Aruna Prameswari tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dalam sekejap. Seorang dokter muda abad ke-21 yang penuh idealisme, ia mendadak terhempas ke abad ke-19, masa kelam kolonial Belanda di tanah Jawa. Saat rakyat tercekik oleh sistem tanam paksa, kelaparan, dan penyakit menular, kehadiran Aruna dengan pengetahuan medis modern membuatnya dipandang sebagai penyelamat sekaligus ancaman.
Di mata rakyat kecil, ia adalah cahaya harapan; seorang penyembuh ajaib yang mampu melawan derita. Namun bagi pihak kolonial, Aruna hanyalah alat berharga yang harus dikendalikan.
Pertemuannya dengan Gubernur Jenderal Van der Capellen membuka lembaran baru dalam hidupnya. Sosok pria itu bukan hanya sekedar penguasa, tetapi juga lawan, sekutu, sekaligus seseorang yang perlahan menguji hati Aruna. Dalam dunia asing yang menyesakkan, Aruna harus mencari arti keberadaannya: apakah ia hanya tamu yang tersesat di masa lalu, atau justru takdir membawanya ke sini untuk mengubah sejarah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3. SEKILAS INFORMASI
Aruna terbangun pagi itu dengan tubuh yang masih terasa lemah. Bau kayu bakar yang menyisakan arang tercium samar dari tungku di sudut ruangan, bercampur dengan wangi dedaunan kering yang digantung di atasnya. Cahaya mentari pagi menyusup lewat sela-sela anyaman dinding bambu, membentuk garis-garis tipis keemasan di lantai tanah. Ia mengerjap, mencoba menyesuaikan diri dengan dunia asing yang kini benar-benar nyata di hadapannya.
Di hadapannya, Nyi Ratna sedang duduk bersila. Perempuan tua itu menatapnya dengan mata teduh yang menyimpan sesuatu antara kasih dan kecemasan. Tangannya sibuk melipat sehelai kain jarik bermotif parang sederhana.
"Nduk, kau harus mengenakan ini," ucap Nyi Ratna dengan suara lirih, seakan tak ingin mengejutkan Aruna. "Pakaianmu semalam ... terlalu mencolok. Kalau ada mata-mata yang melihat, bisa runyam urusannya."
Aruna menoleh ke arah baju yang ia kenakan semalam: kemeja putih bersih, celana panjang berbahan katun, dan jaket dokter muda yang menjadi kebanggaannya. Semua itu kini terlipat rapi di sudut ruangan. Ia mendesah pelan. Baju itu adalah identitasnya, penanda siapa dirinya. Namun di mata dunia asing ini, mungkin justru menjadi bencana.
"Kenapa?" tanyanya lirih yang kini mencoba memakai bahasa baku formal agar tidak terdengar aneh di situasi ini. "Apakah ada yang salah jika aku terlihat berbeda?"
Nyi Ratna menggeleng pelan. Ia menyodorkan kain jarik itu, lalu di atasnya ada kebaya lusuh berwarna cokelat tanah. "Bukan salahmu. Tapi, lihatlah kulitmu, pucat, putih bersih seperti beras tumbuk. Orang akan mengira kau bagian dari mereka."
"Londo?" sela Aruna, menatap penuh tanda tanya.
Nyi Ratna mengangguk dengan getir. "Ya. Para Londo. Banyak mata yang membenci, banyak pula yang haus akan kuasa. Kalau mereka melihatmu, mereka mungkin curiga. Atau ..." Nyi Ratna menunduk sebentar, seakan berat mengucapkannya. "Atau menginginkanmu untuk hal-hal buruk."
Aruna tercekat. Hatinya bergidik membayangkan kemungkinan itu. Ia menggenggam kain pemberian Nyi Ratna dengan tangan bergetar. "Baiklah ... kalau ini bisa membuatku aman, aku akan mengenakannya."
Dengan sabar, Nyi Ratna membantu Aruna berganti pakaian. Jarik dililitkan di pinggang, dilipat rapi hingga menutup betis. Kebaya lusuh disampirkan dan dipasang di tubuhnya. Rambut hitam panjang Aruna diikat sederhana dengan kain kecil, digelung seadanya di tengkuk. Saat akhirnya ia berdiri, Aruna nyaris tak mengenali dirinya sendiri di cermin kecil berbingkai kayu.
"Sekarang kau tampak seperti gadis desa biasa," kata Nyi Ratna dengan senyum samar. "Hanya saja ... kecantikanmu masih terlalu mencolok. Semoga Gusti melindungi, agar tiada mata jahat yang melirikmu."
Aruna tersipu malu sekaligus waswas. Ia belum pernah dipandang sebagai ancaman hanya karena parasnya. Padahal di masa Aruna, tampang Aruna termasuk yang standar saja, karena ada bagitu wanita cantik di era modern.
Setelah Aruna merasa sedikit nyaman dengan pakaian barunya, ia duduk berhadapan dengan Nyi Ratna di dekat tungku. Rasa ingin tahunya tak bisa dibendung lagi. Ia harus tahu kondisi dan situasi sekarang agar tidak melakukan kesalahan fatal yang membahayakan hidup Aruna sendiri.
"Nyi, bolehkah aku bertanya? Aku ingin tahu tentang tempat ini. Tentang desa ini ... tentang orang-orang Londo itu ... tentang keadaan sekarang."
Nyi Ratna menatapnya lama, seakan menimbang apakah gadis asing ini cukup pantas menerima kebenaran. Lalu ia menghela napas panjang.
"Desa ini bernama Dukuh Waringin, dekat Depok Lama," katanya pelan. "Tempat kecil di pinggiran alas, yang masih jauh dari jalan raya. Di sini orang hidup seadanya, bertani singkong, menanam padi saat sawahnya dapat air. Kami menghindar dari hiruk pikuk jalan besar, karena di sana sering lewat serdadu Kompeni."
"Kompeni?" ulang Aruna, mencoba merangkai potongan sejarah dalam kepalanya.
"Ya. Tentara Londo. Mereka berkeliling, memungut hasil bumi dari rakyat. Katanya untuk negeri jauh di seberang lautan. Kopi, tebu, nila ... semua dipaksa tanam. Hasilnya dibawa pergi, rakyat sendiri kelaparan."
Aruna terdiam. Ingatannya tentang pelajaran sejarah di sekolah menyeruak samar. Sistem tanam paksa: Cultuurstelsel. Ia tidak menyangka kini sedang mendengar langsung dari seorang saksi hidup.
"Apakah semua orang di sini takut pada mereka?" tanya Aruna.
"Takut, benci, pasrah. Semua bercampur. Orang yang melawan dibantai. Orang yang tunduk tetap sengsara. Kompeni tak pernah benar-benar peduli pada nyawa pribumi," jawab Nyi Ratna.
Aruna merasakan sesak di dadanya. Ia menunduk, lalu memberanikan diri bertanya lebih jauh. "Kalau Nyi sendiri, asli lahir di desa ini?"
Mata Nyi Ratna berkaca-kaca. Ia menatap ke luar jendela, seakan melihat bayangan masa lalu.
"Aku berasal dari Desa Lengkong," katanya dengan suara bergetar. "Itu dulu, sekitar dua puluh tahun lalu. Kau tahu apa yang terjadi?”
Aruna menggeleng perlahan.
"Kompeni datang, menuduh desa kami menyembunyikan laskar pemberontak. Mereka menyerbu di malam hari. Api membakar lumbung, rumah-rumah, bahkan balai desa. Suamiku terbunuh saat mencoba melindungi keluarga. Anakku, dia masih kecil waktu itu, terinjak-injak dalam kekacauan. Aku ... aku hanya bisa berlari, menyelamatkan diri dengan beberapa orang lainnya."
Suara Nyi Ratna pecah. Tangan tuanya meremas lutut dengan kuat, seakan masih terasa sakitnya kehilangan.
Aruna menahan napas, matanya panas mendengar cerita itu. Ia ingin meraih tangan perempuan tua itu, dan akhirnya melakukannya. "Aku ... turut berduka, Nyi. Aku tidak bisa membayangkan betapa beratnya."
Nyi Ratna tersenyum pahit, lalu menyeka air matanya dengan ujung kain. "Sejak saat itu aku datang ke Dukuh Waringin. Orang-orang di sini menerimaku. Aku membantu mereka sebisaku, mengobati luka, meramu jamu, menolong perempuan melahirkan. Orang-orang menyebutku tabib atau dukun beranak. Padahal, ilmuku terbatas. Aku hanya belajar dari orang tua dulu, dari pengalaman."
Aruna menatapnya dengan penuh rasa hormat. "Tapi apa yang Nyi lakukan sangat berarti. Kau menyelamatkan nyawa orang-orang."
Perempuan tua itu tersenyum samar. "Entahlah. Aku hanya berusaha. Tapi sejak itu, aku hidup seorang diri. Maka ... ketika kau kutemukan semalam di pinggir hutan, aku merasa Gusti mengirimkanmu kepadaku. Tinggallah bersamaku, Aruna. Aku sudah tua. Kehadiranmu membuat rumah ini terasa hangat lagi."
Aruna terdiam lama. Ada rasa haru yang merayapi dadanya. Baginya, tawaran itu bukan sekadar tumpangan, melainkan pertolongan di tengah kebingungannya. Ia mengangguk perlahan. "Terima kasih, Nyi. Terima kasih karena sudah mau membantuku."
Namun kebersamaan mereka baru seumur jagung ketika tiba-tiba pintu rumah digedor-gedor keras.
Dug! Dug! Dug!
"Mbok Ratna! Mbok Ratna! Tolong! Anak saya ... anak saya sakit keras!"
Suara seorang lelaki terdengar dari luar, parau dan cemas.
Nyi Ratna terperanjat, segera bangkit. Ia membuka pintu, mendapati seorang petani dengan wajah pucat penuh keringat. "Tolonglah, Mbok. Anak saya tidak berhenti panas dan menggigil."
Tanpa ragu, Nyi Ratna mengangguk. "Baik. Aku akan datang." Ia menoleh pada Aruna yang berdiri kebingungan. "Kau ikut denganku, Nduk. Aku tak bisa meninggalkanmu sendirian di rumah ini."
Aruna menelan ludah, jantungnya berdebar. Namun ia segera mengangguk. "Baik, Nyi. Aku ikut."
Dengan tergesa, mereka berdua bersiap. Nyi Ratna mengambil buntalan kecil berisi ramuan dan daun kering, lalu melangkah keluar bersama Aruna, mengikuti sang petani menuju rumah yang memanggil pertolongan.