NovelToon NovelToon
Kepincut Musuh Bebuyutan

Kepincut Musuh Bebuyutan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Kisah cinta masa kecil / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama
Popularitas:4.9k
Nilai: 5
Nama Author: juyuya

"Awas ya kamu! Kalau aku udah gede nanti, aku bikin kamu melongo sampai iler kamu netes!" teriak Mita.

" Hee… najisss! Ihh! Huekk" Max pura-pura muntah sambil pegang perut.

Maxwel dan Mita adalah musuh bebuyutan dari kecil sayangnya mereka tetangga depan rumah, hal itu membuat mereka sering ribut hampir tiap hari sampai Koh Tion dan Mak Leha capek melerai pertengkaran anak mereka.

Saat ini Maxwel tengah menyelesaikan studi S2 di Singapura. Sementara Mita kini telah menjadi guru di sma 01 Jati Miring, setelah hampir 15 tahun tidak pernah bertemu. Tiba-tiba mereka di pertemukan kembali.

Perlahan hal kecil dalam hidup mereka kembali bertaut, apakah mereka akan kembali menjadi musuh bebuyutan yang selalu ribut seperti masa kecil? Atau justru hidup mereka akan berisi kisah romansa dan komedi yang membawa Max dan Mita ke arah yang lebih manis?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juyuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Musuh Bebuyutan

"Baik, ibu akan sebutkan nama-nama yang tuntas! Ada Alma, Anisa, Fiqa, Rayhan, Jihan, Hendri, Hamzah, Karina, dan yang terakhir Risky!" suara Mita terdengar tegas tapi tetap hangat.

"Sisanya remedi! Tolong yang remedi pindah duduk di sebelah kiri, dan yang tuntas di sebelah kanan."

Setelah memberi instruksi, Mita memberi waktu murid-murid untuk membaca materi. Sementara itu, dirinya tenggelam dengan buku catatan, menulis beberapa soal tambahan untuk sesi tanya jawab.

Waktu terus berjalan. Hingga jarum jam menunjuk pukul setengah empat sore, bel panjang berbunyi menandakan sekolah usai.

Mita masih bertahan di meja guru, memeriksa buku latihan dan lembar ulangan kelas X dan XII. Matanya sampai berkunang-kunang.

"Ahhh…" keluhnya sambil meregangkan badan. Bunyi krek terdengar dari tulangnya.

Melihat jam tangan, Mita buru-buru merapikan tumpukan buku. Setelah semuanya rapi, ia ikut keluar bersama guru-guru lain.

Cuaca di luar benar-benar terik. Untung Mita selalu sedia payung, biar nggak meleleh di jalan.

Sepanjang perjalanan, kebiasaan lamanya muncul yaitu bersenandung kecil. Dari dulu memang begitu, walau suaranya kadang mirip tikus kejepit.

"Tanam-tanam ubi, tak perlu dibaje"

"Orang berbudi, kite berbahase"

"Semarakkan hari ini,,"

"Kite nyanyi ramai-ramaiii"

"Goyang badan, gerak kaki"

"Nyanyikan lagu damaaai"

"hobah!"

Dengan hebohnya, Mita sampai mengibaskan payung bak dirigen orkestra jalanan.

Langkahnya berhenti di lapak kaki lima Mak Jainab. Ia menutup payung, lalu masuk sambil menyapu pandangan ke meja yang penuh tempe, tahu, sayuran, dan bumbu dapur.

"Assalamu’alaikum, Mak Jainab!" sapa Mita riang.

Mak Jainab yang lagi selonjoran sambil merem langsung terlonjak bangun.

"Eh, ya Allah!"

Mita terperanjat. "Astaghfirullah, Mak jainab! Kayak manusia bangkit dari kubur aja."

Mak Jainab buru-buru membetulkan kupluk lusuh yang hampir melorot.

"Ealah, Bu Mita, bikin kaget aja. Nyari apa, Bu?"

"Ada ikan, Mak?" tanya Mita sambil meraih 3 tempe berbungkus daun pisang dan sebungkus tahu putih.

"Mau ikan apaan?" Mak Jainab berjalan ke arah gabus putih tempat ikan berjejer.

"Ikan tongkol, Kalau nggak ada tongkol, ikan sereh aja."

Sambil memilih baby kelan, Mita bergumam, "Biar nggak pusing, beli dua aja deh sekalian."

"Pas banget, masih ada tongkol. Mau berapa kilo?"

"Tongkol sekilo, sereh sekilo."

Sambil menunggu ikannya dibersihkan, Mita menaruh belanjaannya di meja, lalu berjalan ke kursi kayu panjang di lapak. Ia duduk, kipas-kipas wajah dengan tangan, keringat menetes tapi senyum tetap merekah.

"Bu Mita!"

Mita tersenyum sambil melambai ke anak-anak SMA yang menegurnya. Tak lama, Mak Jainab selesai menghitung dan merapikan belanjaannya. Mita menghampiri perempuan setengah abad itu.

"Berapa semua, Mak?" tanya Mita.

"54 ribu" jawab Mak Jainab.

Mita menyodorkan uang pas, mengambil kantong belanjaannya, dan melangkah pulang. Cuaca sudah agak teduh, jadi Mita menutup payungnya.

Begitu sampai di depan rumah, Koh Tion muncul sambil memberi catatan kepada anak buahnya yang sedang menurunkan tumpukan besi dari truk. Toko bangunan milik Koh Tion memang sudah berkembang pesat selama 10 tahun terakhir. Pelanggan datang bukan cuma dari kampung, tapi juga dari kota. Kepandaiannya dalam berdagang dan kegigihan mengelola bisnis membuat harga yang ditawarkan cukup bersahabat. Memang ya, kata orang, orang Tionghoa itu pandai berdagang!

Anaknya, Maxwel Nasution, sudah lama menetap di luar negeri bersama abangnya sejak SMP. Sekarang Maxwel sedang menempuh S2 di Singapura. Koh Tion sendiri biasanya pergi ke Singapura saat perayaan Imlek atau Tahun Baru.

Mita menatap toko besar di depan rumahnya

Ahh, tenang deh, hidup gue sekarang nggak ada musuh bebuyutan lagi gumamnya dalam hati.

"Eh, Mitaaa baru pulang ya?" sapa Koh Tion ramah.

"Iya, Koh."

"Wah, makin laris aja nih tokonya" kata Mita sambil basa-basi.

Koh Tion terkekeh. "Iya, Mit, syukur." Matanya melirik ke kantong belanjaan di tangan Mita. "Baru pulang belanja ya?"

"Eh, iya nih, Koh. Biasa titipan mamak" jawab Mita santai.

"Oh, ya sudah Mit. Koh Tion masuk dulu ya, ada urusan lain."

"Ah, iya, Koh" jawab Mita.

Lelaki setengah abad itu masuk kembali ke toko. Mita masuk ke rumahnya, sementara di dalam toko, Koh Tion merogoh ponselnya dari saku celana. Senyumnya langsung mengembang.

"Halo, Max?"

"Halo, Pah. Papah apa kabar?" suara berat terdengar dari seberang.

"Puji Tuhan, papah sehat. Kamu gimana?"

"Aku baik, Pah. Minggu depan aku wisuda."

Koh Tion tersenyum bangga. "Puji Tuhan, Max! Akhirnya S2 kamu selesai."

"Papah datang kan?" suara Max terdengar setengah menahan tawa.

"Ya pasti dong! Papah pasti datang" jawab Koh Tion semangat.

Selama panggilan berlangsung, Koh Tion tak henti-hentinya tersenyum lebar sambil bercanda dengan putra bungsunya. Bahkan suara tawanya sampai terdengar oleh anak buah yang sedang bekerja.

Sementara itu, Mita kembali ke dapur setelah berganti pakaian santai setelan celana belel dan kaos ukuran jumbo. Tangan Mita sigap membersihkan sayur kelan. Suara minyak di penggorengan berdesir.

Duar!

Suara letupan terdengar dari penggorengan.

"E eh… ya Allah, jangan kena muka cakepku!" Mita mundur sedikit, sambil menahan tawa dan kaget sendiri.

"Lih… gitu aja kaget!" sungut Mak Leha sambil menyesap teh di meja makan.

Mita melirik mamaknya. "Kaget, Mak! Wajar dong, nanti kalau muka Mita kena minyak panas gimana? Bisa kabur orang yang mau ngelamar!"

"Alahhh kamu mau nikah? Tuh sama anak tetangga depan aja, gak usah pusing cari cowok lain! Sekarang gimana kabarnya ya? Pasti makin ganteng kan? Dulu waktu kecil aja ganteng, mirip Lee Minho."

Mita mendelik, bahunya sampai bergoyang. "Lee Minho,,, Lee Minho… mana ada Lee Minho modelnya kaya gitu, usilnya kebangetan!" Mita sampai menggeprek bawang putih dengan kasar.

"Lah, jangan begitu, Mit. Mana tahu jodoh! Kalau kamu jadi mantunya Koh Tion, hidup udah pasti tentram. Pokoknya gak ada drama token listrik ngamuk minta makan!"

"Ihh, sampai kapanpun kagak bakal bisa, Mak! Kami beda agama! Lagi pula Max itu musuh bebuyutan Mita! Ingat itu Mak, MUSUH BEBUYUTAN. TITIK!" Mita membalik ikan di penggorengan dengan ekspresi dramatis.

"Eh, Mitt.. jangan bilang gitu. Kita gak tahu rencana Allah selanjutnya. Siapa tahu kisah cintamu kayak film-film itu tuh…" Mak Leha berpikir sejenak. "Nah ituuu satu amin beda tuhan, ehh? Beda tuhan satuuuu eh, apa, Mit? Mamak lupa!"

Mita menggilir bahu sambil melirik ikan yang sedang digoreng. "Mana Mita tau, Mak. Mita jarang nonton."

"Nah itu, Ayat-Ayat Cinta!" Mak Leha menggebrak meja sambil tertawa kecil.

Mita mendelik, gumamnya hampir tak terdengar, "Jauh amat ke satu amin beda tuhan…"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!