Jingga Nayara tidak pernah membayangkan hidupnya akan hancur hanya karena satu malam. Malam ketika bosnya sendiri, Savero Pradipta dalam keadaan mabuk, memperkosanya. Demi menutup aib, pernikahan kilat pun dipaksakan. Tanpa pesta, tanpa restu hati, hanya akad dingin di rumah besar yang asing.
Bagi Jingga, Savero bukan suami, ia adalah luka. Bagi Savero, Jingga bukan istri, ia adalah konsekuensi dari khilaf yang tak bisa dihapus. Dua hati yang sama-sama terluka kini tinggal di bawah satu atap. Pertengkaran jadi keseharian, sinis dan kebencian jadi bahasa cinta mereka yang pahit.
Tapi takdir selalu punya cara mengejek. Di balik benci, ada ruang kosong yang diam-diam mulai terisi. Pertanyaannya, mungkinkah luka sebesar itu bisa berubah menjadi cinta? Atau justru akan menghancurkan mereka berdua selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Balik Cerianya Jingga.
Pagi itu, tepat sehari setelah akad, Jingga akhirnya kembali masuk kantor setelah beberapa hari cuti. Alasan cutinya kemarin sederhana saja: “ada urusan keluarga.” Tak ada yang tahu, kalau yang dimaksud adalah akad nikah yang dingin dengan bos besar perusahaan, yang seakan-akan mengeksekusi hidupnya.
Pagi itu, lift berhenti di lantai divisi keuangan. Jingga melangkah keluar dengan gaya santainya. Rambut panjangnya diikat kuda, blus putih sederhana dipadu rok pensil abu-abu, dan sepatu flat hitam yang sudah agak kusam. Senyumnya merekah, seolah tak ada badai besar yang baru lewat dalam hidupnya.
“Selamat pagi, duniaaa!” serunya ceria sambil menenteng satu gelas kopi kertas.
Karyawan yang duduk di dekat pintu langsung menoleh. “Eh, akhirnya balik juga. Kemarin-kemarin kemana aja, Ga?”
Jingga menaruh kopinya di meja lalu menjawab santai, “Cuti, dong. Urus administrasi penting. Kalian kira aku jalan-jalan ke Bali apa?”
Beberapa orang tersenyum. Dari meja sebelah, Nisa sudah mengangkat alisnya tinggi-tinggi.
“Cuti seenaknya aja. Aku yang akhirnya kebanjiran kerjaan kamu, tahu!”
Jingga menautkan kedua tangannya di depan dada dengan wajah memelas. “Nis sayangku, maafkan aku. Demi Tuhan, aku akan traktir kamu ayam geprek level sepuluh nanti siang.”
Tawa pun pecah.
“Ck, dasar kamu.” Nisa menggeleng sambil pura-pura nepuk jidat. “Kupikir kamu diculik alien, Jingga.”
Jingga tertawa, meletakkan tas di kursinya. “Alien aja males nyulik aku. Badan doang yang lumayan, dompet tipis, beban hidup numpuk. Mau dikasih makan apa coba sama alien?”
“Ya ampun, mulutnya langsung rame lagi,” sambung Lidya, sahabat lainnya, yang duduk tak jauh dari meja Jingga. “Kantor sepi banget kemarin tanpa kamu.”
“Ya kan biar ada alasan kalian buat kangen aku,” Jingga berkedip manis, lalu langsung membuka laptop. “Santai, bintang kantor sudah balik. Tapi jangan harap laporan keuangan tiba-tiba bisa rapi, ya.”
Semua tertawa kecil. Kehadiran Jingga memang seperti itu, selalu bisa mencairkan suasana.
Tapi belum sampai lima menit, suara berat dari ujung ruangan membuat semua kaku.
“Saudari Jingga Nayara.”
Suara bariton itu membuat jantung Jingga ikut berdegup kencang. Ia mengangkat kepala pelan. Savero, Direktur Utama sekaligus “suami rahasianya”, berdiri di ambang pintu. Wajahnya datar, sikapnya dingin.
“Ya, Pak Direktur?” Jingga tersenyum lebar, seakan-akan tidak ada hubungan lain di antara mereka.
“Ke ruangan saya. Sekarang.”
Suasana ruangan langsung berubah. Semua mata berpaling ke arah Jingga dengan tatapan kasihan sekaligus ngeri. Mereka tahu, kalau sudah dipanggil langsung ke ruangan Direktur Utama, biasanya itu artinya masalah besar.
“Uh… ck” bisik Nisa, menutup mulutnya. “Baru balik, udah disemprot bos.”
“Semoga arwahmu damai, Jingga,” tambah Lidya setengah bercanda.
Jingga malah santai. Ia berdiri, merapikan blus, lalu menoleh ke dua sahabatnya sambil berbisik, “Kalau aku nggak balik dalam sejam, tolong bakarin dupa di mejaku.”
Mereka nyaris tertawa, menahan keras-keras di balik telapak tangan.
Jingga melangkah dengan enteng ke ruangan Savero. Dari belakang, tampak jelas kontras antara tubuh maskulin pria itu dengan langkah santai Jingga yang seperti tak peduli.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Ruangan Savero luas, dengan dinding kaca yang menampilkan pemandangan kota. Aroma kopi hitam tercium samar. Savero berdiri di balik meja, kedua tangannya bertumpu di atas permukaan kayu.
Begitu pintu tertutup, ia menatap tajam ke arah Jingga.
“Kamu libur berhari-hari, apa kamu cerita pada mereka alasannya?” Tanyanya dengan suara dingin.
Jingga mengangkat bahu, masih dengan senyum cerianya. “Untuk apa saya cerita? Agar semua orang tahu kalau saya korban perkosaan yang kemudian dinikahi paksa atasan, begitu? Maaf Pak, saya masih waras.”
Savero menyipitkan mata. “Jangan kelewatan, Jingga. Statusmu di kantor tetap staf keuangan. Saya Direktur Utama. Jangan sekali pun mencampur urusan pribadi ke pekerjaan.”
Jingga melipat tangan di dada, menatapnya dengan sinis. “Tenang, Pak Direktur. Saya sama sekali nggak niat ngumbar urusan… pribadi. Santai aja. Pernikahan kita yang sah tapi nggak pake pesta itu bakal tetap rahasia. Mulut saya dikunci rapat, kok. Kuncinya sudah saya buang ke laut.”
Savero mengetukkan jarinya di meja, rahangnya menegang. “Bagus kalau begitu. Ingat, di kantor ini saya atasanmu, titik. Jangan sampai ada yang curiga.”
Jingga tersenyum tipis, lalu duduk di kursi tamu tanpa dipersilakan. “Sip. Jadi bos dingin tetap jadi bos dingin, staf ceroboh tetap staf ceroboh. Semua happy. Tapi Pak, saya punya satu request.”
Savero menatapnya penuh curiga. “Apa lagi?”
“Kalau saya bikin laporan keuangan, jangan suruh revisi lima kali. Nanti saya bisa lembur lagi… kalau saya lembur sendiri, terus ada cowok mabuk yang merkosa saya gimana? Nanti bisa-bisa saya bunuh diri, terus gentayangan deh di kantor ini… horor kan?” sindir Jingga, sarkas.
Savero menahan napas, hampir mendengus, tapi ia memilih mengalihkan pandangan. “Keluar, Jingga. Saya sibuk.”
“Baik, Pak Direktur Kesayangan,” jawab Jingga ringan. Ia bangkit, memberi hormat ala tentara, lalu keluar dengan santai.
Savero menatap pintu yang menutup. Rahangnya mengeras. Perempuan itu benar-benar menyebalkan… tapi entah kenapa, sulit untuk diabaikan.
Di luar, Jingga kembali ke mejanya dengan langkah ringan. Nisa dan Lidya langsung menyorongkan kepala.
“Gimana? Dimarahin abis-abisan?” tanya Nisa.
“Enggak lah,” Jingga tertawa renyah. “Cuma rapat rahasia negara antara Direktur Utama sama staf biasa. Pokoknya kalian nggak boleh tahu.”
Lidya mencubit lengannya. “Yakin? Aku liat wajah bos tadi serem banget.”
“Ah, itu mah wajah bawaan lahirnya,” jawab Jingga santai. “Coba kalau dia senyum, bisa kiamat dunia. Seremnya double.”
Keduanya tergelak. Dan begitulah, Jingga kembali jadi pusat keceriaan di meja kerja, menutupi luka besar yang ia simpan rapat-rapat di hatinya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hening, hanya suara keyboards dan dering telepon yang terdengar di ruangan itu, menjelang makan siang.
Tiba-tiba, suasana jadi riuh kecil. Mahesa baru saja masuk, rapi dengan kemeja putih bersih dan map hitam di tangannya. Seperti biasa, beberapa karyawan perempuan meliriknya diam-diam. Tapi Mahesa hanya berjalan lurus ke arah meja Jingga.
“Siang, Sayang. Kangen banget tahu!” Ia meletakkan sebuah kotak bekal di depan Jingga. “Tadi ibuku nitip ini buat kamu pas tahu kamu udah masuk kantor lagi. Katanya kamu suka sekali ayam sambal hijau buatan beliau.”
Wajah Jingga langsung berbinar, dalam hati sedikit berdebar dan berdoa semoga ia tak akan pernah kehilangan Mahesa. “Ya ampun, aku kangen banget sama masakan tante! Makasih, Mas.” Ia menatap Mahesa dengan mata penuh syukur.
Seketika meja mereka jadi pusat perhatian.
“Cieee, couple goals!”
“Pantesan Jingga semangat kerja. Siang-siang gini dikirimin makanan.”
“Serius deh, kalian tuh manis banget. Dua tahun pacaran masih kayak ABG baru jadian.”
Jingga menutup wajah dengan map, pura-pura malu. “Halah, kalian ini suka lebay.”
Nisa ikut menggoda. “Aku iri loh. Pacar aku aja nggak pernah bawain makanan.”
Mahesa tertawa kecil. “Kalau kamu mau, suruh pacarmu belajar dari aku.”
Seluruh ruangan kembali tertawa.
Lidya hanya ikut tertawa kecil. Meski ia jomblo, ia pun kagum pada hubungan Jingga dan Mahesa, keduanya tampak serasi, meski Mahesa sedikit lebih menonjol dibanding Jingga yang fashionnya sangat ketinggalan mode.
Mahesa pamit sebentar untuk naik ke lantai manajerial, meninggalkan Jingga yang masih tersenyum lebar. Semua orang menganggapnya beruntung: ceria, punya pacar idaman, dan hubungan yang jadi bahan iri seluruh kantor.
Tak ada yang tahu, di balik senyum itu, ia menyimpan rahasia besar yang bisa menghancurkan segalanya.
(Bersambung)…
langsung mp sama Jingga...
biar Kevin gak ngejar-ngejar Jingga
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya