Apollo Axelion Dragunov, seorang mafia berhati batu dan kejam, tak pernah percaya pada cinta apalagi pernikahan. Namun hidupnya jungkir balik ketika neneknya memperkenalkan Lyora Alexandra Dimitriv, gadis polos yang tampak ceroboh, bodoh, dan sama sekali bukan tipe wanita mafia.
Pernikahan mereka berjalan dingin. Apollo menganggap Lyora hanya beban, istri idiot yang tak bisa apa-apa. Tapi di balik senyum lugu dan tingkah konyolnya, Lyora menyimpan rahasia kelam. Identitas yang tak seorang pun tahu.
Ketika musuh menyerang keluarga Dragunov, Apollo menyaksikan sendiri bagaimana istrinya berdiri di garis depan, memegang senjata dengan tatapan tajam seorang pemimpin.
Istri yang dulu ia hina… kini menjadi ratu mafia yang ditakuti sekaligus dicintai.
❝ Apakah Apollo mampu menerima kenyataan bahwa istrinya bukan sekadar boneka polos, melainkan pewaris singgasana gelap? Atau justru cinta mereka akan hancur oleh rahasia yang terungkap? ❞
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aruna Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Malam itu, langit Moskow dipenuhi kabut tipis. Mansion Dragunov berdiri dengan megah dan dingin, bagai kastil dari abad lain. tembok tinggi, jendela kaca berbingkai besi, dan lorong-lorong panjang yang bergema oleh langkah kaki para penjaga bersenjata.
Apollo duduk di kursi empuk berbalut kulit hitam di dalam kamarnya. Kamar itu luas, nyaris sebesar aula kecil, dengan dominasi warna merah darah dan hitam. Tirai beludru menjuntai berat, lukisan perang menghiasi dinding, dan aroma pahit dari cerutu memenuhi udara.
Di sana, sang naga mafia sedang setengah telanjang dada, hanya mengenakan celana panjang hitam. Tubuhnya penuh guratan luka lama , jejak peperang an, pengkhianatan, dan hidup yang dipenuhi darah.
Matanya tertutup, kepalanya bersandar ke kursi. Asap cerutu yang dia hembuskan membentuk kabut samar, menutup sebagian wajahnya yang keras.
Sejenak ia terlihat damai, tapi itu hanyalah ilusi sebuah topeng yang sewaktu-waktu bisa pecah menjadi amukan. Lalu… tiba tiba terdengar suara langkah kecil . Ringan, ragu-ragu, tapi cukup jelas untuk menembus keheningan kamar itu.
Alis Apollo berkerut. Siapa yang berani masuk ke dalam kamar ku? batinnya, penuh kemarahan .Perlahan ia membuka mata. Dan di sana, berdiri sosok yang sama sekali tak pernah ia bayangkan.
Lyora. Gadis itu kini sudah berganti pakaian, gaun sederhana berwarna krem, rambutnya dikepang dua, seperti anak kecil yang hendak pergi ke sekolah dasar. Wajahnya tampak polos, matanya berbinar, sama sekali tak menyadari bahaya yang mengelilinginya.
Apollo menahan napas. Bukan karena terpesona, melainkan karena tidak percaya .Dan keterkejutan itu makin menjadi ketika ia mendapati Lyora tengah berlutut di samping ranjang hitam besar miliknya. Boneka kelinci lusuh sudah berganti dengan sesuatu yang lebih aneh lagi
sebuah boneka kayu beranak, matryoshka, yang jika dibuka selalu menyimpan boneka lebih kecil di dalamnya.
Dengan hati-hati, Lyora menjejerkan boneka -boneka itu di atas ranjang Apollo, seperti anak kecil yang tengah bermain rumah- rumahan.
Apollo terdiam. Tangannya mengeras di sandaran kursi, seolah menahan diri untuk tidak langsung menodongkan pistol.Gadis ini sudah gila? pikirnya.
Rasa marah dan heran bercampur jadi satu.Bagaimana bisa?. Kamar seorang Dragunov bukan tempat bermain. Itu wilayah paling sakral,dan paling terlarang untuk dimasuki. bahkan banyak anggota keluarga pun tak pernah diizinkan masuk tanpa izin.
Apollo berdiri dari kursinya, langkahnya berat menghampiri Lyora. Tubuhnya yang kekar menutupi hampir seluruh cahaya lampu, membuat bayangan nya membesar di dinding.
Lyora terhenti, boneka di tangannya seolah menjadi benda asing, dan menoleh dengan hati-hati.Di hadapannya, wajah sang naga mafia tampak dingin dan menakutkan, mata nya menyala penuh amarah.“Keluar dari kamarku. Sekarang juga !.”
Suaranya rendah, bergemuruh, seperti janji dan ancaman yang tak terbantahkan.Namun Lyora hanya mengangkat wajahnya, tersenyum kecil, dan mengedip seperti anak yang dimarahi orang tua.“Apa salahku?. Aku hanya ingin menunggumu tidur,” katanya dengan polos
Apollo mendekat, tubuhnya semakin menjulang tinggi. Dengan kasar ia meraih pergelangan tangan mungil itu, menariknya berdiri. Lyora memekik kecil, tubuhnya limbung seperti boneka kain. “Aku bilang keluar!” geram Apollo, suaranya bergaung ke dinding.
Namun Lyora, dengan kepolosan yang sama, hanya menjawab lirih, “Emmh, tapi Nenek yang menyuruh ku masuk ke kamar ini. Katanya ini akan jadi kamar ku juga.” Kata-kata itu menghantam Apollo lebih keras daripada peluru. Wajahnya menegang. Urat-urat di lehernya menonjol. Nenek .!
Jika saja wanita tua itu bukan neneknya, satu-satu nya orang yang ia hormati dalam keluarga. maka malam ini pasti sudah ada pertumpahan darah.
Apollo menarik napas tajam, menyeret Lyora keluar kamar. Tubuh gadis itu ringan, seperti tak punya perlawanan. Dia hanya menoleh, sesekali melirik boneka-boneka yang tertinggal di atas ranjang.
Saat pintu terbuka, dua maid yang sedang berjaga di lorong terperanjat. Raut muka mereka pucat, panik, mata membesar saat melihat Lyora digiring paksa keluar. “M-Maaf, Tuan!” salah satu dari mereka langsung membungkuk dalam-dalam. “Ini kesalahan kami. Mungkin Nona Lyora salah masuk kamar.”
" Benar, Tuan, kami mohon ampun,” maid satunya ikut menunduk, tubuhnya bergetar ketakutan. Mereka tahu, sekali saja Apollo murka, nyawa mereka tak ada harganya.
Apollo menatap mereka dengan dingin. Tangannya masih mencengkeram lengan Lyora, membuat kulit pucat itu memerah
.“Salah masuk kamar?” suaranya begitu rendah, namun mengandung amarah. “Tak ada seorang pun yang salah masuk ke kamar ku.”
Maid itu hampir menangis, mulutnya terbata, “A-ampun, Tuan…”
Apollo akhirnya melepaskan tangan Lyora, mendoro ngnya pelan ke arah kedua maid. Tatapannya penuh peringatan.
“Jaga dia. Jangan biarkan ia mendekati kamarku lagi. Sekali saja aku menemukannya di dalam, kalian berdua akan menanggung akibatnya.”
Kedua maid langsung menunduk semakin dalam, nyaris mencium lantai. “Baik, Tuan!”
Dan Lyora, alih-alih ketakutan, malah mengusap pergelangan tangannya yang merah lalu tersenyum tipis.“Kau kasar sekali, tapi tanganku jadi hangat sekarang,” ucapnya, polos.
Apollo menatapnya dengan tatapan yang bisa membekukan darah. Tanpa kata lain, ia membanting pintu kamarnya, meninggalkan mereka di lorong.Namun saat ia kembali ke kursinya, pandang an Apollo tertuju ke ranjangnya.
Boneka -boneka kecil itu masih berjejer rapi di atas seprai hitam. Ia mengernyit, tapi entah kenapa, pemandangan itu menolak untuk hilang dari kepala nya.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, seorang gadis membuatnya kehilangan kendali. Tidak dengan senjata, tidak dengan siasat, tapi dengan kepolosan yang terasa seperti penghinaan.Apollo menghembuskan asap cerutu, menutup matanya.
Namun semakin ia mencoba melupakan, semakin jelas bayangan wajah Lyora terpatri di benaknya , senyum naif, mata berbinar, dan kata-katanya yang sederhana.Katanya ini akan jadi kamarku juga
Apollo menggeram, menghantam meja kecil di samping kursinya hingga gelas kristal pecah.Namun bahkan rasa marah itu pun tidak mampu mengusir kenyataan:
Sejak malam pertama, keberadaan Lyora sudah mulai mengganggu keseimbangan nya.
...****************...
Pagi itu, suasana di Mansion tidak berbeda dengan biasanya. Aroma kopi pahit memenuhi aula besar, suara sendok beradu dengan cangkir porselen yang bergema samar.
Para eksekutif keluarga duduk rapi di meja panjang yang mewah,mereka bukan sekadar bawahan, melainkan pria-pria yang memega ng kendali jaringan senjata, narkotika, dan perdagang an gelap di seluruh Eropa Timur.
Apollo duduk di ujung meja, kursinya menjulang lebih tinggi daripada yang lain, bagaikan singgasana. Jas hitamnya sempurna, wajahnya dingin, seolah semalam tak pernah ada insiden gadis polos masuk ke kamarnya.
Para eksekutif bicara soal jalur penyelundup an baru, angka keuntungan, hingga penindasan pesaing. Semuanya berjalan normal, sampai ...sesuatu yang tidak normal terjadi.
Di tengah meja rapat, entah bagaimana ceritanya, muncul boneka kelinci lusuh. Tepat di antara tumpukan dokumen strategi dan vas bunga kristal.
Beberapa eksekutif menatap bingung, saling melirik. Ada yang menahan tawa gugup, ada pula yang menunduk dalam-dalam, tidak berani mengangkat muka.Apollo menyipitkan mata. Rahangnya mengeras. Ia tahu persis siapa pemilik boneka itu.Dan firasatnya terbukti ketika pintu besar ruang rapat terbuka.
Lyora masuk, didampingi dua maid yang wajahnya pucat pasi, seperti hendak dieksekusi.Gadis itu berjalan ringan, matanya berbinar. Rambut nya masih dikepang dua, gaun putih sederhana menghiasi tubuh mungilnya.
Namun yang membuat seluruh ruangan membeku adalah kalimat pertama yang keluar dari bibirnya.
“Sayang~!” panggil Lyora dengan nada ceria, langsung menuju kursi Apollo.Detik itu juga, semua kepala menoleh. Para eksekutif tua, muda, botak, berjanggut semua terbelalak.
Mereka terdiam ingin tertawa, ingin bergosip, ingin melontarkan komentar, tapi tidak ada seorang pun yang berani mengeluarkan suara. Tatapan memati kan Apollo cukup membuat mereka lebih kaku daripada patung marmer di sudut ruangan.
“Siapa wanita idiot itu?” terdengar bisikan lirih salah satu eksekutif muda.Namun sebelum Apollo sempat bereaksi, Lyora sudah menjawab lantang.
“Kata Nenek, aku calon istrinya Apollo!” Kalimat itu menghantam ruangan lebih keras daripada bom. Eksekutif yang baru saja berbisik mendadak pucat pasi. Seluruh meja seakan membeku.
Bahkan jam antik di dinding terdengar berhenti berdetak, vas bunga besar di ujung meja terjatuh, pecah berantakan.
Apollo? Wajahnya merah padam, urat di lehernya menegang. Tangannya menghantam meja, mem buat cangkir-cangkir bergetar.“Gadis idiot ini!” desisnya.
Dalam sekejap, ia berdiri, kursinya terhempas ke belakang. Semua orang terdiam. Apollo menyeret Lyora keluar ruangan tanpa memberi kesempatan siapa pun untuk bicara.
“KAU berani sekali !” raung nya begitu keluar dari ruang rapat, suaranya menggema di seluruh lorong.
Lyora hanya tersenyum kikuk, “Aku cuma bilang yang sebenarnya…”
Apollo mendesis tajam, matanya membara. Ia menoleh ke arah dua maid yang ikut berjalan di belakang, tubuh mereka gemetar hebat.“KALIAN berdua!” bentaknya, suaranya bagai cambuk.
“Bawa gadis idiot ini pergi dari sini. Ikat dia dengan rantai, lempar ke kandang Balthor! Aku tidak peduli jika dia menjadi santapan singa itu. Dia sudah melampaui batas!”
Kedua maid itu hampir pingsan mendengar perintah itu. Mereka tahu siapa Balthor, singa buas yang hanya tunduk pada Apollo, pemangsa tanpa belas kasihan.“Tu-Tuan…” salah satu mencoba bernego siasi, tapi tatapan Apollo membuatnya langsung membungkam.
Sementara Lyora hanya mengedip polos.“Hmm?” gumamnya, seperti tidak mengerti bahwa nyawanya sedang dipertaruhkan.Apollo menatapnya tanpa belas kasihan. Ia benar-benar serius.
Tak lama kemudian, rantai besi sudah melingkar di pergelangan tangan dan kaki Lyora. Dua maid itu menyeret tubuh mungil nya menuju halaman belakang mansion, tempat kandang besar berjeruji baja berdiri kokoh.
Suara geraman rendah terdengar dari dalam kandang, membuat udara malam terasa semakin pekat.Balthor, singa jantan besar dengan surai keemasan, mata kuningnya menyala dalam kegelapan.
Hewan buas yang hanya tunduk kepada Apollo itu sudah merobek lebih banyak daging manusia daripada hewan dari yang bisa dihitung.
Pintu kandang dibuka, Lyora yang masih terikat rantai didorong masuk. Para pengawal berjaga dari jauh, menahan napas, menanti pemandangan berdarah.
Apollo berdiri beberapa meter dari sana, tangannya terlipat, wajahnya dingin. Ia ingin memberi pelajaran . Ia ingin membuat gadis polos itu mengerti bahwa Dragunov bukan tempat untuk bermain boneka.
Namun , yang terjadi jauh dari perkiraannya.Balthor tidak menerkam. Tidak mengaum. Tidak menunjuk kan gigi tajamnya.
Sebaliknya, singa raksasa itu hanya berjalan pelan mengitari Lyora. Sesekali mendekat, mengendus, lalu mundur kembali. Lyora duduk santai di tanah, bahkan sempat mengusap surai singa itu dengan tangan mungilnya.“Lembut sekali, mirip bulu kelinciku,” katanya sambil tersenyum.
Apollo menyipitkan mata. Dadanya bergetar dengan amarah dan keterkejutan sekaligus. Apa-apaan ini?
***///***