Dua keluarga yang semula bermusuhan akhirnya memutuskan menjalin aliansi pernikahan.
Posisi kepala negara terancam dilengserkan karena isu menjual negara pada pihak asing disaat perbatasan terus bergejolak melawan pemberontakan. Demi menjaga kekuasaan, Sienna sebagai putri bungsu kepala negara terpaksa menerima perjodohan dengan Ethan, seorang tentara berpangkat letjen yang juga anak tunggal mantan menteri pertahanan.
Bahaya mengancam nyawa, Ethan dan Sienna hanya bisa mengandalkan satu sama lain meski cinta dari masa lalu menjerat. Namun, siapa sangka orang asing yang tiba-tiba menikah justru bisa menjadi tim yang kompak untuk memberantas para pemberontak.
Dua dunia yang berbeda terpaksa disatukan demi mendapatkan kedamaian. Dapatkah mereka menjadi sepasang suami-istri yang saling menyayangi atau justru berakhir saling menghancurkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrlyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 (Jangan Ganggu Istriku)
[Apa indah? Malam pertama kalian sepertinya berhasil membuatmu melupakanku sepenuhnya.]
[Ethan, aku ingin membencimu. Seharusnya aku membencimu, bukan? Tapi kenapa hati ini malah merindukanmu?]
[Tidak bisakah kamu hanya menjadi milikku saja, Eth?]
[Brengsek!]
[Pengkhianat!]
Ada begitu banyak pesan yang Siren kirimkan. Umpatan, ucapan kebencian hingga untaian kata menyakitkan. Ethan hanya bisa menyeka wajahnya dengan kasar. Ia tidak mungkin menghilangkan perasaan yang telah lama bersemayam dalam waktu semalam. Namun, janji suci pernikahan yang telah terucap kini juga membebani hatinya.
Ia bahkan tidak bisa marah pada Sienna yang telah berani mengecek ponselnya. Mereka telah sepakat, tidak ada pengkhianatan dalam pernikahan.
Saat Sienna keluar dari dalam kamar mandi hanya dengan memakai jubah, ia terlihat terkejut melihat ekspresi Ethan. Mencoba berpura-pura abai, melangkah menuju walking closet seolah ia tidak pernah membuka ponsel dalam genggaman laki-laki itu, tapi Ethan tiba-tiba saja mencekal pergelangan tangannya.
"Kenapa kamu membaca pesan di ponselku?"
Sienna tidak lantas menjawab, ia berpikir sejenak. Namun, berbohong di hadapan Ethan sepertinya tidak akan berguna.
"Maaf... Aku hanya penasaran."
"Kamu marah?"
"Ya?" Sienna tertegun. Kenapa bisa Ethan malah mengira ia akan marah dan bukan sebaliknya? Bukankah ia yang telah melanggar privasi Ethan?
"Aku tidak marah," jawab Sienna singkat. Ada kelegaan yang tersirat dari raut wajah Ethan.
"Kalian masih berhubungan baik dan hari ini adalah anniversary hubungan kalian. Haruskah aku ucapkan selamat?"
Pertanyaan Sienna entah kenapa terdengar menyakitkan bagi Ethan. "Kamu cemburu?"
Sienna mengangkat pandangannya, menatap Ethan lebih dalam lagi.
Cemburu?
Apa perasaan tidak nyaman itu boleh disebut cemburu?
Rasanya tidak pantas. Hubungan ini jelas hanya pernikahan politik. Tanpa cinta, semuanya hanya sandiwara yang terbungkus kebohongan manis.
"Kalau itu Dave yang menghubungiku, apa kamu akan cemburu?"
Ethan perlahan melepaskan tangan Sienna. Pertanyaan gadis itu menyadarkannya jika kecemburuan seharusnya tidak pernah hadir dalam kisah mereka.
Hening. Ethan tidak menjawab. Pada akhirnya ia memilih untuk pergi mandi. Menenangkan pikiran di bawah kucuran air dingin.
Perasaannya pada Siren masih sama. Namun, Sienna dan status mereka seolah memiliki tempat tersendiri yang membuat Ethan takut akan membuat Sienna terluka.
Selesai mandi. Ethan segera mengambil pakaian dari tasnya dan memakainya, berpikir jika Sienna mungkin sudah turun lebih dulu ke ruang makan. Namun, baru selesai ia memakai celana katun panjang, Sienna tiba-tiba saja keluar dari ruang ganti pakaiannya.
Suasana seketika berubah menjadi canggung. Kedua mata mereka bertemu, saling berbagi tatapan bingung sekaligus gugup.
"Maaf...," gumam Sienna pelan. Ia melangkah melewati Ethan begitu saja, tapi laki-laki itu malah mencekal lengannya.
"Jangan terlalu sering meminta maaf untuk hal yang tidak penting."
Sienna mengangguk, tapi ia tidak menoleh. Ethan masih bertelanjang dada. Namun, ia malah bergerak semakin mendekat, menyudutkan Sienna ke sisi tembok dengan mudah.
"Ma-mau apa?" tanya Sienna gugup.
Ethan menempatkan kedua tangannya di antara kepala Sienna, sedikit menunduk dan menatap wajah Sienna lebih lekat.
"Kamu menangis?"
"Hanya sebentar," jawab Sienna tanpa berani membalas tatapan mata Ethan.
"Apa yang membuatmu menangis?"
"Tidak ada. Aku hanya ingin menangis."
"Sienna... kamu boleh marah, tapi jangan berbohong."
Ethan semakin mendekat. Aroma sabun menguar dari tubuhnya. Terasa lembut, samar-samar wangi mawar.
"Kamu memakai sabunku?" tanya Sienna.
"Aku tidak bawa sabun. Kamu hanya memberiku sikat gigi baru."
Sienna tersenyum kikuk. "Aku tidak tahu kalau kita akan langsung menikah kemarin. Lain kali akan aku siapkan perlengkapanmu."
"Terima kasih."
Ada sedikit kelegaan saat Ethan perlahan menjauh, tapi hanya sekejap karena setelahnya Ethan kembali ke posisi semula.
"Kamu pintar mengalihkan pembicaraan, tapi tidak sepintar itu untuk lepas dari pertanyaanku, Tuan putri. Kenapa kamu menangis?"
Sienna menarik napas dalam, tahu jika Ethan akan terus menuntutnya. "Karena pernikahan ini."
Sebelah alis Ethan terangkat naik. "Menyesal?"
"Karena sudah menikah, aku tidak berani mengangkat telepon dari Dave... rasanya seperti sedang berkhianat bahkan lebih dari saat aku mengkhianati Dave sendiri. Bukankah itu tidak adil? Seolah aku sudah terjerat, terikat." Sienna mengangkat pandangan. Sorot matanya berkaca-kaca menahan tangis.
"Pernikahan ini membuatku merasa terjebak oleh perasaan yang bahkan tidak ada," sambung Sienna lirih.
Sienna mendeskripsikannya, perasaan yang membuat Ethan terganggu sejak ia membaca pesan-pesan dari Siren. Rasa sakit itu seolah bercabang, terbagi dua dengan alasan yang bertolak belakang.
Saat Sienna mulai menangis. Ethan hanya bisa membawanya ke dalam dekapan.
"Aku jelas masih mencintainya, Ethan... aku sangat mencintainya, tapi pernikahan ini-" Napas Sienna tertahan rasa sakit. "Padahal kita sudah sepakat untuk tidak saling jatuh cinta, tapi kenapa aku begitu takut mengecewakanmu?"
Pelukan itu semakin erat meski Ethan tidak mengatakan apa pun, tapi ia merasakan hal yang sama. Menenangkan Sienna seperti menenangkan dirinya sendiri.
Ketika ponsel Sienna kembali berdering. Nama Dave tertera pada layar berbarengan dengan foto kebersamannya dengan Sienna.
Ethan kemudian mengambil ponsel itu dari tangan Sienna lalu mengangkatnya. Dia sengaja menyembunyikan wajah Sienna dalam dekapannya, mengganti panggilan telepon menjadi panggilan video.
"Sienna...." Suara Dave terdengar bersemangat. Berpikir jika Sienna akhirnya mau kembali bicara dengannya, tapi senyuman di wajah Dave seketika memudar saat layar ponselnya hanya menunjukkan wajah Ethan dan bahu kokohnya yang terekspos berserta bercak kemerahan yang Sienna tinggalkan kemarin malam.
"Di mana Sienna?" tanya Dave yang saat ini berada di rumah sakit, memakai pakaian pasien, berharap Sienna akan mendatanginya.
"Dia tidak ingin bicara denganmu," jawab Ethan seraya menunjukkan puncak kepala Sienna dalam dekapannya sekilas.
"Jangan ganggu istriku lagi. Kalian sudah tidak ada hubungan apa pun."
"Kamu hanya perebut. Aku yakin Sienna masih sangat mencintaiku. Pernikahan kalian hanyalah kepalsuan!"
Ethan menyeringai. "Begitu kah? Apa saja yang kamu dengar dan kamu lihat saat mengintainya dengan kalung murahanmu?"
Sienna seketika mendongak. Kalung pemberian Dave yang dihancurkan oleh Ethan memiliki alat penyadap tersembunyi? Hatinya langsung mencelos.
"Pertengkaran kami sebelumnya hanyalah bagian dari adaptasi. Kami sudah menikah sekarang, tubuh kami sudah menjadi satu. Apa pun niatmu, aku tidak akan tinggal diam," ancam Ethan tidak main-main.
"Jangan dengarkan dia Sienna. Dia hanya berusaha memanipulasi agar kamu membenciku," ucap Dave mencoba meyakinkan. Namun, tatapan Ethan semakin tajam, dingin, tidak berperasaan.
"Ini peringatan pertama dan terakhir. Jangan pernah hubungi istriku lagi atau aku akan mencari kebenaran tentangmu dan menghancurkanmu!"
"Sien-"
Sambungan video itu terputus sebelum Dave kembali bicara. Ethan lantas mengembalikan ponsel Sienna, tidak lupa ia menyeka air mata yang tertinggal di wajah cantiknya.
"Kalung pemberian Dave... apa sungguh ada penyadapnya?" tanya Sienna berharap ia hanya salah mendengar. Dave tidak mungkin melakukan hal seperti itu padanya, kan?
Ethan tidak langsung menjawab, tapi ia lantas mengambil kalung yang sudah rusak itu dari dalam tasnya dan menunjukkannya pada Sienna. "Kamera tersembunyi."
Tubuh gadis itu seketika gemetar. "Bagaimana mungkin Dave setega itu padaku?"
"Sienna... dalam dunia politik, apa pun bisa terjadi."
"Kupikir selama ini dia mencintaiku... Kupikir selama ini dia tulus."
"Ini masih belum pasti apa tujuannya. Mungkin dia hanya ingin memantau kekasihnya atau lebih dari sekedar itu. Aku akan menyelidikinya."
Tangisan Sienna semakin pecah. "Siapa yang harus aku percayai sekarang?"
"Aku." Ethan menjawab tanpa keraguan.
Haruskah ia merasa tenang sekarang? Ada suami yang bisa begitu diandalkan, tapi sakit yang diberikan oleh Dave sungguh dalam. Melukai kepercayaannya.
"Untung saja aku tidak pernah bercermin tanpa mengenakan apa pun." Ada kelegaan karena Sienna memiliki kebiasaan melepaskan aksesoris saat hendak mandi dan memakainya kembali begitu selesai berhias.
"Itu bagus. Sebenarnya aku berniat mencongkel kedua matanya sekarang juga jika dia sampai mengintip dirimu."
Sienna mengangguk, tapi bibirnya bergumam pelan, "Kamu kejam."
Ethan tersenyum lembut. "Kamu tidak suka aku menyakitinya?"
"Aku tidak suka kamu jadi orang jahat."
"Aku hanya membalas orang yang menyakitimu."
"Apa aku begitu penting?"
Ethan menyeka sisa air mata Sienna, memastikan jika wajah cantik itu tidak lagi diliputi oleh kesedihan.
"Janji yang aku ucapkan kemarin bukan sebuah lelucon, Sienna... aku meninggalkan segalanya demi dirimu."
Itu cukup, Sienna tidak akan bertanya lagi karena setelahnya mungkin akan muncul rasa sakit.
Sienna menarik napas dalam, ia berusaha untuk tersenyum. "Pakai bajumu... ayo, kita sarapan."
Ethan mengangguk. Ia segera meraih kemejanya dan Sienna tidak ragu membantunya memasang kancing.
"Apa mataku masih sembab?" tanya Sienna begitu Ethan selesai menyisir rambutnya.
"Sedikit, tapi tidak apa. Katakan saja jika kamu kurang tidur," jawab Ethan. Dia tersenyum lagi lalu menggandeng tangan Sienna keluar dari dalam kamar menuju ruang makan.
Tiba di meja makan. Ethan dengan gentle menarik kursi untuk Sienna lalu mempersilahkannya duduk barulah ia duduk di sebelah Sienna.
"Ada apa dengan wajahmu? Kamu habis menangis? Dia menyakitimu?" tanya Arthur tanpa basa-basi saat menyadari wajah sembab sang adik.
"Aku hanya kurang tidur," jawab Sienna. Namun, Arthur masih terlihat tidak puas dengan jawaban itu.
"Salahku... aku yang membuatnya kesulitan tidur semalam," ucap Ethan membuat Jimmy seketika berdehem, tanda percakapan ini tidak perlu lagi dibahas. Mereka sudah menyaksikan sendiri bagaimana Ethan dan Sienna kemarin malam bercumbu di atas tangga.
"Ayo, kita makan. Siang nanti kalian akan pergi ke perbatasan, kan?" ucap Jimmy mempersilahkan.
"Perbatasan? Maksud Ayah, Sienna juga ikut tinggal di sana?" tanya Rieta seolah tidak percaya jika putrinya akan dikirim ke tempat yang begitu berbahaya.
"Ayah, tempat itu tidak aman. Ibu tidak setuju," protes Rieta.
Arthur menimpali dengan raut wajah penuh kekecewaan karena sang ayah seolah tidak peduli pada keselamatan Sienna. "Ayah... Tempat itu sarang penjahat, bagaimana jika terjadi sesuatu yang buruk pada Sienna? Kudengar disana mereka tidak hanya menculik warga, tapi bahkan melecehkannya. Bagaimana jika mereka mengincar Sienna dan Ethan gagal melindunginya?"
***