harus memilih, antara nyawa pasien atau tunduk dengan sistem yang bobrok.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Talita
“HODAD?”
Aqeel hanya tertawa mendengar sebutan Irsyad untuk Handaru. Pria itu sudah mendapat julukan HODAD dari Irsyad sejak empat tahun yang lalu. Waktu pria itu masih bekerja di rumah sakit ini. Bukan tanpa alasan Irsyad memberinya gelar tersebut. Di tahun itu, Handaru cukup sering kehilangan pasien di meja operasi.
“Kamu masih menyebutnya seperti itu.”
“Itu kenyataan, Om?”
"Hand of Death and Destruction. Apa kamu tidak terlalu kejam memberinya julukan seperti itu?"
"Itu kenyataannya. Dia sudah banyak menghilangkan nyawa dan melakukan kerusakan saat operasi."
“Apa kamu masih menyalahkannya atas kematian Talita?”
Tidak ada jawaban dari Irsyad, pria itu hanya diam seribu bahasa. Namun Aqeel tahu kalau ada hal yang belum tuntas antara Handaru dan Irsyad. Semua karena Talita.
“Handaru itu adalah seorang dokter bedah yang handal. Kamu tahu kalau dia satu angkatan dengan Paman mu, Daffa. Jika Daffa mengambil subspesialis trauma, berbeda dengan Handaru yang mengambil subspesialis digestif. Keduanya adalah dokter hebat di Ibnu Sina dengan spesialis yang berbeda.”
“Ya aku tahu.”
“Karir Handaru bisa dibilang cemerlang. Dia banyak menangani pasien dari kalangan atas dan pejabat. Namun ketika berada di puncak karir, kehidupan rumah tangganya tidak berbanding lurus dengan karirnya. Pernikahannya hancur, istrinya memilih bercerai dan meninggalkannya. Walau tidak mau mengakui, namun itu memberikan pukulan berat padanya. Om sudah menawarkan padanya untuk berkonsultasi dengan psikolog, tapi dia menolak. Dan depresi yang dialami olehnya mempengaruhi kondisi fisiknya. Tangannya kerap bergetar ketika melakukan operasi.”
“Karena hal itu dia banyak kehilangan pasien, termasuk Talita. Dan yang membuat ku kecewa, kenapa pihak rumah sakit menutupi hal itu?”
“Saat itu kepemimpinan rumah sakit dipegang oleh dokter Sumitro. Om tidak tahu ada hubungan apa di antara mereka, tapi yang jelas dokter Sumitro begitu melindungi Handaru.”
“Sebelum dia mengundurkan diri dan pindah dari sini, dia juga kehilangan seorang pasien. Kenapa Om melepaskannya begitu saja?”
“Om tidak punya bukti. Semua kru yang berada di ruang operasi mengatakan hal sama. Lagi pula keluarga pasien menerima kematian pasien dan menolak dilakukan autopsi. Kita tidak bisa apa-apa.”
“Karena itu Om langsung menyetujui pengunduran dirinya?”
“Ya. Dan Om berharap dia bisa kembali ke dirinya yang dulu setelah berada di tempat yang baru.”
“Aku tidak yakin.”
“Om hanya berharap kamu bisa tetap bersikap objektif selama di sana. Hubungan kalian selama ini memang kurang baik. Tapi siapa tahu di tempat baru, kalian bisa bekerja sama dengan baik.”
Walau hatinya sangsi bisa melakukan apa yang dikatakan Aqeel, namun tak ayal kepala Irsyad mengangguk juga. Pria itu segera keluar dari ruangan direktur rumah sakit. Shift-nya hari ini sudah usai. Irsyad bermaksud pulang ke rumah dan mempersiapkan untuk kepindahannya ke BMC lusa.
***
Raungan suara sirine ambulans terdengar memasuki pelataran rumah sakit Ibnu Sina. Mobil itu terus melaju kemudian berhenti di depan pintu IGD. Dua orang dokter dan dua orang suster sudah siap menerima kedatangan pasien.
Dua orang petugas medis menurunkan brankar dari ambulans, kemudian mendorongnya memasuki IGD. Salah satu petugas medis memegang ambu untuk membantu pasien bernafas.
“Pasien wanita berusia 24 tahun mengalami tabrakan di jalan raya. Korban mengalami benturan di dada dan pendarahan di perut. Ada luka terbuka di bagian kaki karena terjepit pintu mobil.”
Petugas medis pria itu terus memberikan informasi tentang pasien yang dibawanya. Mereka mendorong brankar memasuki ruang tindakan satu. Sesuai aba-aba, mereka memindahkan pasien ke ranjang IGD. Emir yang mendengar kabar tentang korban bergegas memasuki ruang tindakan satu.
“Talita,” Emir nampak terkejut. Dia langsung memeriksa keadaan pasien yang bernama Talita tersebut.
“Saturasi oksigennya semakin menurun, dok.”
“Pasien mulai kesulitan bernafas.”
“Lakukan intubasi. Hubungi dokter Irsyad.”
Dengan cepat suster menyiapkan peralatan intubasi. Emir membuka mulut pasien, berusaha memasukkan laringoskop.
“Tidak bisa intubasi, terjadi pembengkakan. Lakukan cricothyroidotomy!”
Emir segera berpindah ke sisi pasien. Dia mengoleskan antiseptik ke leher pasien. Kemudian dengan pelan dia melakukan sayatan pada membran kriktiroid di leher pasien. Ini dilakukan untuk membuat jalan nafas karena tidak bisa melakukan intubasi.
Pelan-pelan Emir memasukkan pipa trakeostomi ke dalam membran kriktiroid. Setelah pipa masuk, pria itu memutar pipa 90 derajat kemudian memasukkan menuju paru-paru. Setelah pipa terpasang, suster segera meniup balon selang trakeostomi setelah itu menyambungkan selang ke ventilator.
Setelah berhasil membantu pernafasan pada Talita, Emir memeriksa kondisi perut wanita itu. dia menekan pelan bagian perut wanita itu.
“Bagian ini terasa keras, pasti terjadi pendarahan internal.”
Mendengar kabar tentang Talita, Irsyad berlari cepat menuju IGD. Talita adalah calon istri Irsyad. Keduanya telah melakukan pertunangan sebulan yang lalu. Sedianya dua bulan ke depan mereka akan melangusngkan pernikahan.
“Bagaimana keadaannya?” tanya Irsyad sesampainya di ruang tindakan.
“Buruk. Kami baru saja melakukan rontgen. Bagian dadanya mengalami pneumothorax. Perutnya mengalami pendarahan internal, belum lagi robekan di bagian betis. Dia harus segera menjalani operasi.”
“Aku akan menghubungi orang tuanya.”
Irsyad keluar dari ruang tindakan kemudian menghubungi kedua orang Talita. Keduanya tentu saja terkejut mendengar kabar kecelakaan sang anak. Irsyad menerangkan kondisi Talita yang membutuhkan tindakan operasi sesegera mungkin.
“Kamu bisa mewakili kami sebagai walinya. Kami mengijinkan dia menjalani operasi,” putus Ayah Talita.
“Baik, Om.”
Tanpa menunggu lama, Irsyad segera menandatangani lembar persetujuan operasi. Dia meminta suster segera menghubungi ruang operasi dan dokter anestesi.
“Hubungi dokter Daffa.”
“Dokter Daffa sedang berada di ruang operasi.”
“Berapa lama lagi operasinya?”
“Dokter Daffa baru masuk sekitar dua puluh menit.”
“Kalau begitu hubungi dokter Farzan.”
“Dokter Farzan terjebak kemacetan. Jaraknya masih cukup jauh dari rumah sakit.”
“Siapa dokter yang standby?”
“Dokter Handaru.”
“Kalau begitu aku sendiri yang akan mengoperasi.”
Mendengar nama Handaru, Irsyad memilih mengoperasi sendiri Talita. Dia segera memerintahkan Emir membawa Talita untuk dilakukan pindai CT kemudian dibawa ke ruang operasi. Dua orang perawat segera mendorong ranjang Talita.
“Abang ngga bisa masuk ke ruang operasi.”
Emir berusaha mencegah Irsyad masuk ke ruang operasi. Seorang dokter bedah yang memiliki kedekatan atau hubungan dengan pasien memang dianjurkan tidak melakukan operasi. Dikhawatirkan dokter mengalami penilaian subjektif ketika operasi berlangsung. Selain itu juga dikhawatirkan akan mengganggu konsentrasi sang dokter.
“Hanya ada dokter Handaru yang tersisa. Aku tidak bisa menyerahkan Talita padanya.”
“Dokter Handaru adalah dokter yang hebat. Aku yakin dia bisa menyelamatkan Talita.”
Emir berusaha mencegah Irsyad ke ruang operasi. Bagaimana pun juga kondisi mental Kakak sepupunya sedang tidak baik-baik saja. Dikhawatirkan hal tersebut mengganggu konsentrasi dokter bedah itu dan sulit mengambil keputusan di saat genting.
Di tengah perdebatan kedua dokter muda itu, Handaru muncul disusul oleh Aqeel. Dokter bedah anak itu segera menenangkan keponakannya.
“Biar dokter Handaru yang mengoperasinya.”
“Tapi aku tetap mau masuk ke ruang operasi.”
“Irsyad, percayakan semuanya pada dokter Handaru.”
“Aku bisa mengatasi ini. Percayalah, aku akan menyelamatkan tunangan mu.”
Bergegas Handaru memasuki ruang operasi. Seorang dokter residen tahun ketiga turut mendampingi dokter bedah digestif tersebut. Irsyad memasuki ruang lain, di mana dia bisa mengawasi jalannya operasi. Emir terus mendampingi Kakak sepupunya itu.
Operasi baru berjalan selama satu jam ketika Arini, dokter bedah tulang memasuki ruang operasi. Dokter tersebut akan menangani luka di bagian kaki Talita. Dokter itu terdiam sejenak melihat Handaru yang tengah menggerak-gerakkan tangannya. dia menutup dan membuka tangannya beberapa kali. Handaru berusaha menghentikan getaran di tangannya yang tiba-tiba muncul.
“Dokter Handaru, kamu tidak apa-apa?”
“Ya. Kami masih mengatasi organ dalamnya, tapi anda bisa memulai menangani kakinya.”
Handaru melanjutkan kembali pekerjaannya. Dari ruang lain, Irsyad terus mengawasi dengan perasaan cemas. Baru saja Handaru hendak menjahit luka robekan, tiba-tiba darah keluar dari salah satu kapiler atau pembuluh darah kecil di dekat lambung.
***
Waduh🫣
yg ada pasien bedah kecantikan malah jadi pasien bedah jantung n jadi pasien kejiwaan gegara liat pasien lain yg masuk IGD dengan kondisinya beneran gawat n darurat juga bikin yg liat stress 😂😂