Apa yang akan kalian lakukan jika tiba-tiba kalian terbagun di tubuh orang lain. Apa lagi tubuh seorang idola terkenal dan kaya raya.
Itulah yang sedang di rasakan Anya. Namun, ia bangun di tubuh Arka, seorang Leader boyband Rhapsody. Ia mendadak harus bersikap seperti seorang idola, tuntutan kerja yang berbeda.
Ia harus berjuang menghadapi sorotan media, penggemar yang fanatik, dan jadwal yang padat, sembari mencari cara untuk kembali ke tubuhnya sendiri sebelum rahasia ini terbongkar dan hidupnya hancur.
Mampukah Anya bertahan dalam peran yang tak pernah ia impikan, dan akankah ia menemukan jalan pulang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUJIYAKAR 03
Siapa yang tidak mengenal Anya Katherine dan Arka Orion? Di kantor, mereka selalu menjadi perbincangan. Anya dikenal sebagai sosok yang lemah lembut dan selalu menuruti perkataan Arka.
Rekan kerja Anya sering merasa kasihan dan menyarankan Anya untuk pindah kerja, tetapi Anya selalu menolak.
Awalnya, Anya sangat mengidolakan Rhapsody, sebelum ia mengetahui sifat Arka yang sebenarnya.
Arka dikenal tegas, tetapi juga sering menindas Anya dan memperlakukannya semena-mena.
Anya selalu berusaha menahan diri, mengingat perjuangannya untuk bisa sampai di posisi ini.
Tidak ada yang tahu bahwa Anya sangat mengidolakan Rhapsody, karena salah satu syarat untuk bekerja di Starlight Agency adalah bukan bagian dari Rhap Zone , sebutan untuk para penggemar mereka.
Semua mata tertuju padanya.
"Kau waras, kan, Arka? Beneran baik-baik aja kepalamu?" tanya Lex sambil menangkup kedua pipinya.
Shofia menggeleng pelan, wajahnya tampak khawatir. "Parah! Pasti ada masalah di otaknya."
Anya yang kebingungan mengintip dari balik tubuh Shofia, menatap Arka seolah meminta pertolongan. Namun, Arka hanya memutar bola matanya dengan malas.
"Kenapa sih? Aku baik-baik aja, kok," sahut Anya.
"Nggak mungkin! Sejak kapan kau panggil aku 'Buk Alana'? Dulu aku selalu minta kau panggil aku dengan sebutan itu, tapi kau tetap panggil aku 'Mis Bawel'," jelas Alana sambil menatap Anya dengan heran.
Anya hanya bisa tersenyum, tapi senyum itu tampak dipaksakan.
Tentu saja Anya tak berani memanggil Alana dengan sebutan 'Mis Bawel'. Selama ini, dia memanggilnya dengan sebutan 'Buk'.
Anya belum terbiasa dengan dirinya yang sekarang. Ini baru permulaan, dan dia pasti akan menghadapi hal-hal yang lebih memusingkan lagi nantinya.
Anya menggaruk kepalanya. "Iya, kayaknya aku emang butuh istirahat, sih."
Arka yang tadinya duduk di sofa langsung bangkit dan mendekati mereka dengan tangan terlipat di dada.
Tiba-tiba, Shofia berbalik dan menatapnya tajam. "Anya! Ini semua pasti ulah kamu, kan? Sudah bikin semuanya kacau, sekarang kamu malah bikin Arka celaka!"
Tangan Shofia terangkat, hendak menampar Anya.
Anya dalam tubuh Arka panik. "Aduh! Kepalaku sakit," rintihnya.
"Anya, tolong bawa mereka semua keluar! Aku mau istirahat, kepalaku sakit banget," seru Anya, berusaha menyelamatkan Arka dari amukan Shofia.
Arka memelototi Anya, seolah tak terima diperintah. Namun, Anya balas memelototinya sambil mengangguk-anggukkan kepala, memberi isyarat agar Arka menurut.
Arka menatapnya sekilas. Dengan terpaksa ia menurutinya. Ia mendorong semua orang keluar ruangan.
"Setelah keluar dari sini, datang ke ruanganku. Aku mau buat perhitungan dengamu, Anya!" ujar Shofia sebelum pergi.
Arka tetap bersikap tenang, sekaligus kesal. Ia selalu di salahkan,seharusnya Anya lah yang ada di posisi ini.
Setelah semua orang keluar, Arka masuk kembali ke dalam.
Ia mendekat ke tempat Anya berada. "Puas! Sekarang kau bisa seenaknya men nyuruh-nyuruh ku."
"Ya maaf, aku ngelakuin ini juga buat kau kok. Biar kau gak kena marah bu Shofia."
Arka menghela nafas panjang berusaha mengendalikan emosi. "Kayaknya enak ya tidur di ruangan ini? Sekarang turun! Aku mau tinggal di sini. Kau tahu sendiri kan tempatmu itu sempit dan satu ruangan isinya banyak orang. Kau nggak merasa bersalah, apa?"
Anya mengangguk dan segera turun dari ranjang, lalu melangkah menuju pintu.
"Mau ke mana kau?" tanya Arka.
Anya berhenti dan berbalik. "Pergi ke ruanganmu."
"Kau gila ya? Sadar nggak sih, sekarang kau ada di tubuh siapa? Itu tubuhku! Kalau kau ke ruangan itu, yang ada semua orang bakal ngerumunin kau. Ngerti? Tetap di sini!" ujar Arka dengan nada datar dan tatapan dingin seperti biasa.
Anya tertunduk dan kembali masuk.
"Baik," jawabanya lirih.
Setelah beberapa hari menjalani perawatan di rumah sakit, Anya dan Arka diperbolehkan pulang.
Seorang sopir sudah menunggu mereka di depan rumah sakit. Anya mengenakan topi hitam dan masker wajah untuk menyembunyikan diri.
Di luar, kerumunan paparazi sudah menunggu untuk mewawancarai mereka. Karena kondisi Arka belum sepenuhnya pulih, pihak agensi melarang adanya wawancara.
Julian, sang bodyguard, senantiasa menjaga mereka. Arka, yang seharusnya dilindungi, justru membawakan beberapa keperluan Anya.
"Maaf," bisik Anya pelan.
Arka hanya mendengus kesal. Mereka segera keluar dari ruangan. Saat melewati lorong rumah sakit, banyak suster yang tampak antusias melihat mereka.
Mereka berjalan cepat menuju lobi. Saat tiba di depan pintu rumah sakit, wartawan sudah memadati area tersebut.
Julian langsung merangkul Anya, mencoba melindunginya, sementara Arka menatapnya dengan tatapan dingin.
Saat pintu terbuka, semua wartawan berdesakan mendekat. Beberapa petugas keamanan sampai kewalahan menghalau mereka.
"Bagaimana keadaan kamu, Arka?" teriak salah seorang wartawan.
"Apa benar kecelakaan ini diakibatkan oleh kelalaian asisten kamu?" sahut yang lain.
Mendengar pertanyaan itu, hati Anya terasa sakit seperti dihantam benda keras. Ia dituduh sebagai penyebab kecelakaan Arka. Meskipun begitu, ia juga tidak bisa menyangkal fakta tersebut.
Julian mendekap Anya erat dan membawanya menuju mobil. Semua wartawan mengejar mereka.
Setelah Anya masuk ke dalam mobil, mereka merasa kecewa karena Arka enggan memberikan klarifikasi.
"Hah ... kenapa aku repot-repot bersembunyi? Sekarang bahkan tidak ada yang memperhatikanku. Ternyata ada baiknya juga aku berada di tubuhnya, setidaknya aku bisa bebas sebentar. Yah ... anggap saja ini liburan," gumam Arka sambil memeluk tas di tangannya.
Plak!
Se butir telur pecah mengenai kepala Arka. Ia memegang kepalanya yang sekarang berbau amis dan terasa lengket.
Matanya menatap tajam ke arah asal lemparan telur itu. Arka mengeratkan giginya, matanya memicing dengan tajam.