Apollo Axelion Dragunov, seorang mafia berhati batu dan kejam, tak pernah percaya pada cinta apalagi pernikahan. Namun hidupnya jungkir balik ketika neneknya memperkenalkan Lyora Alexandra Dimitriv, gadis polos yang tampak ceroboh, bodoh, dan sama sekali bukan tipe wanita mafia.
Pernikahan mereka berjalan dingin. Apollo menganggap Lyora hanya beban, istri idiot yang tak bisa apa-apa. Tapi di balik senyum lugu dan tingkah konyolnya, Lyora menyimpan rahasia kelam. Identitas yang tak seorang pun tahu.
Ketika musuh menyerang keluarga Dragunov, Apollo menyaksikan sendiri bagaimana istrinya berdiri di garis depan, memegang senjata dengan tatapan tajam seorang pemimpin.
Istri yang dulu ia hina… kini menjadi ratu mafia yang ditakuti sekaligus dicintai.
❝ Apakah Apollo mampu menerima kenyataan bahwa istrinya bukan sekadar boneka polos, melainkan pewaris singgasana gelap? Atau justru cinta mereka akan hancur oleh rahasia yang terungkap? ❞
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aruna Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Langit pagi berubah kelabu ketika lift pribadi Apollo terbuka ke lantai tertinggi Dragunov Industries. Langkah lelaki itu terdengar berat namun teratur, sepatu hitamnya memantul di lantai marmer. Para karyawan otomatis menunduk, bukan karena sopan, tapi karena aura pemimpin mereka terlalu menekan untuk ditatap lama-lama.
Apollo berjalan lurus menuju ruangannya tanpa menoleh. Setelan hitamnya rapi sempurna, wajahnya setajam ukiran batu, tanpa sedikit pun emosi kecuali dingin yang membungkus seluruh dirinya. Begitu pintu ruangannya tertutup, lelaki itu melepas sarung tangan dan melemparkannya ke meja, lalu berdiri menghadap jendela tinggi yang menampilkan pemandangan kota St. Petersburg.
“Calon istri…?” gumamnya rendah, nada suaranya hampir seperti lolongan binatang terluka yang ditahan bertahun-tahun. “Nenek benar-benar melakukan hal ini.”
Tangan Apollo mengepal. Visual itu, wanita yang dibawa Elira ke mansion semalam, wanita yang menunduk tenang di hadapan nya, wanita yang berani memanggil namanya tanpa gentar masih mengganggu pikirannya. Lyora Alexandra Dimitrif. Calon istri yang sama sekali tidak ia pilih.
Apollo membalikkan tubuh dan menyalakan layar panel digital di meja. Deret laporan keuangan, rancangan proyek senjata, dan proposal internasional muncul satu per satu. Lelaki itu menggeser semuanya dengan cepat, seakan pekerjaan tak ada artinya dibanding amarah yang menggelegak di dadanya.
“Tidak ada perempuan masuk ke hidupku lagi. Tidak setelah yang terjadi lima tahun lalu,” desisnya.
Pintu diketuk. Johan masuk dengan tablet di tangan. “Tuan, Dewan ingin membahas perjanjian—”
“Batalkan,” potong Apollo tanpa menoleh. “Dan beritahu Nenek: aku tidak menerima pernikahan itu. Tidak hari ini, tidak besok, tidak selamanya.”
Johan menelan ludah. “Tapi Nyonya Elira bersikeras—”
“Aku tidak peduli.” Apollo memijit pelipisnya, suaranya turun satu oktaf. “Wanita itu, Lyora harus keluar dari mansion hari ini juga. Kalau tidak, aku sendiri yang akan menempatkan nya di luar pagar.”
Johan terdiam, untuk sesaat menimbang keberanian berkata jujur. “Tapi Tuan… terlihat jelas tadi malam. Nyonya Lyora bukan tipe perempuan yang mudah diusir.”
Apollo menatapnya. Tajam. Tak tersentuh.
“Semua orang bisa diusir,” katanya dingin. “Aku sudah melakukannya sekali. Aku bisa melakukannya lagi.”
Namun di balik ketegasan itu, ada jeda sekecil helaan napas nyaris tak terdengar. Seolah nama Lyora membuat retakan samar di tembok kebencian yang selama ini ia bangun. Johan pergi tanpa berkata apa-apa. Setelah pintu tertutup, ruangan kembali sunyi. Apollo menatap pantulan dirinya di jendela.
“Cinta sudah mati,” bisiknya pada bayangan sendiri. “Dan tidak ada seorang pun yang akan memaksaku menghidupkannya kembali.”
Tapi jauh di dalam hatinya, satu hal kecil mengusik. Mata tenang gadis itu. Sorot teduh yang seperti mengenalnya. Dengung lembut suaranya. Sikapnya yang tidak gentar di hadapan amarah Dragunov.
Seolah ia adalah seseorang yang bukan asing bagi Apollo. Apollo menggeleng, menepis pikirannya sendiri. “Tidak penting,” katanya, lalu mengambil jasnya. “Dia akan pergi. Semua ini akan selesai.”
***Ruang rapat lantai 89 Dragunov Industries dipenuhi anggota dewan, analis, serta kepala divisi. Lampu putih menyorot meja oval besar, sementara layar holografik menampilkan grafik proyek senjata baru yang sedang dievaluasi. Semua orang berbicara pelan, menunggu kedatangan pemimpin mereka.
Pintu otomatis terbuka. Apollo masuk seperti badai yang dibungkus jas hitam. Tanpa bicara, ia berjalan ke ujung meja dan duduk. Suasana langsung sunyi. Semua mata yang sebelumnya sibuk dengan data kini mengarah padanya, sebagian dengan rasa takut, sebagian dengan kewaspadaan.
“Mulai,” katanya singkat.
Johan menyalakan presentasi, suaranya sedikit bergetar. “Tuan, kita mulai dari laporan keamanan jalur distribusi. Unit 04 menemukan—”
“Aku sudah membaca berkasnya,” potong Apollo tanpa mengangkat kepala. “Langsung ke masalah inti.”
Johan berganti slide. “Baik. Ada indikasi kelompok baru yang mencoba masuk ke pasar Timur. Mereka—”
“Mereka hanya berani karena kita terlalu lunak,” sahut Apollo. Suaranya rendah, stabil, namun cukup membuat kepala divisi keamanan berkeringat. “Mulai malam ini, tingkatkan keamanan. Siapkan tim bayangan kedua. Aku ingin daftar lengkap semua celah dalam dua belas jam.”
Kepala divisi mengangguk cepat. “Baik, Tuan.”
Rapat berlanjut. Apollo memberikan instruksi tajam, efektif, tanpa ruang untuk kesalahan. Namun semua orang merasa ada sesuatu yang berbeda hari ini , ketegangan tipis di wajah pemimpin mereka, seperti ada badai lain yang berkecamuk di belakang matanya.
Dan benar saja, ketika pembahasan beralih ke rencana jangka panjang perusahaan, salah satu anggota dewan dengan hati-hati mempertanyakan isu baru:
“Tuan Apollo… terkait pengumuman Nyonya Elira mengenai pernikahan keluarga, apakah itu akan mempengaruhi—”
Apollo menghentikan stylusnya. Ia menatap lelaki itu dengan dingin yang membuat ruangan terasa lebih kecil.
“Tidak ada pernikahan.” Nada suaranya tanpa jeda, tanpa getaran. “Dan tidak ada pembahasan mengenai itu di ruangan ini.”
Anggota dewan itu menunduk. “T-Tentu, Tuan.”
Apollo bersandar sedikit. “Kalau ada yang berani menghubungkan urusan pribadi dengan rapat ini, keluarkan dia dari perusahaan. Permanen.”
Keheningan menegang. Semua orang memilih fokus pada layar. Rapat dilanjutkan, namun banyak yang mencuri pandang, mencoba memahami apa yang bisa membuat Apollo Dragunov terlihat lebih dingin dari biasanya.
Setelah dua jam, rapat selesai. Semua orang berdiri ketika Apollo bangkit. Ia merapikan jasnya lalu berjalan menuju pintu, namun sebelum keluar, ia berkata tanpa menoleh:
“Persiapkan ruang rapat kecil. Ada seseorang yang harus kutemui.”
Johan meneguk ludah. “Siapa, Tuan?”
Apollo berhenti sejenak. Tidak melihat ke belakang, hanya melemparkan satu kata yang membuat suasana kembali membeku.
“…Lyora.” jawab Apollo dengan suara rendah.
Lalu pintu tertutup di belakangnya.
Ruang rapat kecil di lantai 82 itu sunyi. Lampu nya lebih redup dari ruang rapat utama, hanya sebuah meja panjang kaca hitam dan dua kursi yang saling berhadapan. Hujan yang turun di luar jendela menorehkan garis-garis bening di kaca, menciptakan gema lembut di dalam ruangan.
Lyora duduk tenang. Tangannya terlipat rapi di pangkuan, wajahnya terselubung kerudung lembut warna abu. Sorot matanya teduh, tapi ada kecemasan tipis, seperti seseorang yang sudah bersiap ditolak sebelum sempat berbicara.
Pintu bergeser.Apollo masuk tanpa suara. Jas hitamnya masih kering, seolah hujan pun enggan menyentuhnya. Tatapannya langsung menyapu Lyora, singkat, dingin, evaluatif… seolah melihat seseorang yang sudah ia putuskan untuk ditolak bahkan sebelum dikenalkan.
“Berdiri,” katanya.
Lyora berdiri, Apollo berjalan mengitari meja, tidak terburu-buru, tapi setiap langkahnya menekan udara ruangan. “Aku tidak suka pembicaraan yang berlarut-larut,” ucapnya sambil membuka map tipis di tangan. “Jadi aku akan langsung pada intinya.”
Lyora menunggu. Diam, patuh, tapi bukan pasrah, lebih seperti seseorang yang tak mau menambah beban.Apollo menutup map itu, ia bahkan tidak membacanya.“Kau,” katanya pelan, “tidak punya tempat dalam hidupku.”
Lyora menunduk sedikit. “Aku mengerti.”
Apollo menggeser kursi lalu duduk, bertumpu pada sandaran kursi dengan kedua tangan terjalin. “Nenekku menganggap pernikahan ini strategi keluarga. Aku menganggapnya… kekacauan yang tidak perlu.”
Lyora menghela napas halus. “Kalau itu keputusan Anda, saya tidak akan memaksa kan apa pun.”
Apollo mengangkat alis tipis. Respons itu membuatnya berhenti sejenak. Banyak wanita berusaha mendekatinya; tidak ada yang sesederhana ini.
“Kau tampak terlalu tenang untuk seseorang yang masa depannya baru kubatalkan,” komentarnya dingin.
“Saya tidak datang untuk memaksa,” jawab Lyora lembut. “Saya hanya datang karena diminta. Selebihnya, keputusan ada pada Anda.”
Bisu sejenak mengisi ruangan.Apollo menatapnya lama. Ada sesuatu dalam ketenangan Lyora , bukan tunduk, tapi menerima yang justru membuatnya semakin waspada.
“Kau ingin apa dariku?” tanya Apollo.
Lyora menggeleng. “Tidak ada.”Bola mata Apollo menyipit sedikit. “Tidak ada?”
“Tidak ada,” ulang Lyora. “Bahkan jika pernikahan itu harus dibatalkan sekarang, saya tidak akan keberatan.”
Kali ini Apollo benar-benar berhenti. Diam, menilai.“…Kau bukan tipe orang yang kukira,” gumamnya.
Lyora tersenyum tipis, senyum yang tidak mencoba menyenangkan siapa pun. “Saya memang bukan siapa-siapa, Tuan Dragunov.”
Dada Apollo terasa aneh sejenak, entah kenapa. Ada sesuatu yang familiar dari kalimat itu… atau dari suaranya. Tapi ia menepisnya.
“Baik,” katanya akhirnya. “Aku akan mempertimbangkan ulang keputusan nenek. Kau boleh pergi sekarang.”Lyora mengangguk sopan, lalu mengambil tas kecilnya.Namun sebelum ia keluar, Apollo memanggilnya lagi.
“Lyora.”
Lyora menoleh pelan. “Ya?”
Tatapan Apollo menusuk, dingin, namun berat.“Jangan berharap apa pun dariku. Apa pun.”
Lyora menundukkan kepala sedikit, tetapi kali ini suaranya sangat pelan… hampir seperti bisikan yang tak seharusnya terdengar.“Saya tidak pernah berharap apa pun sejak awal… Axelio”
Apollo terdiam, matanya menegang.
Ia tidak pernah menyebutkan namanya.
Ia pasti mendengarnya… dulu.
Tapi dari mana?
eh ko gue apal ya 😭