Entah wanita dari mana yang di ambil kakak ku sebagai calon istrinya, aroma tubuh dan mulutnya sungguh sangat berbeda dari manusia normal. Bahkan, yang lebih gongnya hanya aku satu-satunya yang bisa mencium aroma itu. Lama-lama bisa mati berdiri kalau seperti ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rika komalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berkunjung
Mas Rama mengerutkan keningnya, tampak dia tidak sependapat dengan ku.
"sepertinya kau kebanyakan makan jengkol." celetuknya.
Makan jengkol katanya? Astaga, mana mungkin. Selama ini aku tidak pernah begini, aku yakin pasti ada yang tidak beres dengan mbak Sinta.
"Tapi Ram, kok kebiasaan Sinta itu aneh ya. Suka makan bunga bangkai. Mana mentah lagi. Apa gak bau mulutnya?" ucap ibu penasaran.
" enggak buk, buktinya saat berdekatan bau mulutnya biasa saja."
Aku terdiam, jantungku rasanya berdebar tak karuan. Jangan bilang hanya aku yang bisa mencium aroma bangke dari tubuh mbak Sinta.
Ku raup wajah ini, tapi yang pasti apa yang ku alami saat ini benar adanya bukan tipu-tipu.
"sudahlah Laras, tidak usah berpikiran yang macam-macam. Percayalah Sinta itu wanita yang baik bahkan kalian sudah melihatnya sendiri bukan, anak baik manis dan ringan tangan."
Ku cabikkan bibir ini, dasar dimabuk cinta. Kalau sudah begini, tai kambing pun bisa rasa coklat.
"apa mas gak mau selidiki sekali lagi, perasaanku kok gak enak ya."
Biar bagaimanapun, aku harus tetap melindungi kakak semata wayang ku ini. Walaupun ngeselin tapi hanya dia dan ibu yang kumiliki saat ini.
"kayaknya gak perlu Ras, mas itu dah yakin seratus persen dengan Sinta. Apapun kekurangannya mas akn terima."
Ku buang nafas ini dengan kesal, kalau sudah begini aku bisa apa coba. Yang bisa ku lakukan saat ini adalah mendukung nya itu saja.
"ya sudahlah mas, Laras ikut apa kata mas saja.. " akhirnya kata itu terucap juga dari mulutku.
senyum manis terbit di bibir kakak itu tersebut, ibu juga turut tersenyum tapi aku? Ah, sudahlah kita lihat bagaimana alur nya nanti.
"oh iya buk, besok siang kita di undang gantian sama keluarga Sinta. Orang tua Sinta ngajak kita makan siang."
" oh ya bagus, sekalian kita bicarakan masalah lamaran."
" iya buk."
Mas Rama tersenyum bahagia, bagaimana tidak dia saja langsung di restui ibu. Sementara aku? Tidak usah kalian tanyakan.
malam berlanjut, saat ini kami sudah masuk ke dalam kamar masing-masing. Entah mengapa malam ini rasanya agak gerah padahal kipas angin sudah nomor tiga tapi masih saja gerah.
"mau hujan apa ya?" batinku sembari melirik tirai jendela.
Jam terus berputar, sekarang sudah menunjukkan pukul satu malam. Aku yang sudah mulai terkantuk-kantuk di kejutkan dengan suara ketukan dari jendela.
Sedikit mengerutkan dahi, siapa gerangan yang mengetuk-ngetuk jendela malam hari?
Beranjak? Tentu saja tidak, tapi insting kepo ku meronta-ronta. Segera ingin melihatnya. Karena semakin lama suara ketukan itu semakin keras.
"dasar kampret." umpatku seraya beranjak, namun saat gorden jendela ku sibak kan tak ada siapapun di sana, bahkan langit juga sangat pekat.
Karena tak ada siapapun, akupun segera menutup kembali gorden jendela. Namun, belum lagi bokong ini mendarat di kasur aku lagi dan lagi di kejutkan dengan suara seseorang yang memanggil namaku.
"Laras... Laras... Laras.!"
Mataku seketika membola, siapa yang memanggil namaku malam-malam begini. Asli bulu tanganku seketika merinding.
"Laras! Buka jendelanya. Biarkan aku masuk Laras." ucapnya.
Aku yang sudah kepalang takut, segera naik ke atas kasur dan menutupi tubuh dengan selimut. Jantung masih terus berdebar kencang, cukup lama aku berada di bawah selimut hingga subuh menjelang.
Rasa kantuk pun tak lagi menghampiri, secepat kilat aku keluar dari kamar karena biasanya jam segini ibuku sudah mulai masak di dapur.
"ada apa, kok kamu lari-larian begitu?"
" ada setan buk," ucapku seraya duduk di kursi makan.
" setan apa?kamu jangan ngawur ah, mana ada setan jaman modern begini."
" tapi beneran buk, Laras gak bohong. Malam tadi jam satu, ada yang ketok-ketok jendela pas lawas lihat gak ada siapapun. Terus, pas laran mau tidur, itu setan yang ketok-ketok manggil nama Laras buk. Dia mau masuk buk ke dalam kamar Laras."
Ibuku seketika terdiam, dari kecil hingga dewasa seperti ini baru kali ini aku di merasakan hal mistis di rumah ini.
"perbanyak doa nak, sepertinya ada yang tidak suka dengan mu."
" maksud ibu?" ucapku malah semakin menjadi takut.
" ibu juga tidak tau, naluri ibu yang mengatakannya." ucapnya sembari melihatku dengan intens.
Apa ini ada hubungan nya dengan mbak Sinta? Tapi, masa iya sih dia tidak suka padaku. Atau jangan-jangan dia tau lagi, kalau sebenarnya aku bisa mencium aroma bangke dari tubuhnya.
"iya buk, Laras akan hati-hati."
"ya sudah, sholat gih sana. Habis itu tidur saja, wajahmu masih terlihat lelah."
" iya buk,"
Akupun segera masuk ke kamar mandi, lalu setelahnya melaksanakan yang wajib kemudian melanjutkan tidur, karena memang aku masih sangat mengantuk.
Tepat jam sepuluh aku sudah terbangun, duduk sejenak kemudian keluar kamar tampak mas Rama tengah sibuk dengan handphone nya. Walaupun kami tinggal di desa, namun jaringan seluler sudah masuk, ya walaupun hanya beberapa kartu provaider saja yang bisa.
"cepetan sana mandi, kita mau ke rumah Sinta." ucap mas Rama tanpa melihatku.
" masih jam sepuluh ini,"
"dandanmu aja belum, milih baju makeup mu juga belum, dan itu membutuhkan waktu yang lama. Udah sana cepetan."
Ku cabikkan bibir ini, dasar Abang sialan. Tapi yang pastinya aku sarapan dulu, setelah itu baru mandi.
Jam terus berputar, setelah selesai semuanya kami pun berangkat. Ibu di bonceng mas Rama, sementara aku naik motor sendiri. Dan tak butuh waktu lama akhirnya kami tiba di rumah mbak Sinta.
Ternyata mereka sudah menunggu kami di depan rumah, sekilas tak ada yang berbeda namun saat sudah berdekatan aroma bangke mulai menusuk hidungku.
"mari silahkan masuk." ucap sang tuan rumah.
Kami pun segera masuk, duduk saling berhadapan.
"suatu kehormatan bagi keluarga kami ibu nya Rama mau berkunjung ke sini." ucap ibunya mbak Sinta.
" sama-sama ibunya Sinta."
"panggil saja buk Surti,"
" oh, jeng namanya Surti. Kalau sya namanya Romlah."
Canda tawa mengiringi percakapan kami, bau bangke bercampur bau asam seakan memenuhi rongga hidung ku.
Bahkan aku berulang kali menutup mulut dan hidung secara bersamaan.
"oh iya, udah jam makan siang ini. Ayo kita makan " ucap buk Surti.
Kami semua beranjak, namun saat sudah Tian di meja makan mataku membelalak sempurna, bagaimana tidak itu bunga bangkai terhidang dia atas meja, dan lupakan baunya sudah memenuhi ruangan ini
"mari-mari silahkan duduk," ucap sang tuan rumah.
Formasi pun sudah di atur dan aku bersebelahan tepat dengan adiknya mbak Dewi.