NovelToon NovelToon
After The Fall

After The Fall

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi
Popularitas:4.1k
Nilai: 5
Nama Author: ARQ ween004

Viora Zealodie Walker, seorang gadis cantik yang memiliki kehidupan nyaris sempurna tanpa celah, namun seseorang berhasil menghancurkan segalanya dan membuat dirinya trauma hingga dia bertekad untuk mengubur sikap lemah, lugu, dan polosnya yang dulu menjadi sosok kuat, mandiri dan sifat dingin yang mendominasi.

Bahkan dia pindah sekolah ke tempat di mana ia mulai bangkit dari semua keterpurukan nya dan bertemu dengan seseorang yang diam-diam akan mencoba merobohkan tembok pertahanan nya yang beku.

Sosok dari masa lalu yang dia sendiri tidak pernah menyadari, sosok yang diam-diam memperhatikan dan peduli pada setiap gerak dan tindakan yang di ambilnya.

Agler Emilio Kendrick ketua geng motor besar yang ada di jakarta selatan sana... Black venom.

Dia adalah bad boy, yang memiliki sikap arogan.

Dan dia adalah sosok itu...

Akankah Agler berhasil mencairkan hati beku Viora dan merobohkan dinding pertahanan nya, atau cintanya tak kunjung mendapat balasan dan bertepuk sebelah tangan??

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARQ ween004, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

langkah baru

Jam istirahat ke dua di Starlight School selalu terasa hidup, tapi siang itu suasananya jauh lebih ramai dari biasanya. Udara hangat bercampur aroma rumput segar dari taman belakang sekolah, tempat puluhan siswa berkumpul mengelilingi sebuah panggung kecil di bawah rindangnya pohon flamboyan.

Di atas panggung sederhana itu, beberapa anggota Music Club tengah bersiap—menyetel gitar, memeriksa mikrofon, dan menyesuaikan suara drum.

Spanduk bertuliskan “Mini Live Performance — Music Club Showcase” terbentang rapi di belakang mereka.

Zea, Arcelyn, Claudy, dan Valesya baru saja tiba. Keempatnya berjalan beriringan melewati kerumunan yang semakin padat, menarik perhatian beberapa siswa di sekitar.

“Wah, rame juga ya,” gumam Claudy sambil menepuk rok seragamnya sebelum duduk di salah satu bangku panjang.

Arcelyn langsung bersandar santai ke sandaran kursi, pandangannya tak lepas dari panggung. “Katanya, vokalis baru anak musik itu keren banget. Gue penasaran sama penampilan pertama nya.”

Zea menoleh singkat. “Anak baru yang di kelas kita itu?”

“Iya,” jawab Arcelyn, matanya masih berbinar.

“Yang kemarin sempat ramai dibicarain?” tanya Valesya dengan nada datar khasnya.

“He’em. Namanya Qyler Khaf Alexander. Katanya pindahan dari luar negeri,” sahut Zea.

Baru saja kalimat itu meluncur, suara petikan gitar mulai terdengar—jernih dan bersih—disusul hentakan drum yang lembut tapi berirama. Suasana langsung berubah riuh ketika seorang siswa dengan kemeja putih lengan tergulung naik ke panggung.

Qyler.

Rambutnya sedikit berantakan namun tetap rapi, wajahnya teduh dengan tatapan tenang. Ada sesuatu yang berbeda darinya—bukan dingin yang menakutkan, tapi karisma diam yang secara alami menarik perhatian seluruh taman.

Ia memegang mikrofon tanpa banyak bicara.

“Selamat siang. Kami dari Music Club, dan ini lagu pertama kami — Fireline. Semoga kalian suka.”

Nada suaranya dalam, sedikit serak, tapi justru menambah pesona. Begitu musik dimulai, suaranya mengalun stabil—tenang namun kuat. Setiap bait terasa effortless, namun mampu menggema di udara sore itu.

Arcelyn yang sedari tadi menatap panggung nyaris lupa bernapas. Ia bersandar ke depan, matanya berkilat penuh minat.

“Gue gak nyangka anak baru bisa setenang itu di depan banyak orang,” gumamnya pelan.

Valesya melirik sekilas. “Jangan bilang itu target berikut lo, Celyn?” ujarnya dingin. Ia tahu betul reputasi sahabatnya sebagai playgirl yang sulit ditandingi.

Arcelyn terkekeh kecil. “Bisa jadi. Tapi kayaknya kali ini bakal agak susah deh. Auranya aja udah beda.”

“Huh… semua cowok lo ratain,” sela Claudy dengan nada julid, membuat Zea terkekeh kecil di sampingnya.

Sorak penonton kembali pecah ketika Qyler menutup lagu pertama. Ia menunduk sedikit, tersenyum tipis tanpa berlebihan. Tatapannya sempat menyapu kerumunan—cukup sekilas untuk membuat sebagian besar siswi menahan napas tanpa sadar.

“Lagu berikutnya… sedikit lebih santai,” katanya singkat. “Judulnya Silver Sky.”

Musik berubah lembut, nyaris seperti hembusan angin. Nada-nada gitar berpadu dengan ritme pelan drum, menciptakan suasana tenang yang memantul di antara daun flamboyan. Zea bersandar santai, membiarkan suara musik mengisi udara sore.

Arcelyn masih terpaku, dagunya kini bertumpu di kedua tangan. “Gue suka gaya nyanyinya. Gak lebay, tapi dalem banget.”

Claudy cepat menimpali, “Lo beneran jatuh cinta pada pandangan pertama.”

“Kayaknya,” jawab Arcelyn santai, tanpa mengalihkan pandangan.

Ketika lagu terakhir selesai, tepuk tangan menggema. Qyler hanya memberi anggukan singkat sebelum menuruni panggung bersama rekan-rekannya.

Claudy berdiri sambil meregangkan badan. “Wah, gak nyangka bakal sebagus ini. Harusnya setiap istirahat gini aja, gak sih?”

Arcelyn menatap panggung yang kini kosong, senyumnya samar. “Gue setuju…” katanya pelan.

Valesya hanya menghela napas kecil. “Kayaknya mulai banyak yang bakal ngomongin anak itu. Apalagi udah ditargetin sama bocah satu ini.” Ia melirik Arcelyn sekilas.

Zea tersenyum tipis. “Kayaknya iya.”

Setelah acara mini konser berakhir, halaman belakang perlahan mulai sepi. Beberapa siswa masih sibuk membicarakan penampilan Qyler dan Music Club, sementara sebagian lainnya beranjak kembali ke kelas sebelum bel masuk berbunyi.

Arcelyn menegakkan tubuhnya, merapikan rambutnya yang sedikit tertiup angin.

“Gue nyusul belakangan ya,” katanya ringan, sambil sedikit merapikan penampilan nya di cermin kecil yang selalu ia bawa di kantong seragamnya.

Claudy menatapnya dengan ekspresi curiga. “Mau ke mana lagi, Celyn?”

Arcelyn hanya menatap sekilas, senyumnya mengembang penuh percaya diri. “Ngucapin selamat ke bintang sore ini, tentunya.”

Valesya menggeleng kecil, setengah pasrah. “Jangan sampai cowoknya kabur duluan.”

Arcelyn hanya mengangkat alis, lalu berbalik melangkah pergi.

°°°

Qyler baru saja menurunkan gitar dan menaruhnya ke dalam tas hitam panjang ketika suara langkah sepatu bersuara ritmis mendekat dari belakang.

“Penampilan yang bagus,” ujar Arcelyn dengan nada ringan namun terukur.

Qyler menoleh singkat. “Thanks.” Jawabannya pendek, datar, tanpa sedikit pun intonasi yang bisa diartikan sebagai ketertarikan. Ia kembali membereskan kabel mic.

Tapi Arcelyn tak menyerah. Ia melangkah lebih dekat, berhenti tepat di hadapan Qyler. “Lo kelihatan tenang banget di atas panggung. Biasanya anak baru butuh waktu lama buat nyatu sama atmosfer Starlight.”

“Gue terbiasa tampil,” jawab Qyler tanpa menatap langsung, suaranya tetap stabil.

Arcelyn menyilangkan tangan di depan dada, matanya menatap Qyler penuh penilaian. “Menarik. Gue pikir anak-anak pindahan bakal gugup di sini. Tapi lo beda.”

Nada suaranya lembut, tapi ada pesona dominan yang tak bisa diabaikan.

Qyler akhirnya menatap, tatapannya tajam tapi tetap tenang. “Mungkin karena gue gak terlalu peduli sama kesan orang.”

Ia menutup resleting tas gitarnya, lalu melangkah ke samping, memberi jarak.

Senyum Arcelyn sedikit mengembang — bukan tersinggung, tapi justru semakin tertarik.

“Cool,” ujarnya pelan. “Tapi di Starlight, cepat atau lambat, semua orang peduli sama pandangan orang lain.”

Qyler hanya menghela napas, menatap sekilas ke arah kerumunan kecil di kejauhan. “Mungkin gue pengecualian.”

Beberapa siswi yang lewat berhenti sejenak, berbisik-bisik lirih sambil menatap keduanya.

“Itu Arcelyn, kan? Deket banget sama anak musik yang baru pindah…”

“Kayaknya dia lagi ngerayu, deh.”

“Qyler-nya cuek banget ya—gila, berani juga nolak vibe-nya Arcelyn.”

Bisikan itu cukup keras untuk terdengar.

Arcelyn berbalik menatap mereka — senyum manis di wajahnya berubah tajam.

“Kalau mau ngomongin orang, pastiin jaraknya cukup jauh, biar gak malu sendiri pas gue denger,” katanya dingin, suaranya jernih tapi berkarisma.

Tiga siswi itu langsung menunduk panik dan bergegas pergi.

Qyler menatapnya sekilas. “Lo terbiasa bikin orang takut?”

“Bukan takut,” jawab Arcelyn, menatapnya lagi. “Cuma biar mereka belajar kapan harus diam.”

Qyler menautkan tali tas gitarnya di bahu, lalu berbalik hendak pergi. “Saran aja, mungkin lo bakal lebih dapet simpati kalau gak terlalu dominan.”

Arcelyn terdiam sesaat — lalu tersenyum samar. “Gue gak butuh simpati, Kay. Gue cuma tertarik sama hal yang beda.”

Qyler menatapnya sekilas, tapi tak menjawab. Ia hanya melangkah pergi, meninggalkan Arcelyn dengan angin sore yang berembus lembut di rambutnya.

Arcelyn berdiri di tempatnya, mata menatap punggung Qyler yang menjauh. Tatapannya bukan marah, melainkan penuh rasa ingin tahu.

Senyum kecil kembali muncul di bibirnya. “Oke, this might be fun.”

°°°

Sisi lain — halaman depan sekolah

Zea baru saja menutup botol minumnya ketika seseorang dari Student Council menghampirinya sambil membawa clipboard.

“Zea, kan?” sapanya ramah. “Kita lagi rekrut anggota baru buat beberapa kegiatan sekolah. Kayaknya kamu cocok banget kalau ikut salah satunya.”

Zea menatap dengan ekspresi sedikit terkejut.

“Kegiatan apa aja, ya?”

“Banyak,” jawabnya cepat. “Marching band, cheer squad, literary club, atau event committee. Arcelyn juga ikut salah satunya—dia gabung ke cheer squad.”

Claudy yang kebetulan lewat langsung menyela. “Lo harusnya ikut cheer squad juga, Zee. Lo punya aura yang pas buat itu.”

Zea terkekeh. “Aura apa? Aura capek latihan tiap sore?”

Valesya yang berdiri tak jauh dari situ hanya mengangkat alis. “Kalau lo ikut, setengah cowok Starlight langsung daftar jadi supporter.”

Zea tertawa kecil, lalu menatap papan pengumuman di belakang mereka — deretan daftar kegiatan sekolah yang terpajang rapi.

“Mungkin gue lihat-lihat dulu, deh,” katanya akhirnya dengan nada tenang.

Sebenarnya, tidak ada salahnya jika ia ikut berkecimpung dalam kegiatan di sekolah ini. Setidaknya, itu bisa membuatnya lebih sibuk — dan mungkin juga membantu melupakan masalahnya dengan Rafka lewat kesibukan barunya.

Zea berdiri beberapa langkah lebih dekat ke papan pengumuman. Matanya menelusuri baris demi baris kertas berwarna pastel yang ditempel rapi — setiap kegiatan dengan deskripsi singkat dan nama penanggung jawab di bawahnya.

Marching Band — disiplin dan penuh semangat.

Cheer Squad — ekspresif, percaya diri, dan teamwork.

Literary Club — eksplorasi ide, puisi, dan opini.

Event Committee — perencanaan acara besar sekolah dan festival tahunan.

Ia berhenti lama di bagian terakhir. Ada sesuatu dalam kata “perencanaan” yang terasa selaras dengannya — sesuatu yang teratur, tenang, tapi tetap punya ruang untuk ide.

Claudy yang sedari tadi memperhatikannya langsung bersandar ke papan, menatap Zea penuh penasaran.

“Gue tebak lo bakal pilih Literary Club. Lo kan suka nulis, suka mikir dalem-dalem gitu.”

Zea mengangkat bahu kecil. “Dulu mungkin iya. Tapi sekarang… gue pengin coba kegiatan yang baru.”

Arcelyn yang baru saja datang dengan rambut kuncir tinggi khas cheer squad-nya langsung menimpali sambil menenteng botol air.

“Event Committee, maybe? Mereka yang ngatur semua acara besar Starlight. Gue denger bulan depan bakal ada Starlight Cultural Gala. Itu proyek besar.”

“Serius?” tanya Zea, kini menatap nama Event Committee itu lebih lama.

“Iya,” jawab Arcelyn sambil tersenyum penuh semangat. “Dan lo cocok banget buat posisi kayak gitu.  Lo punya selera, tenang, bisa mikir cepat. Anak-anak kayak lo biasanya yang bikin acara jadi elegan, bukan berantakan.”

Claudy menatap Arcelyn lalu mendecak. “Lo promosiin Event Committee kayak lagi jual kosmetik, Cel.”

Arcelyn tertawa, tapi tatapannya ke Zea tetap serius. “Gue cuma bilang yang bener. Kayaknya lo butuh tempat buat ngarahin pikiran lo ke hal lain, kan?”

Ucapan itu menancap pelan di dada Zea — karena Arcelyn benar.

Mungkin ini saatnya berhenti berlari dari bayangan masa lalu.

Zea menarik napas dalam, lalu menatap panitia Student Council yang masih menunggu dengan clipboard di tangan.

“Oke,” katanya akhirnya, dengan nada pasti. “Gue daftar di Event Committee.”

“Great!” respon panitia itu antusias, segera mencatat namanya di kolom daftar. “Rapat perkenalan nanti sore jam empat di ruang serbaguna. Jangan telat ya!”

Zea mengangguk dan tersenyum kecil. “Siap.”

Claudy langsung menepuk pundaknya. “Welcome to chaos, babe. Lo bakal sibuk banget abis ini.”

“Justru itu,” jawab Zea santai, sambil menutup kembali botol minumnya. “Gue butuh sibuk.”

Arcelyn tersenyum samar.

Sementara angin sore berhembus pelan di halaman depan Starlight School, Zea menatap langit yang mulai memudar keemasan.

Tanpa sadar, langkah kecil itu akan membawanya bertemu kembali dengan seseorang yang

selama ini hanya hidup di keping kenangan.

***

1
Mar lina
pasti Agler
yg menatap nya secara dlm...
lanjut thor ceritanya
Mar lina
siapa ya
sosok misterius itu???
Mar lina
bener Rafka ada main sama sahabat Viola
lanjut thor
Yunita Aristya
kok aku merasa friska ada main sama rafka🤭
ARQ ween004
Aku update tiap hari jam delapan ya! makasih yang udah mampir 🫶 tinggalkan jejak kalian di kolom komentar sini ya! biar aku tambah semangat nulisnya, hhe...

love u sekebon buat para readers ku🫶🫶
Madie 66
Aku jadi bisa melupakan masalah sehari-hari setelah baca cerita ini, terima kasih author!
ARQ ween004: makasih kembali, makasih udah baca cerita ku dan aku juga senang kalau kalian suka🫶🫶
total 1 replies
Carlos Vazquez Hernandez
Dapat pelajaran berharga. 🧐
Kelestine Santoso
Menguras air mata
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!