Lima tahun sudah Gunung Es itu membeku, dan Risa hanya bisa menatap dingin dari kejauhan.
Pernikahan yang didasarkan pada wasiat kakek membuat Damian, suaminya, yakin bahwa Risa hanyalah gadis panti asuhan yang gila harta. Tuduhan itu menjadi mantra harian, bahkan ketika mereka tinggal satu atap—namun pisah kamar—di balik dinding kaku rumah tangga mereka.
Apa yang Damian tidak tahu, Risa bertahan bukan demi kekayaan, melainkan demi balas budi pada kakek yang telah membiayai pendidikannya. Ia diam-diam melindungi perusahaan suaminya, mati-matian memenangkan tender, dan menjaga janjinya dengan segenap jiwa.
Namun, ketahanan Risa diuji saat mantan pacar Damian kembali sebagai klien besar.
Di bawah ancaman perceraian jika proyek itu gagal, Risa harus berhadapan dengan masa lalu Damian sekaligus membuktikan loyalitasnya. Ia berhasil. Proyek dimenangkan, ancaman perceraian ditarik.
Tapi, Risa sudah lelah. Setelah lima tahun berjuang sendirian, menghadapi sikap dingin suami, dan meny
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pukulan Ganda
Pukul dua siang, lantai ke-30 terasa lebih dingin dari biasanya. Manager Risa memasuki ruang rapat utama. Ia sudah menyerahkan berkas revisi Proyek Gamma yang diminta Damian, tetapi ia tahu dipanggilnya rapat strategis mendadak ini pasti bukan sekadar formalitas. Itu adalah ujian.
Di meja panjang, Damian sudah duduk di posisi kepala. Di sisinya ada Reno, dan di seberangnya ada beberapa manajer senior dari divisi Keuangan dan Operasional, termasuk Risa.
Tatapan Risa lurus, fokus, dan tanpa emosi. Wajahnya yang sedikit pucat disembunyikan di balik postur tubuh yang sempurna.
Bahkan tadi Risa belum sempat makan siang karena dia lebih memilih waktu makan siangnya digunakan untuk sekedar memejamkan mata karena tubuhnya bener-bener tidak bisa di ajak kompromi
Akan tetapi di ruangan ini seperti biasa Risa harus tetap terlihat sehat karena dia takut jika Damian bilang jika Risa sedang cari perhatian
Rapat dimulai. Damian langsung menunjuk slide Proyek Gamma yang telah Risa susun.
"Laporan Manager Risa ini menunjukkan potensi keuntungan yang tinggi. Tapi, seperti biasa, potensi risiko juga sama tingginya," ujar Damian, suaranya menguasai ruangan.
Ia menggunakan nada yang tidak memuji, melainkan skeptis seolah ia sedang membahas laporan seorang mahasiswa, bukan manajer andalan perusahaan.
"Manager Risa," lanjut Damian, sorot matanya yang tajam tertuju langsung pada Risa.
"Dalam skema investasi jangka menengah ini, Anda hanya meminimalisir risiko 0,5% dari potensi kerugian terburuk. Menurut saya, angka itu terlalu optimis. Atau apakah karena Anda sudah terbiasa hidup dengan risiko besar, sehingga angka ini terasa aman bagi Anda?"
Pertanyaan itu menusuk dua kali lipat. Secara profesional, itu meragukan keahliannya. Secara personal, itu adalah sindiran brutal tentang masa lalu Risa yang tinggal di panti asuhan, yang bagi Damian, adalah "risiko besar" yang selalu dihindarinya.
Semua manajer lain terdiam, merasakan ketegangan yang merayap. Mereka tahu bahwa komentar Damian tidak adil, tetapi tak ada yang berani membantah CEO.
Risa menanggapi dengan tenang, tanpa membiarkan emosinya terlihat. Bukan hanya soal emosi tapi kepala pusing Risa saat ini jujur saja sedikit menganggu nya.
"Tuan Damian, skema risiko telah didasarkan pada perhitungan data pasar lima tahun terakhir," jawab Risa, suaranya tetap profesional. "Tambahan 0,5% yang diminta Tuan Hartono sudah kami penuhi. Jika risiko harus dikurangi lebih dari itu, kita harus mengorbankan potensi keuntungan 15% yang sudah kita targetkan. Saya tidak melihat adanya manfaat untuk mengorbankan keuntungan perusahaan hanya demi ketenangan pribadi."
Risa menekan kata "ketenangan pribadi", mengembalikannya pada Damian. Risa tahu, Damian ingin dia mencari alasan untuk gagal, tetapi Risa tidak akan memberikannya.
"Ketenangan pribadi, atau kepastian aset?" balas Damian tajam. "Saya hanya ingin memastikan bahwa perusahaan tidak akan bangkrut karena rencana agresif yang didorong oleh ambisi seseorang. Anda harus ingat, Manager Risa, Wijaya Group dibangun di atas prinsip kehati-hatian, bukan keberanian yang membabi buta."
Keberanian yang membabi buta... Risa tahu Damian tidak hanya membahas strategi bisnis. Dia membahas keputusan Kakeknya untuk menikahkannya, dan ambisi yang Damian yakini Risa miliki.
Risa membiarkan rasa sakit di perutnya membakar sedikit, serta kepala yang berdenyut menggunakannya sebagai bahan bakar untuk mempertahankan diri.
"Tuan Damian, saya menghargai prinsip kehati-hatian perusahaan. Itulah sebabnya saya menambahkan klausul fleksibilitas aset likuid di Poin Delapan," Risa menjelaskan dengan fasih. "Klausul itu menjamin jika terjadi penurunan nilai pasar, kita bisa mengamankan 40% dari investasi awal kita dalam waktu 72 jam. Itu adalah jaring pengaman yang paling kokoh yang bisa kita berikan, tanpa mengurangi keuntungan yang bisa kita peroleh."
Penjelasan Risa detail, logis, dan tidak terbantahkan. Bahkan Damian pun harus mengakui, secara profesional, Risa memang cemerlang.
Damian menatap Risa lama. Matanya menyiratkan kekecewaan karena tidak menemukan celah fatal.
"Baiklah, saya akan memeriksanya lebih lanjut malam ini," putus Damian, mengakhiri perdebatan itu dengan tiba-tiba. "Rapat selesai. Manager Risa, tunggu sebentar."
Semua manajer bergegas meninggalkan ruangan, merasa lega. Risa tetap duduk, menunggu perintah suami yang adalah bosnya.
Damian menunggu sampai ruangan benar-benar kosong. Ia bangkit, melipat kedua tangan di dada, dan berdiri di depan Risa.
"Laporan itu harus sempurna, Risa," Damian berbisik, kini menggunakan nama depannya, meski suaranya tetap beku. "Jangan berpikir karena Anda bisa mendapatkan proyek itu, Anda bisa bersantai. Dan ingat, satu kesalahan, dan ini bukan hanya tentang posisi Anda. Ini tentang perjanjian kita."
Ancaman itu jelas: perceraian.
Saat menatap Risa dari dekat, Damian sedikit tersentak. Ia melihat samar-samar ada kantung gelap di bawah mata Risa, dan wajah istrinya memang terlihat lebih pucat dari biasanya. Sekilas, rasa bersalah menusuknya, menyalahkan dirinya sendiri atas tekanan kerja yang baru saja ia berikan.
Namun, rasa bersalah itu hilang seketika, terhapus oleh ingatan yang lebih pahit—ingatan tentang mantan kekasihnya, wanita yang seharusnya ia nikahi jika saja Kakeknya tidak memaksanya menikahi Risa.
Wanita ini hanya pura-pura lelah. Dia selalu berhasil mendapatkan apa yang dia mau.
"Saya mengerti, Tuan Damian. Perjanjian itu adalah hal terakhir yang saya langgar," jawab Risa, anggukan pelannya disertai rasa lelah luar biasa membebani bahunya.
Damian tidak puas hanya dengan ancaman perceraian. Ia ingin memastikan Risa merasakan tekanan total. Ia ingin Risa menyerah, sehingga ia bisa terbebas tanpa harus melanggar wasiat kakeknya sendiri.
"Bagus kalau Anda mengingat perjanjian itu," Damian melangkah mendekat, suaranya merendah menjadi bisikan tajam yang hanya bisa didengar Risa. "Dan karena Anda begitu kompeten, saya punya tugas tambahan."
Risa mendongak. Di matanya tidak ada ketakutan, hanya kelelahan yang disamarkan oleh tekad.
"Saya akan menyerahkan negosiasi tahap kedua Proyek Gamma sepenuhnya kepada Anda. Ini melibatkan pertemuan pribadi dengan perwakilan klien di luar jam kantor. Anda harus memastikan tidak ada hambatan sama sekali," perintah Damian, memberikan penekanan khusus pada kata 'hambatan'.
Risa merasakan jantungnya berdebar. Pertemuan di luar jam kantor. Ini bisa menjadi jebakan lain. "Bukankah biasanya negosiasi sebesar ini ditangani oleh tim Hukum dan Operasional, Tuan Damian?"
"Tidak kali ini. Saya ingin tangan Anda sendiri yang mengurusnya," balas Damian, senyum sinis tersungging di bibirnya. "Anggap ini sebagai uji coba loyalitas Anda yang sesungguhnya kepada perusahaan. Atau Anda khawatir... takut tidak bisa melakukannya karena Anda hanya wanita dari panti asuhan yang beruntung?"
Pukulan telak itu berhasil menghantam Risa. Sindiran tentang panti asuhan adalah senjata favorit Damian untuk melukai dan merendahkannya. Pusing di kepalanya semakin menjadi.
"Saya akan melakukannya, Tuan Damian," balas Risa, menahan getaran suaranya. Ia bangkit berdiri, menjaga jarak aman antara mereka.
Damian menyipitkan mata, puas melihat reaksi yang samar itu. "Bagus. Laporkan semua hasilnya hanya kepada saya. Dan jangan berharap saya akan menjemput Anda jika pertemuan itu selesai larut malam. Ingat, kita adalah rekan kerja di kantor, dan orang asing yang berbagi alamat di rumah."
Tanpa menunggu balasan, Damian berbalik dan keluar dari ruang rapat, meninggalkan Risa dalam keheningan yang menyesakkan, di tengah dinginnya AC dan bayang-bayang ancaman perceraian.
Risa hanya bisa bersandar pada meja. Ia tahu, Damian baru saja melemparkan sebuah bom waktu di pangkuannya. Tugas negosiasi di luar jam kantor itu bukan hanya ujian bisnis—itu adalah ujian fisik dan emosional yang mungkin tidak bisa ia tangani dalam kondisi kesehatannya saat ini.
Konflik memanas. Risa kini memiliki tugas tambahan yang berat dan ancaman perceraian yang nyata, diperparah oleh sindiran pribadinya.