Setelah Mahesa Sura menemukan bahwa ia adalah putra seorang bangsawan yang seharusnya menjadi seorang raja, ia pun menyusun sebuah rencana untuk mengambil kembali hak yang seharusnya menjadi milik nya.
Darah biru yang mengalir dalam tubuhnya menjadi modal awal bagi nya untuk membangun kekuatan dari rakyat. Intrik-intrik istana kini mewarnai hari hari Mahesa Sura yang harus berjuang melawan kekuasaan orang yang seharusnya tidak duduk di singgasana kerajaan.
Akankah perjuangan Mahesa Sura ini akan berhasil? Bagaimana kisah asmara nya dengan Cempakawangi, Dewi Jinggawati ataupun Putri Bhre Lodaya selanjutnya? Temukan jawabannya di Titisan Darah Biru 2 : Singgasana Berdarah hanya di Noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ebez, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perempuan Bercadar Hitam
Semua orang yang ada di ruangan pendapa sanggar pamujan Kampung Widas itu langsung menganggukkan kepalanya mendengar omongan Si Iblis Wulung. Dalam hati mereka, semuanya mengucapkan sumpah setia akan berjuang bersama demi mengembalikan tahta Kertabhumi kepada pemilik sahnya.
Malam semakin larut. Dingin musim kemarau mulai mencekik kulit para penduduk Kampung Widas hingga mereka harus menggunakan selimut dan kain yang tebal untuk menghangatkan tubuh. Bulan sabit yang menggantung di langit barat seolah menjadi saksi akan sebuah babak baru dalam sejarah Mandala Kertabhumi.
Dua hari kemudian...
Pagi itu di kediaman Rakai Pamutuh, usai sarapan pagi bersama Sempani mendekati Cempakawangi dan Mahesa Sura.
"Pagi ini juga aku akan berangkat ke Lembah Seratus Pedang, Nimas..
Masalah ini harus secepatnya kita selesaikan. Aku akan membujuk para sesepuh Lembah Seratus Pedang untuk memberikan bantuan kepada Iblis Wulung. Aku mohon undur diri, Nimas Cempaka. Secepatnya aku akan kembali lagi dengan membawa bantuan dari Lembah Seratus Pedang ", ucap Sempani sembari membungkuk hormat.
"Hati-hati Paman..
Sampaikan kepada mereka bahwa aku tidak mendukung Kakang Mahesa Sura hanya karena aku adalah kekasihnya tetapi aku mendukungnya karena aku melihat penderitaan rakyat Kertabhumi", balas Cempakawangi sembari menganggukan kepalanya sebagai isyarat setuju dengan permintaan pengiringnya itu.
Sempani menatap ke arah Mahesa Sura sesaat sebelum ia melompat ke atas punggung kuda pemberian Rakai Pamutuh.
"Aku titip Nimas Cempaka, Iblis Wulung. Jika sampai terjadi sesuatu pada nya, aku akan mengejar mu meskipun hingga ke ujung dunia sekalipun", ucap Sempani segera.
" Kau tak perlu khawatir, Paman. Aku akan menjaganya dengan nyawa ku", sahut Mahesa Sura sembari tersenyum.
Sempani menggebrak kuda tunggangan nya melesat ke arah barat, meninggalkan Kampung Widas. Debu-debu jalanan beterbangan mengiringi derap kaki kuda mencecah jalanan setapak yang membelah hutan di barat kampung terpencil itu.
"Aku juga akan mencari dukungan dari bekas murid Padepokan Bukit Rawit, Raden..
Aku ingat beberapa orang murid kesayangan ku menetap di beberapa wilayah yang berada di sekitar Pakuwon Wilangan ini. Aku sangat yakin mereka akan bersedia untuk bergabung dengan kita", ujar Nyai Landhep yang nampak sudah bersiap untuk pergi. Buntalan kain hitam khas seorang pengembara yang berisi bekal perjalanan sudah tersandang rapi di pundaknya.
"Apa kau tidak ingin membawa seseorang untuk menemani perjalanan mu Nyai? ", tanya Mahesa Sura yang segera dibalas dengan gelengan kepala Nyai Landhep.
" Tidak perlu, Raden..
Itu malah akan memperlambat laju pergerakan ku. Jika bertemu dengan para prajurit Kertabhumi pun aku juga tidak akan sembarangan bertindak. Jangan khawatir, aku akan baik-baik saja. Aku permisi dulu.. "
Usai berkata demikian, Nyai Landhep menjejakkan kakinya ke tanah dengan keras. Tubuh perempuan paruh baya itu langsung melenting tinggi ke angkasa dan sekejap mata kemudian ia sudah menghilang dari pandangan mata Mahesa Sura dan Cempakawangi.
Tak lama setelah Sempani dan Nyai Landhep pergi, Rakai Pamutuh datang bersama dengan Tunggak dan beberapa orang kepercayaan nya. Lelaki tua yang rambutnya telah memutih itu nampak celingak-celinguk mencari sesuatu.
"Nyai Landhep kemana Nakmas Pangeran?", tanya Rakai Pamutuh segera.
" Dia sudah pergi, Ki..
Katanya ingin meminta bantuan dari bekas murid Padepokan Bukit Rawit yang tinggal di sekitar Pakuwon Wilangan sini", sahut Cempakawangi yang diamini dengan anggukan kepala Mahesa Sura.
"Hadehh perempuan itu tetap saja keras kepala semaunya sendiri seperti dulu..
Huuuhhhhh, sudahlah terserah mau apa dia. Sasongko, Banyak Reksa..!
Kalian berdua aku tugaskan untuk menghubungi Akuwu Caruban dan Gemarang juga pada Tumenggung Lembu Ijo di Jagaraga. Yakinkan mereka untuk membantu kita jika ada pertanyaan setelah membaca nawala yang ku kirimkan. Ingat, jika mereka tidak bersedia untuk memberikan bantuan berupa prajurit, lebih baik kalian terima jika bantuan nya berupa harta benda yang bisa kita gunakan sebagai modal awal perjuangan kita. Kalian mengerti?", Rakai Pamutuh menatap wajah dua orang kepercayaan nya itu lekat-lekat.
"Kami mengerti Lurah e.. ", jawab Sasongko dan Banyak Reksa bersama-sama.
Dua orang kepercayaan Rakai Pamutuh itu bergegas pergi dengan menaiki kuda yang sudah disiapkan sebelumnya. Keduanya bergegas menuju ke arah wilayah Pakuwon Caruban yang ada di sebelah barat.
Setelah mereka pergi, Tunggak mendekati Mahesa Sura yang masih berdiri di tempatnya didampingi oleh Cempakawangi dan Rakai Pamutuh.
"Para utusan itu sudah pergi. Lantas apa yang kita lakukan selanjutnya Sura? Masak cuma berdiam diri saja menunggu mereka kembali? ", tanya Tunggak segera.
" Pertanyaan yang bagus, Anak Muda..
Melihat keadaan kalian yang masih belum pulih sepenuhnya setelah pertarungan lalu, sebaiknya kalian beristirahat. Aku sudah mengumpulkan para pemuda dan tokoh masyarakat Kampung Widas, dan mereka sudah setuju untuk membantu Nakmas Danurwenda untuk menyerbu Kotaraja Anjuk Ladang. Sambil menunggu mereka semua kembali, kita bisa melatih mereka semua juga sambil memulihkan kembali kesehatan kalian semua ", sahut Rakai Pamutuh segera.
" Begitu juga baik Ki..
Dengan adanya dukungan dari seluruh masyarakat Kampung Widas dan Ki Rakai, aku yakin keinginan kita untuk membantu Kakang Mahesa akan bisa terwujud segera ", timpal Cempakawangi yang membuat Mahesa Sura tersenyum tipis.
Maka mulai hari itu, para pemuda Kampung Widas dilatih untuk menjadi seorang prajurit oleh Mahesa Sura bersama dengan Rakai Pamutuh. Sebanyak seratus orang pemuda dilatih menggunakan senjata berupa pedang dan tombak. 50 gadis desa lainnya di ajari menggunakan anak panah dan diberi nama pasukan Srikandi. Dengan tekun mereka berlatih, mempelajari tentang ilmu pertarungan dengan baik.
Sedangkan para sesepuh desa dan para wanita tua dibawah pimpinan Tunggak mulai mengumpulkan bahan makanan yang bisa digunakan untuk keperluan penyerbuan. Mereka mencoba untuk membuat makanan yang tahan lama agar bisa digunakan sebagai pangan saat peperangan terjadi. Selain dengan mengeringkan singkong dari ladang mereka dan daging babi hutan yang mudah mereka dapat di hutan sekitar Kampung Widas, mereka juga mengumpulkan biji-bijian lain serta palawija dan juga pala kependem yang bisa ditemukan dalam hutan yang ada di barat dan utara perkampungan. Tak butuh waktu lama, lumbung desa Kampung Widas penuh dengan pelbagai jenis bahan pangan.
Sementara Kampung Widas mempersiapkan diri untuk mengumpulkan kebutuhan pangan yang akan digunakan untuk rencana besar mereka, Nyai Landhep terus menghubungi bekas murid Padepokan Bukit Rawit. Rata-rata mereka mau bergabung dengan kelompok Mahesa Sura dan bersedia untuk memberikan bantuan dan harta benda sebagai modal awal perjuangan.
Siang itu, Nyai Landhep sedang asyik menikmati sajian makanan yang ada di warung makan setelah berhasil mengajak Liman Jinawi, salah satu adik seperguruan nya yang kini menetap sebagai pedagang beras besar di pinggiran kota Anjuk Ladang bergabung dalam kelompok Mahesa Sura.
Tiba-tiba ekor mata perempuan paruh baya ini melihat sesosok perempuan muda yang mengenakan cadar hitam untuk menutupi separuh wajahnya berjalan memasuki warung makan yang cukup ramai itu. Tentu saja kedatangan perempuan muda bercadar hitam itu sontak memantik keingintahuan dari beberapa orang termasuk dua orang anak muda yang sepertinya adalah pendekar.
"Kang Thukul, sepertinya perempuan bercadar itu cantik ya? Lihat saja kulitnya kuning langsat begitu, pasti akan menarik jika dia telanjang hihihi.. ", bisik seorang pemuda berbadan ceking pada lelaki bertubuh kekar yang menyandang sebuah pedang besar di punggungnya.
" Sudah ku bilang, jangan panggil aku Thukul lagi. Aku ini sekarang adalah Pendekar Pedang Mentawa. Nama ku sekarang adalah Ganggadara. Akan memalukan jika orang tahu nama asli ku, Dong!! ", geram lelaki bertubuh kekar itu segera.
" Oh eh iya lupa aku Kang Thu eh Kang Ganggadara hehehe maaf maaf Kang..
Sekarang apa Kakang Ganggadara tertarik untuk mendekati perempuan bercadar hitam itu? Kalau cantik, bisa dibawa pulang ke Berbek sebagai istri loh Kang. Guru pasti akan senang dengan hal itu ", bujuk Bodong yang membuat Ganggadara manggut-manggut setuju.
Dua pendekar muda itu, Ganggadara alias Thukul dan Bodong bergegas menuju meja dimana perempuan bercadar hitam itu duduk.
" Nisanak, sepertinya kau bukan orang sini ya hehehe..
Saudara ku ini adalah Ganggadara pendekar tersohor di sini, Si Pendekar Pedang Mentawa. Kau bisa mengenal nya adalah keberuntungan besar untuk mu. Apakah kau mau berteman dengan kami? ", ucap Bodong sembari memamerkan senyum mesumnya.
" Tidak tertarik.. ", jawab perempuan bercadar hitam itu singkat.
" Kau...!!! ", geram Bodong mendengar nada bicara ketus sang perempuan bercadar hitam ini. Dia segera menoleh ke arah Ganggadara yang membuat pria bertubuh kekar itu langsung menepak meja makan di depan perempuan bercadar hitam itu.
Brruuuaaaakkkkk..!!!
Meja makan itu langsung hancur berantakan setelah tepukan tangan Ganggadara mengenainya. Tetapi perempuan bercadar hitam itu langsung bergerak mundur dengan anggun dan berdiri tak jauh dari tempat Nyai Landhep berada.
Orang-orang di warung makan ini langsung berhamburan meninggalkan tempat itu, takut menjadi korban serangan nyasar. Hanya beberapa orang saja yang masih bertahan seolah-olah tak ada yang terjadi.
"Dikasih hati malah minta jantung. Kau harus diberi pelajaran!! ", teriak Bodong sambil menerjang ke arah perempuan bercadar hitam.
Dengan gesit, perempuan bercadar hitam itu berkelit dan tendangan Bodong langsung mengarah ke tempat Nyai Landhep berada. Dengan cepat, Nyai Landhep menangkap pergelangan kaki Bodong dan melemparkan nya ke arah lain.
Whhuuuuuuttttt...
Brruuuaaaakkkkk!!!!
Ganggadara alias Thukul langsung marah besar melihat saudara nya di lemparkan oleh Nyai Landhep. Pria bertubuh kekar itu langsung mencabut pedang besar di punggung nya dan mengacungkan nya pada Nyai Landhep sembari berkata,
"Kau cari mati..!!! "
dibikin series kolosal pasti bagus