"Aku nggak tahu, dari mana semuanya menjadi retak dan berantakan seperti ini. Yang kuingat, hanya ada satu titik ketika hidupku berubah drastis. Ibuku pergi meninggalkan rumah bersama dengan lelaki lain. Meski ayahku tegar dan tabah, pada akhirnya dia menyerah dan menikahi perempuan lain. Brian, adalah satu-satunya tempat dan rumah terakhir yang aku harapkan. Tetapi, dia pun juga menorehkan luka yang tak bisa kumaafkan."
Aku tak lagi percaya pada cinta, Ayah.
Tak lagi."
~ Serena Azura Auliana~
:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+
Serena telah kehilangan kepercayaannya pada cinta. Semua orang yang pernah ia cintai, yang begitu ia percayai dan anggap berarti dalam hidupnya, ternyata dengan mudah menghianati cinta itu.
Hatinya hancur berkeping-keping. Bukan sekadar patah--tapi benar-benar remuk, hingga tak tersisa apa pun selain reruntuhan yang menyakitkan. Tak ada lagi yang tertinggal, kecuali kekecewaan yang dalam, dan trauma yang perlahan menggerogoti jiwa.
Tetangga Baru?
"Aku membenci diriku sendiri karena terlalu mudah luluh oleh kata-kata manismu. Sekeras apa pun aku mencoba marah, pada akhirnya aku selalu memaafkanmu, lagi dan lagi."
\~ Serena Azura Auliana \~
***
Keesokan harinya, Serena terbangun dengan mata sembab dan kepala yang terasa berat akibat terlalu banyak menangis semalam. Rasa lelah masih melekat di tubuhnya, tapi perut yang mulai keroncongan memaksa gadis itu untuk beranjak dari tempat tidur.
Dengan kemalasan yang masih tersisa, ia menyeret kaki ke kamar mandi, mencuci wajah dengan air dingin, berharap rasa kantuk yang ada segera berkurang, meski mustahil menutupi mata sembabnya. Setelah itu, ia pun pergi untuk mengganti baju tidur dengan hoodie longgar yang lebih nyaman, lalu memutuskan untuk ke minimarket guna membeli sesuatu untuk mengisi perut.
Saat keluar dari apartemennya, Serena secara refleks menoleh ke samping. Di sana, berdiri seorang pria asing yang sedang sibuk mengutak-atik saku jaketnya—sepertinya sedang mencari kunci.
Rasa penasaran membuat Serena terpaku sejenak, tanpa sadar mengamati pria itu lebih lama dari seharusnya. Namun, begitu menyadari dirinya hampir saja menjadi manusia kepo, ia buru-buru mengalihkan pandangan dan pergi meneruskan niatnya sedari awal—yaitu membeli stok makanan di minimarket.
***
Setibanya di tempat tujuan, Serena kebingungan memilih makanan yang akan dia beli. Ada terlalu banyak rak-rak yang berisi penuh makanan beraneka macam, dan itu membuatnya menjadi lapar mata. Ia ragu harus memilih makanan yang mana, karena semuanya tampak menggiurkan.
Serena melangkah bolak-balik di antara lorong, mengamati setiap rak makanan atau camilan dengan varian yang beragam. Hingga akhirnya, pilihan pertama Serena jatuh pada sebungkus roti dengan selai kacang.
Senyum bahagia menghiasi wajah Serena. Makanan praktis seperti ini benar-benar surga bagi orang malas sepertinya. Tanpa perlu repot-repot memasak, roti itu bisa langsung dinikmati dalam satu gigitan.
Setelah memasukkan beberapa bungkus roti selai kacang ke keranjang belanjaan, Serena berlanjut ke rak di sampingnya. Di sana, deretan susu UHT murni ukuran 1 liter tersusun rapi. Ia pun mengambil satu botol susu secara random sesuai dengan kebutuhan. Beberapa camilan ringan, seperti sosis dan keripik kentang juga dimasukkan ke dalam keranjang belanja.
Kegiatan belanja Serena selesai lebih cepat dari yang ia kira. Semua yang dibutuhkan sudah masuk ke dalam keranjang, dan kini saatnya menuju kasir untuk menghitung total belanjaannya.
Setelah membayar uang pembayaran di kasir, Serena segera pergi. Takutnya nanti, kalau dia terlalu lama di sana, dia akan tergoda untuk membeli barang yang lain.
Di tengah perjalanan ke apartemennya, Serena kembali berpapasan dengan tetangga baru yang dia lihat sebelumnya. Kali ini, pria itu sedang menurunkan beberapa kardus dari bagasi mobil, terlihat sibuk dengan barang bawaannya.
Tiba-tiba saja, Serena dikejutkan oleh sesuatu yang membuat jantungnya berdetak dengan cepat. Alarm bahaya berbunyi dalam kepalanya. Saat ini, Brian sedang berlari ke arahnya.
"Sial, sejak kapan dia ada di sini?" gumamnya.
Ia berusaha berbalik pergi, tapi terlambat. Brian sudah menggenggam pergelangan tangannya dengan erat.
"Re!" panggil Brian, napasnya sedikit tersengal. "Ayo, kita bicara sebentar!"
Serena menghela napas panjang, tak berniat menuruti permintaan Brian. Namun, melihat wajahnya yang penuh harap, ia akhirnya menyerah dan mengikuti Brian ke taman kecil dekat gedung.
Mereka duduk di bangku panjang. Serena menggigit sisa sosis yang ia beli tadi, sementara Brian tampak gelisah.
"Re, kenapa semalam kamu nggak aktif? Aku juga ke apartemen kamu, tapi apartemen kamu malah gelap? Kamu ke mana kemarin?” Brian langsung menyerang Serena dengan banyaknya pertanyaan karena rasa khawatir. Ia bahkan berbicara dengan nada sedikit merayu.
"Nggak usah banyak tanya," jawab Serena singkat.
Brian mendesah. "Re, kenapa kamu kayak gini? Aku salah apa lagi?"
Serena menatap dengan ekspresi dingin. "Kamu masih nanya salahmu di mana? Aku capek, Brian. Kamu selalu sibuk sama HP-mu sendiri. Ngapain aku buang-buang waktu ketemu kamu kalau ujung-ujungnya kamu malah sibuk sendiri?"
"Aku juga butuh hiburan," bela Brian.
Serena tertawa kecil, tapi nadanya terdengar pahit. "Jadi, kehadiranku nggak menghibur sama sekali buat kamu?"
"Gak gitu maksudku, Re. Kamu jelas lebih penting dari apa pun."
Serena hanya menggeleng pelan. "Bullshit. Udahlah, aku lagi nggak mood ketemu kamu. Mending kamu main sama temen-temen tongkronganmu yang lebih asik itu."
Brian mengusap wajahnya dengan frustrasi. "Re, aku anter kamu ke tempat kerja kamu, ya?"
"Gak usah," jawab Serena tegas.
Brian menghela napas. "Kalau gitu, kamu mau aku beliin sesuatu?"
Serena mendelik. "Nggak butuh! Aku bisa beli sendiri! Kamu nggak liat apa, barang belanjaanku ini?!"
Brian terdiam sejenak. Barang belanjaan yang Serena bawa memang cukup banyak. Tapi, bukan Brian namanya kalau dia kehabisan ide begitu saja.
"Nanti aku beliin yang lain, deh. Sekalian, gimana kalau kita nonton? Kemarin kita nggak jadi nonton, karena tiba-tiba kamu hilang. Kamu tahu, aku panik banget nyariin kamu sepanjang jalan ke apart. Di apart kamu juga nggak ada."
"Bodo amat. Emang aku peduli!"
"Please, Re. Udahan marahnya, ya?" pinta Brian lirih. Wajahnya tampak memelas, berharap Serena luluh seperti biasanya.
Tapi tidak kali ini.
Serena tetap bergeming. Ekspresinya datar, nyaris dingin, meski hatinya tidak sepenuhnya kebal. Ada getaran kecil yang mengusik relungnya, namun ia menekan perasaan itu dalam-dalam. Luka dan kecewa yang ia rasakan terlalu nyata untuk diredam hanya dengan tatapan penuh penyesalan.
"Minta maaf aja kamu nggak mau. Jadi, buat apa aku harus dengerin kamu?" tukasnya tajam. Kali ini, Serena bersungguh-sungguh dengan perkataannya.
"Aku ... aku nggak terbiasa minta maaf."
Serena menghela napas panjang, menahan letih yang mulai merambat. "Ya udah. Aku juga nggak mau buang-buang waktu ngomong sama kamu lagi."
Ia beranjak, berniat pergi dan menutup percakapan itu. Tapi tangan Brian lebih cepat. Ia menggenggam pergelangan tangan Serena dengan erat. Ia tahu, bahwa jika ia melepaskannya kali ini, semua akan benar-benar berakhir.
"Aku minta maaf," ucap pria itu akhirnya, berhasil membuat langkah Serena terhenti detik itu juga.
Serena menoleh perlahan, keningnya mengernyit. Apa dia tidak salah dengar barusan?
"Coba ulangi," desak gadis itu, lebih pada sebuah perintah. Tatapannya menantang, menembus mata Brian, mencari kebenaran dalam ucapannya.
"Aku minta maaf, Sayang." Kali ini Brian mengatakannya dengan bersungguh-sungguh, tanpa ragu sedikit pun. Di balik matanya, tercermin perasaan menyesal yang besar.
Salah satu sudut bibir Serena melengkung. Tapi itu bukan senyum kebahagiaan—itu jelas senyum penuh kemenangan. Senyum dari seseorang yang tahu persis nilai dari harga dirinya.
"Oke. Tapi denger, ya. Sekali aja kamu ngulangin hal yang bikin aku sakit hati atau kecewa, kita nggak perlu ngomong soal putus. Kita selesai. Detik itu juga."
"Oke. Aku akan mengingatnya." Brian menerima syarat yang Serena ajukan tanpa protes sama sekali.
"Bagus," ucap Serena sembari menarik perlahan tangannya dari genggaman Brian. "Kamu tahu, kan, lelaki sejati itu memegang ucapannya. Sekali kamu mengingkari itu, artinya kamu bukan lelaki sejati. Kamu sunat aja lagi sekalian sana!"
Brian terkekeh kecil, mendengar omelan Serena yang menurutnya sangat menggemaskan.
"Kenapa kamu ketawa?"
Brian langsung terdiam saat itu juga. Tidak berani mengeluarkan suara sama sekali.
"Aku serius, ya!"
"Iya, iya, Re Sayang. Ternyata kamu bawel banget, sih. Tapi, entah kenapa, aku suka dengar omelanmu."
Serena memutar bola matanya, setengah kesal, setengah malu. "Apa sih? Jangan sok manis. Gombalan kamu nggak mempan. Aku harus siap-siap sekarang. Sebentar lagi mau berangkat ngajar."
Melihat Serena hendak pergi, Brian menoleh ke arah kantong belanjaan yang terlihat penuh sesak di tangan gadis itu. "Sini biar aku bantu. Itu kayaknya berat banget, deh."
"Nggak usah. Aku masih sanggup kok. Lagi pula, aku lagi nggak terima tamu." Serena melotot tajam saat Brian hendak meraih kantong belanjaannya.
"Tapi—"
"Aku serius, Brian." Saking kesalnya, Serena tanpa sadar meninggikan suaranya sedikit. "Kalau kamu tetap maksa, mending kamu pulang aja sana!"
Hening sejenak. Lalu Brian mengangkat tangannya ke atas, sejajar dengan telinga. "Oke, oke. Aku ngerti. Aku nggak akan maksa, tapi aku akan tunggu kamu di sini."
Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Serena memilih untuk pergi, meninggalkan Brian yang hanya terpaku di tempat.
Beberapa langkah telah diambil saat rasa penasaran membuat Serena menoleh ke belakang. Tatapannya bertemu langsung dengan mata Brian. Pria itu cepat-cepat melambaikan tangan, disertai senyum khasnya—senyum yang selalu berhasil memikat banyak wanita.
Serena mengakui, Brian memang tampan, tapi di sisi lain, dia sangat menyebalkan.
"Mengapa selalu begini?"gerutu Serena merasa kesal setengah mati.
Rasa kesal dan jengkel itu, bukan ditunjukkan hanya pada Brian semata, tetapi juga pada dirinya sendiri. Setiap kali mendengar suara lembut Brian, seolah semua kemarahannya mereda begitu saja, seperti es yang mencair. Meski hatinya terluka dan kesal, seringkali satu kata manis dari Brian sudah cukup untuk meluluhkan perasaannya, dan itu membuatnya kesal setengah mati.
"Kenapa aku gampang banget luluh, sih?!" Serena mengomel pada dirinya sendiri, seraya menendang udara dengan geram.
Brian sempat tertawa kecil melihat tingkah konyol Serena dari kejauhan. Ada sesuatu yang lucu dan menggemaskan dari caranya melampiaskan kekesalan. Tapi tawa itu tak bertahan lama—senyumnya perlahan memudar, digantikan oleh bayang-bayang penyesalan yang kembali menghantui.
Kali ini, ia menghela napas dalam diam. Karena kebodohannya sendiri, ia nyaris kehilangan Serena—wanita yang telah menemaninya selama tujuh tahun, dan satu-satunya wanita yang hanya dia cintai di dunia ini.
***
Lift berdenting pelan sebelum pintunya terbuka. Serena melangkah masuk, tetangga barunya juga menyusul masuk ke dalam lift sambil membawa beberapa kardus besar yang bertumpuk tinggi. Kardus-kardus itu tampak tidak stabil, bergoyang sedikit saat lift mulai bergerak ke atas.
Serena memerhatikan pria itu, yang tampak sedang berusaha menjaga keseimbangan dari tumpukan barang yang dibawanya. Namun, ketika lift sedikit berguncang saat berpindah lantai, kardus paling atas mulai miring, dan nyaris terjatuh.
Refleks, Serena mengangkat satu tangan ke udara, berniat menahan kardus itu sebelum benar-benar terjatuh. Namun ia lupa, tangannya sendiri tengah sibuk menenteng beberapa kantong belanjaan yang tidak sedikit.
Lift yang sempit membuat ruang gerak terbatas. Adhan langsung bereaksi cepat. Ia menurunkan semua barang bawaannya ke lantai, dan segera menyusun ulang posisi kardus-kardusnya agar lebih stabil dan tidak membahayakan orang di sekitarnya. Ia tak mau ada yang terluka, apalagi karena kelalaiannya sendiri.
"Maaf. Saya hampir aja bikin Anda celaka," ucap Adhan penuh penyesalan.
Serena menggeleng pelan, masih sedikit terkejut namun mencoba tersenyum.
"Nggak apa-apa, kok. Lagi pula, nggak sampai terjadi apa-apa."
"Tapi tetap saja, saya minta maaf," katanya sekali lagi sembari menunduk sopan.
"Iya, lain kali hati-hati aja, ya."
Setelah itu, tak ada percakapan lagi di antara mereka. Keheningan kembali mengisi ruang lift yang sempit itu, menyisakan hanya suara samar dari mesin yang bekerja membawa mereka ke lantai tujuan.
Keduanya dipastikan larut dalam pikiran masing-masing. Serena pun memang bukan tipe yang mudah berbicara dengan orang asing—bahkan dengan tetangganya sendiri. Bukan karena sombong, tapi karena lingkungan apartemen ini memang begitu. Penghuninya cenderung tertutup, sibuk dengan pekerjaan dan urusan pribadi.
Begitu pintu lift terbuka, kedua manusia itu kembali menjadi asing seperti sebelumnya. Mereka masuk ke dalam unit mereka masing-masing.
Serena segera mengunci pintu apartemennya, lalu meletakkan kantong belanjaan di atas meja. Ia menghela napas panjang, mencoba meredakan sisa ketegangan. Tangannya merogoh saku hoodie, menarik keluar gawai yang sejak tadi tersembunyi di dalamnya.
Sederet pesan dan panggilan tak terjawab memenuhi layar sesaat setelah ponsel Serena aktif kembali. Serena mengerutkan kening, matanya tertuju pada notifikasi chat yang didominasi oleh pesan-pesan dari Brian. Senyum tipis mengembang di bibirnya saat melihat betapa banyaknya pesan yang masuk, seolah Brian tidak bisa tenang ketika tak mendapat jawaban darinya.
"Rasain! Salah sendiri bikin orang kesel!" nyinyirnya, seolah mendapatkan kemenangan yang penuh.
Serena menggulir layar, membaca sekilas pesan terakhir dari Brian: "Aku tunggu di bawah, ya."
Ia menghela napas pelan. Puluhan pesan menumpuk di layar—Brian memang pria yang tak kenal lelah. Inilah alasan mengapa Serena sempat menonaktifkan ponselnya. Ia tahu betul, Brian akan terus menghubungi, mengatakan hal-hal manis yang mampu meluluhkan hatinya.
Serena sendiri pun mengakui, kebulolannya sudah mencapai level tertinggi.
Tanpa berniat membalas, ia meletakkan ponsel di atas kasur. Pesan terakhir dari Brian tetap tak ia gubris sama sekali.
Meski tahu Brian sedang menunggunya di bawah, tapi Serena memilih untuk tidak tergesa-gesa. Ia berjalan ke kamar mandi, membersihkan diri, lalu bersiap-siap sebelum berangkat kerja.
Bersambung
Rabu, 25 Agustus 2025