"Apakah kamu sudah menikah?" tanya Wira, teman satu kantor Binar. Seketika pertanyaan itu membuatnya terdiam beberapa saat. Di sana ada suaminya, Tama. Tama hanya terdiam sambil menikmati minumannya.
"Suamiku sudah meninggal," jawab Binar dengan santainya. Seketika Tama menatap lurus ke arah Binar. Tidak menyangka jika wanita itu akan mengatakan hal demikian, tapi tidak ada protes darinya. Dia tetap tenang meskipun dinyatakan meninggal oleh Binar, yang masih berstatus istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Akikaze, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesta Pernikahan
Suasana pesta yang meriah sudah terasa dari luar, lampu dan juga bunga mewarnai pesta tersebut. Binar masuk ke ballroom tempat diselenggarakan pesta pernikahan antara Tama dan Helena. Perasaannya campur aduk, beberapa kali dia menghela nafas panjang, menenangkan dirinya.
Binar berjalan di samping Aksa yang malam ini nampak lebih tampan dari biasanya, meskipun hampir setiap harinya laki-laki itu mengenakan jas di kantor, tapi malam ini nampak ada yang berbeda, tapi Binar tidak bisa mendefinisikannya.
Beberapa kali dia berhenti dan menyapa para tamu yang dia kenal, Binar hanya melihat sekilas kemudian dia menepi. Menunggu Aksa, hanya Aksa yang seolah menjadi tamengnya malam ini. Sementara Putra sudah menghilang entah kemana.
"Ayo kita memberi selamat dulu untuk kedua mempelai." ajak Aksa, Binar mengangguk, tangannya menggenggam cluth bagnya semakin erat, bukan takut jatuh. Hal itu dilakukan semata-mata agar hatinya menjadi lebih tenang.
Perlahan Binar menapaki anak tangga menuju kedua mempelai yang tanpa pendamping kedua orang tua, di mana biasanya resepsi dilakukan. Aksa bersalaman terlebih dahulu, mengucapkan selamat pada Tama dan juga Helena dengan wajah sumringah. Tama tersenyum menerima ucapan dari bosnya itu, begitu juga Helena.
Tiba saat Binar menatap Tama, mengulurkan tangannya dengan mantap.
"Selamat, ya Pak Tama atas pernikahannya," suara Binar sangat tegar, tidak nampak dia ragu sedikitpun mengucapkannya. Ada keberanian yang tidak dia duga, ternyata dia semampu ini. Mendengar ucapan selamat dari Binar, sang mantan istrinya yang baru dua bulan itu. Tama tersenyum kikuk, namun mencoba netral. Berbeda dengan Helena, wanita itu nampak puas, merasa menang mendapatkan Tama.
Meskipun hamil, perutnya masih rata dan sangat meyakinkan para tamu jika Helena tidak sedang mengandung saat ini.
Aksa sudah menuruni panggung, disusul Binar dengan langkah tegarnya, lalu melengkungkan senyum di bibirnya. Kembali dia melihat Aksa sedang berbincang dengan kolega yang juga turut hadir sebagai tamu di sini. Binar menepi, mencari kenyamanan di tempat yang sama sekali tidak membuatnya nyaman ini. Dari tempat ini, dia menatap Tama dan Helena di atas sana, sedang tersenyum bahagia mendapatkan banyak ucapan. Ingatannya kembali ke satu tahun yang lalu, saat pernikahannya dengan Aksa. Meskpiun tidak semewah ini, namun dia pernah merasakan bahagia bersama Aksa kala itu.
Binar sama sekali tidak ingin memakan apapun, perlahan dia menarik dirinya dan keluar dari ballroom, sambil menunggu Aksa muncul dari pesta.
Binar berdiri dan menatap hilir mudik tamu yang hadir.
***
Putra berbisik pada Aksa yang masih berbincang dengan seorang laki-laki setengah baya, nampak sesekali mereka tertawa sebelum Putra membisikkan sesuatu.
"Hah?" mata Aksa sedikit membulat karena rasa terkejutnya. Lalu dia pamit pada laki-laki setengah baya itu. "Dia di mana?" Aksa nampak gugup, langkahnnya lebih cepat dari biasanya, mencari yang dimaksud. Putra mengekor. Mereka keluar dari ballroom.
Dilihatnya Binar berdiri tak jauh dari depan ballroom, Aksa meneguk salivanya, tenggorokannya terasa sakit saat melihat wanita itu tengah berdiri seolah tidak ada tujuan. Apa yang sedang dia rasakan, dan betapa jahatnya orang di sekitarnya saat ini. Termasuk dirinya.
Aksa berdiri tepat di hadapan Binar, wanita itu menatapnya sambil melengkungkan senyum. Semakin melihat senyum Binar, semakin sakit juga rasanya.
"Pak Tama adalah mantan suami mbak Binar," itulah bisikan dari Putra.
Bagaimana bisa? bagaimana bisa dia menjalani hari-hari beratnya selama ini? meskipun belum lama mengenal Binar, tapi dia bisa melihat tatapan sendu itu, awalnya masih tidak mengetahui apapun tentang kesenduan itu. Kini dia tahu jawabannya.
Di saat seperti ini dia masih bisa senyum, senyum secantik itu. Binar mengusap lengannya, dia lupa sudah agak lama berdiri di luar dengan angin malam yang menyapu kulitnya yang lembut itu. Aksa melepas jasnya dan memakaikannya untuk Binar.
"Tidak usah pak," Binar muncur beberapa langkah agar Aksa tidak menyelimuti dirinya, Binar melihat keadaan sekitar.
"Kita pulang," Aksa tetap menyelimuti Binar dengan jasnya dan berharap agar mereka segera meninggalkan tempat ini. Binar terdiam saat jas itu mendarat di bahunya, bukan karena hangatnya. Akan tetapi karena Aksa melakukannya dengan tidak banyak bicara. Keputusan Aksa mutlak, tidak memberikan ruang pada Binar untuk menolaknya.
"Pak Aksa..." ucap Binar pelan, tidak benar-benar menolak, namun dia juga tidak tahu bagaimana cara menerima kebaikan Aksa yang sudah berkali-kali menolongnya. Kali ini dia semakin merasa bahwa Aksa memang sengaja berada di sampingnya untuk menolongnya.
"Kita pulang," ulang Aksa dengan lebih tegas, tatapannya meminta Binar untuk nurut, tidak banyak berargumen. "Maaf, tempat ini adalah tempat yang salah untuk kamu," imbunya. Binar terdiam beberapa saat, lalu dia menurut. Masuk ke dalam mobil. Putra yang melihat semuanya merasa tak enak hati, kenapa dia membeberkan fakta yang sebenarnya terjadi. Tapi Aksa tidak menyesal mengetahuinya, justru inilah jawaban dari apa yang mengganjal di hatinya tentang wanita sendu itu. Menyesal sudah membiarkan Binar melangkah sendirian menghadapi luka-lukanya, terlebih kejadian hari ini.
"Bapak jangan khawatir, saya keluar karena agak sedikit pusing dengan banyaknya orang di dalam tadi, saya ingin menghirup udara lebih banyak," Binar masih bisa tersenyum. Mobil perlahan berjalan meninggalkan area pesta ini.
Aksa menatap Binar dari vision mirror, nampak Binar dengan senyumnya seolah tidak terjadi apapun dalah hidupnya, senyumnya masih sama seperti yang tadi.
"Pusing karena banyak orang?" Aksa kembali memastikan.
Binar mengangguk kecil, "Iya pak, tapi nanti juga baikan kok, tidak masalah," Binar memang pandai menutupi. Aksa mengalihkan pandangannya kembali ke jalan, pantulan lampu-lampu jalan ikut memeriahkan kilauan cahaya malam ini. Binar duduk diam di bangkunya dengan jari-jari mencengkeram cluth bagnya hingga meninggalkan jejak kukunya di sana. Menahan sesuatu yang tidak bisa dia ungkapkan.
Binar terdiam, pandangannya beralih ke luar jendela, seolah mencari sesuatu di jalan yang tengah dia lalui sekarang. Tapi matanya berkaca-kaca, samar dan tertahan.
Aksa melihat semua dari pantulan kaca, ada sesuatu di dadanya yang mengencang, dia marah pada keadaan. Mungkin Tama dan juga Helena , pada dirinya sendiri.
Mobil terus melaju meninggalkan gedung mewah itu, meninggalkan denting gelas para tamu yang tengah berpesta, meninggalkan dua mempelai yang tengah berbahagia hari ini. Meninggal tawa dan senyum yang membuat dada Binar terasa sesak dibuatnya. Semakin jauh mereka pergi, semakin jelas bagi Aksa bahwa Binar tidak seharusnya menghadapi ini sendirian. Ada rasa bersalah di dadanya, mengapa selama ini dia tidak tahu jika yang membuat luka Binar berada di depan matanya. Dan dia merasa menjadi andil.