NovelToon NovelToon
If I Life Again

If I Life Again

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Mafia / CEO / Time Travel / Fantasi Wanita
Popularitas:824
Nilai: 5
Nama Author: Ws. Glo

Apakah kamu pernah mengalami hal terburuk hingga membuatmu ingin sekali memutar-balik waktu? Jika kamu diberikan kesempatan kedua untuk hidup kembali di masa lalu setelah sempat di sapa oleh maut, apa yang akan kamu lakukan terlebih dahulu?

Wislay Antika sangat mengidolakan Gustro anggota boy band terkenal di negaranya, bernama BLUE. Moment dimana ia akhirnya bisa datang ke konser idolanya tersebut setelah mati-matian menabung, ternyata menjadi hari yang paling membuatnya hancur.

Wislay mendapat kabar bahwa ibunya yang berada di kampung halaman, tiba-tiba meninggal dunia. Sementara di hari yang sama, konser BLUE mendadak dibatalkan karena Gustro mengalami kecelakaan tragis di perjalanan saat menuju tempat konser dilaksanakan, hingga ia pun meregang nyawanya!

Wislay yang dihantam bertubi-tubi oleh kabar mencengangkan itu pun, memilih untuk mengakhiri hidup dengan melompat dari gedung. Namun yang terjadi justru diluar dugaannya!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ws. Glo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

IILA 02

Langit kota terlihat mendung saat pesawat yang ditumpangi Wislay akhirnya mendarat di ibu kota, Thorns City. Angin dari jendela bandara menerpa wajahnya dengan dingin yang menembus kulit. Tapi bukan cuaca yang membuatnya menggigil, melainkan kenangan dan juga butir-butir penderitaan didalamnya.

Kota yang penuh memori indah sekaligus tempat dimana harapan dan tubuhnya terkikis habis. Namun kini, dengan tekad dan ingatan masa depan yang kembali bersamanya, ia datang sebagai pribadi berbeda.

Di pelataran bandara, seorang pria paruh baya menunggunya dengan wajah datar dan tatapan yang sulit ditebak. Itu adalah Pak Rinto, pamannya dari pihak ayah, yang bersedia menampungnya selama ia mempersiapkan diri sebelum kuliah dimulai.

“Lay,” sapa Pak Rinto singkat.

Wislay tersenyum kecil. “Iya, Paman. Terima kasih sudah jemput.”

Perjalanan dari bandara ke rumah pamannya terasa panjang. Jalan-jalan besar, gedung pencakar langit, dan keramaian ibu kota mengalir di jendela mobil. Semua tampak seperti dejavu yang menusuk.

Sesampainya di rumah pamannya, aroma masakan dan suara tangisan anak kecil menyambutnya. Tante Ayu, istri pamannya, keluar dari dapur sambil menggendong anak mereka yang masih balita.

“Oh, Lay! Kamu sudah sampai. Masuk, ya. Jangan lupa lepas sepatu,” ucapnya, setengah tergesa sambil menggendong bocah yang tengah rewel.

Wislay masuk, meletakkan tasnya. Rumah ini masih seperti yang ia ingat—tidak terlalu luas, tapi cukup untuk satu keluarga kecil. Namun dalam kehidupannya yang dulu, rumah ini berubah menjadi neraka kecil. Enam bulan ia di sini, bukan untuk ‘menyesuaikan diri’ seperti yang dijanjikan, melainkan mengurus rumah, mengasuh anak mereka, hingga ia kehilangan berat badan dan semangat.

Tapi kali ini, tidak. Sebab ia datang dengan rencana.

Satu hari sebelum keberangkatannya dari kampung, Wislay telah menelpon sahabat lamanya, Rani—teman sekolah yang lebih dulu merantau ke ibu kota dan sekarang bekerja di sebuah kafe kecil di Rose Regency.

"Ran, tolong bantu aku bersandiwara sedikit. Aku akan bilang pada paman dan tante kalau aku dapat pekerjaan paruh waktu di tempat kamu kerja. Minimal, alasan itu cukup kuat buat menghindari mereka menyuruhku jadi babu ataupun baby sitter gratis selama enam bulan ke depan."

Rani sempat terdiam di ujung telepon, lalu menjawab, "Oke, aku bantu. Nanti kamu bilang aja, kamu mulai kerja minggu depan. Aku akan backup kalau ada yang tanya. Tapi kamu serius?"

"Aku sangat serius. Kali ini, hidupku harus berbeda."

"Maksudmu?"

"Tidak ada apa-apa, Ran. Makasih ya."

"Oke, Wislay."

Kini, duduk di ruang tamu rumah pamannya, Wislay memulai sandiwara itu.

"Paman, Tante," ucapnya dengan suara lembut namun tegas. "Aku sudah dapat kerja paruh waktu. Mulai minggu depan aku akan bantu-bantu di sebuah kafe, dekat kampus yang akan menjadi tempatku berkuliah nantinya. Temanku yang bantu masukin.”

Pak Rinto dan Tante Ayu saling berpandangan.

"Kok buru-buru banget kerja? Kamu kan belum mulai kuliah. Emang bapak dan mamamu setuju? Perasaan, rencana mereka tidak kaya gini sebelumnya," kata Tante Ayu sambil membetulkan letak gendongan anaknya.

"Aku hanya pengen cepat menyesuaikan diri. Dan juga... mau bantu biaya sendiri. Biar nggak terlalu merepotkan. Bapak sama mama juga setuju kok,” jawab Wislay, masih dengan senyum yang ia latih sejak di kampung.

Pak Rinto mengangguk pendek. “Ya sudah. Yang penting kamu jaga diri. Jangan sampai keteteran antara kerja dan kuliah nanti. Kemudian, jangan berpacaran dulu sebelum impianmu serta bapak ibumu, tercapai.”

“Siap, Paman.”

Wislay menatap dinding ruang tamu. Dalam hatinya ia berkata, "dulu aku hanya diam dan menerima. Tapi sekarang, aku yang kendalikan alur hidupku."

Dan inilah awal baru untuk menyelamatkan masa depan.

...****************...

...****************...

Beberapa hari setelah tinggal di rumah pamannya, Wislay menjalankan rencananya. Dengan alasan memulai pekerjaan paruh waktu, ia pamit kepada Pak Rinto dan Tante Ayu, lalu berangkat menuju tempat tinggal Rani.

Setelah perpisahan singkat yang tanpa curiga dari keluarga pamannya, Wislay membawa koper kecil dan uang saku dua juta rupiah yang diberikan oleh ayah dan ibunya sebelum berangkat ke ibu kota. Uang itu ia hemat betul-betul, karena ia tahu bahwa pada kehidupan sebelumnya, uang kebutuhannya lah yang seringkali jadi beban kedua orangtuanya khususnya sang ibu.

Sebab bila diulas, keluarga Wislay bukan orang yang cukup mampu. Namun karena tidak ingin mengubur mimpi anak, kedua orangtuanya rela meminjam uang kesana-kemari hingga ditumpuki oleh utang yang banyak, bila sedang dalam keadaan sesak.

Kali ini, Wislay bertekad tidak boleh bergantung pada siapa pun kecuali dirinya sendiri.

Rani menyambutnya dengan pelukan hangat di depan kos-kosan kecil yang terletak di gang sempit area Rose Regency.

"Gila... kamu beneran dateng!" kata Rani dengan senyum lebar.

"Aku nggak punya pilihan," sahut Wislay sambil tertawa kecil, walau lelah terlihat jelas di wajahnya. "Tapi serius, Ran... makasih banget, ya. Kamu penyelamat hidupku."

"Kita saling bantu. Lagian aku juga butuh tetangga kosan yang bisa diajak begadang nonton drama," canda Rani sambil membantu membawa koper Wislay ke dalam.

Kos-kosan itu sederhana tapi nyaman. Sepetak kamar kecil untuk ditinggali Wislay yang cukup untuk satu kasur lipat, sebuah meja belajar, lemari dan kipas angin tua yang berdiri di pojok ruangan. Tapi bagi Wislay, itu adalah surga kecil. Di seberang kamarnya adalah tempat Rani. Jadi jika butuh apa-apa, tidak susah untuk menjangkaunya.

Selama beberapa hari pertama, ia menghabiskan waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar, mengenal pemilik kosan, dan membersihkan area kosan dengan dibantu oleh Rani dan anak-anak lain. Namun tak lupa, setiap malam ia duduk di pojok kamar sambil membuka ponselnya, mencari-cari lowongan kerja seraya menggigit bibir menahan kecemasan.

Rani juga tidak tinggal diam. Ia bertanya pada teman-teman di tempat kerjanya, bahkan menanyakan ke pelanggan kafe yang terlihat ramah.

Dan akhirnya, seminggu kemudian, harapan datang.

“Lay! Ada toko buku di dekat perempatan Anggrek yang lagi butuh penjaga toko. Temenku, kerja di situ. Dia bilang manajernya baik banget dan butuh staff buat shift pagi!”

Mata Wislay berbinar. “Serius?! Aku bisa daftar?!”

“Bisa. Temanku bilang suruh dateng besok pagi jam delapan buat langsung wawancara. Siapin CV, ya.”

Tanpa menunggu lama, malam itu juga Wislay merapikan CV seadanya. Ia mengetik dengan penuh semangat, mengingat-ingat pengalaman kecil apa pun yang bisa ditulis, bahkan jika itu hanya pengalaman menjadi wakil ketua kelas di sekolah dulu.

Pagi harinya, ia mengenakan pakaian paling rapi yang ia punya. Sebuah kemeja putih dan celana panjang hitam, rambut diikat rapi, wajah hanya dengan bedak tipis dan lip balm.

Toko buku itu tidak terlalu besar, tapi nyaman. Aroma khas buku-buku lama menyeruak dari balik rak-rak kayu yang berjajar rapi. Saat pertama kali masuk, Wislay sudah merasa seperti menemukan tempatnya.

Manajer toko, adalah wanita paruh baya yang berpenampilan tenang dan ramah.

“Jadi kamu Wislay, ya? Kamu kuliah tahun ini?”

“Iya, Bu. Enam bulan lagi. Saya ingin kerja dulu sambil nunggu pendaftaran,” jawab Wislay penuh semangat.

Manager toko yang sebut saja namanya Bu Sari, mengangguk pelan. “Saya suka anak muda yang niat. Kita memang butuh pengganti staff yang resign minggu lalu, buat shift pagi. Nanti kamu bantu tata buku, layani pembeli, dan sesekali bantu input data. Gajinya memang nggak besar yakni dua juta lima ratus sebulan, tapi cukup buat biaya hidup dasar. Gimana?”

“Apapun saya terima, Bu. Saya bersedia belajar.”

Melihat semangat dan kerendahan hatinya, Bu Sari langsung menerima Wislay saat itu juga.

Saat pulang ke kosan, Wislay memeluk Rani dengan mata berkaca-kaca. "Ran, aku diterima. Aku kerja di toko buku. Aku... senang banget."

Rani tertawa sambil memeluk balik. “Selamat datang di dunia kerja!”

Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak kembali ke masa lalu, Wislay merasa benar-benar melangkah ke arah yang tepat. Tidak ada lagi enam bulan penuh siksaan. Tidak ada lagi air mata dalam diam. Kini, ia yang mengendalikan jalan hidupnya.

...****************...

...****************...

Sudah seminggu Wislay menjalani pekerjaannya sebagai penjaga toko buku. Pekerjaan itu memang tidak mudah, tapi juga bukan sesuatu yang tak bisa ia nikmati. Ia mulai terbiasa bangun pagi, membereskan rak, mencatat stok, dan menyapa pelanggan dengan ramah.

Pagi itu toko sangat sepi. Hanya sesekali ada orang yang datang dan keluar dengan membawa satu atau dua buku. Jam menunjukkan pukul 11 siang saat Wislay duduk di balik meja kasir, membuka bungkus roti isi dan menyeduh teh hangat dari botol termos.

Sambil menikmati waktu luangnya, ia teringat pada ibunya. Rindu membuncah. Tanpa pikir panjang, ia segera mengambil ponsel dan menelepon.

"Halo, Ma?"

Suara lembut dari seberang langsung menyahut, "Wislay! Lagi apa kamu, Nak?"

"Aku lagi di toko, Ma. Sepi banget, jadi bisa nelpon sebentar. Ma, aku cuma pengen cerita... kerja pertamaku nggak semudah yang kupikirin, tapi aku senang, Ma. Aku senang bisa ngelakuin ini dengan usahaku sendiri."

"Mama bangga banget, Nak. Meski awalnya mama sama bapak ragu, tapi akhirnya kamu bisa buktiin kalau dirimu mampu."

Wislay tersenyum tipis, menahan air mata. "Aku janji nggak akan nyusahin Mama. Biaya hidup aku di sini, biar aku tanggung sendiri. Mama simpan uangnya buat keperluan rumah aja, ya."

"Jangan maksa juga, Lay. Kalo kamu butuh, bilang ke Mama. Tapi Mama seneng dengarnya. Kamu hebat."

Wislay tertawa kecil, meski dadanya terasa sesak oleh rindu dan rasa haru.

Namun tiba-tiba, sebuah ketukan lembut di bahunya menghentikan pembicaraan.

"Permisi..."

Wislay menoleh.

Dan dunianya terhenti.

Seorang pemuda berdiri di hadapannya. Tinggi, tegap, berkulit putih bersih, dan wajah yang terlalu familiar untuk tidak dikenali. Rambutnya berwarna cokelat gelap, mengenakan kaus hitam sederhana dan celana jeans. Di tangannya, ada dua buku.

Wislay membeku. Matanya membelalak.

"Gus... Gustro..."

Suaranya nyaris tidak terdengar. Nafasnya tercekat. Tangannya gemetar.

"Iya? Apakah barusan, kau menyebut namaku?" tanya pemuda itu, tampak bingung.

Wislay masih tak bisa bergerak. Ia hanya menatap wajah itu dengan penuh emosi. Ini tidak mungkin. Ini tidak logis. Tapi yang berdiri di hadapannya kini adalah… Idolanya. Orang yang dalam hidup sebelumnya… telah meninggal.

Dari ponsel yang masih berada di tangannya, suara ibunya masih terdengar samar, “Lay? Lay? Kamu kenapa, Nak?”

Namun Wislay tidak menjawab. Ia terlalu terkejut.

Ibunya di ujung telepon menghela napas, “Halo? Putus sambungan ya? Ini sinyalnya jelek banget.” Klik.

Sambungan terputus.

Wislay tertegun, sementara air matanya mulai jatuh tanpa ia sadari. Tanpa suara. Perlahan.

Gustro melihatnya dengan tatapan cemas. Ia mengulurkan tangan ke depan, menyentuh bahu Wislay pelan.

"Hei... Kau baik-baik saja? Kau... menangis?"

Wislay tersentak sadar. Ia buru-buru menyeka air matanya.

"A-aku... maaf. Aku cuma... kaget.'

“Kalau kau nggak enak badan, aku bisa bayar bukunya sendiri.”

Wislay cepat-cepat menggeleng. “Nggak, nggak! Aku cuma... ya, sedikit emosional. Bentar ya, aku hitung dulu.”

Dengan tangan yang masih sedikit gemetar, Wislay memindai barcode buku-buku itu, menyebutkan harga dengan suara yang serak. Sementara itu, Gustro masih menatapnya seolah mencoba mengingat apakah mereka pernah bertemu sebelumnya.

Setelah transaksi selesai, pemuda itu berkata dengan nada yang agak datar tanpa ekspresi wajah. “Makasih. Ngomong-ngomong, buku keluaran terbarunya bagus-bagus. Dan ini pertama kalinya kita bertemu. Kau, karyawan baru?”

"Berarti dia sering kesini," batin Wislay.

Wislay mengangguk kaku. “Iya... Disini, aku yang mengambil shift paginya.”

Gustro tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya mengangguk lalu kemudian memalingkan badan untuk berpulang, seakan mengakhiri pembicaraan. Dan dengan itu, pemuda itu melangkah pergi.

Wislay masih berdiri di tempatnya, memegangi dadanya yang berdebar keras. Ia memejamkan mata, menahan emosi yang menggelegak dalam dadanya.

"Gustro... Meski kamu agak berbeda dari kehidupan sebelumnya... Tetapi, kamu hidup." gumamnya dalam hati.

Di antara rak-rak buku dan aroma kertas tua, takdir mempertemukan mereka lebih cepat dari yang Wislay kira.

~

1
Anonymous
ceritanya keren ih .....bagus/Bye-Bye/
Y A D O N G 🐳: Makasih lohh🥰
total 1 replies
😘cha cchy 💞
kak visual x dong juga. ..👉👈😩
😘cha cchy 💞
ini tentang lizkook kan...??
😘cha cchy 💞
kak kalo bisa ada fotonya kak biar gampang ber imajinasi...😁
😘cha cchy 💞: minta foto visual x juga nanti kak..😁🙏🙏
harus lizkook ya KK..😅😃
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!