Tes Tes Tes
Air mata Airin tertahankan lagi ketika mendapatkan tudingan yang begitu menyakitkan dari sang ayah.
Bahkan pipinya memerah, di tampar pria yang begitu dia harapkan menjadi tempat berlindung, hanya karena dia mengatakan ibunya telah dicekik oleh wanita yang sedang menangis sambil merangkulnya itu.
Dugh
"Maafkan aku nona, aku tidak sengaja"
Airin mengangguk paham dan memberikan sedikit senyum pada pria yang meminta maaf padanya barusan. Airin menghela nafas dan kembali menoleh ke arah jendela. Dia akan pulang, kembali ke ayah yang telah mengusirnya tiga tahun yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon noerazzura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3. Nona Sulung
Airin melangkahkan kakinya keluar dari bandara. Kota yang sudah dia tinggalkan selama tiga tahun ini sepertinya tidak banyak berubah, sebelum keluar Airin sudah mengeringkan jaketnya dan menggunakannya lagi.
Dan di saat yang sama, Samuel dan asistennya Billy juga sudah keluar dari bandara. Mereka menunggu supir yang akan datang menjemput mereka. Hari sudah mulai gelap, Airin masih berdiri tanpa ada niat memesan taksi atau beranjak dari tempatnya berdiri.
Mobil Samuel sudah datang, Billy segera membuka pintu mobil itu. Tapi bosnya terlihat masih fokus memperhatikan sesuatu di tempat lain. Billy juga menoleh ke arah yang sama.
Dan Billy melihat wanita yang tidak sengaja dia senggol tadi.
"Bos, bos..."
Samuel menoleh ke arah Billy yang terlihat tersenyum canggung.
"Apa aku perlu kesana dan mengatakan pada nona itu, dia bisa menumpang di mobil..."
"Bicara apa kamu?" sela Samuel terlihat marah.
Billy langsung menutup rapat mulutnya dan mundur beberapa langkah.
"Memangnya ini mobilmu? sampai kamu bisa membiarkan siapapun menumpang!" ujarnya yang langsung masuk ke dalam mobil itu dengan buru-buru.
Billy menutup pintu dan menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal.
'Kalau tidak mau diberi tumpangan, kenapa sejak tadi diperhatikan?'' batin Billy merasa bingung.
Mobil Samuel melintas di depan Airin yang masih berdiri sambil melihat langit yang sudah mulai menjadi gelap.
Samuel juga tidak tahu mengapa, tapi saat dia melewati Airin. Pandangannya benar-benar tak bisa berbohong. Dengan sendirinya dia menoleh ke arah Airin.
Billy yang masih fokus dengan pekerjaannya sama sekali tidak memperhatikan itu. Kalau dia tahu, mungkin dia akan bicara lagi dan membuat Samuel makin kesal padanya.
'Wanita ini, apa yang menarik darinya?' batin Samuel.
Sedangkan Airin sendiri, dia memang masih berdiri di tempat itu selama hampir satu jam. Sampai akhirnya dia terkekeh lirih sendiri.
"Apa yang aku harapkan? meski aku sudah mengirim pesan pada ayah kalau aku sudah sampai, bahkan perjalanan dari rumah sampai bandara tidak sampai setengah jam. Tapi aku masih disini, apa yang aku harapkan?" gumamnya.
Sebenarnya dia menunggu ayahnya menjemputnya. Atau paling tidak, setelah dia mengirimkan pesan satu jam yang lalu. Ayahnya mau mengirimkan supir untuk menjemputnya. Tapi, ternyata semua harapannya itu sia-sia.
Airin tertawa lirih. Dia sadar, seharusnya dia tidak lagi berharap pada ayahnya. Tapi, apakah mengirimkan seorang supir saja tidak terpikir. Apakah dia memang sudah dilupakan? Padahal meski tiga tahun ini, ayahnya tidak pernah mengirimkan uang bulanan. Dan hanya mengirimkan biaya kuliah, itupun langsung di bayarkan ke universitas. Tapi, Airin masih merasa dia punya ayah. Masih mengakui keberadaan ayahnya.
Airin menghela nafas panjang. Lalu menghampiri sebuah taksi yang ada di bandara itu.
Sepanjang perjalanan, dia melihat semua tempat yang cukup lama dia tinggalkan itu. Tidak banyak yang berubah, hanya beberapa bangunan baru, dan toko-toko buku yang dulu dia datangi dekat sekolahnya sudah berganti nama.
Tiga tahun bukan waktu yang singkat, tapi dia rasa, juga bukan waktu yang terlalu lama. Hingga mobil itu berhenti di sebuah rumah dengan pagar tinggi, berlantai dua dengan pekarangan yang begitu luas.
Cahaya lampu, dan lantunan musik romantis terdengar begitu Airin turun dari mobil taksi yang dia tumpangi dari bandara tadi.
Menatap rumah yang sudah dia tinggalkan selama tiga tahun, padahal sejak dia lahir, dia dulu tinggal disana. Rasanya ada perasaan yang membuat dadanya penuh. Airin tersenyum, menghela nafasnya dengan sangat panjang. Itu adalah pesta anniversary ayahnya dan ibu tirinya. Jika ada yang melihatnya sedih, maka itu akan menjadi kesempatan bagus untuk Susan dan Vivi membuat masalah untuknya.
Pintu pagar itu terbuka, satpam yang bekerja disana. Bukan lagi satpam yang bekerja selama 18 tahun dia lihat.
"Selamat malam, nona cari siapa?" tanya satpam itu dengan tatapan curiga.
Penampilan Airin memang sangat biasa. Dia membiarkan rambut lurusnya tergerai. Dengan jaket dan celana panjang biasa, harganya juga tidak terlalu mahal.
"Aku Airin, anak ayah Felix" jawabnya.
Satpam yang tadinya melihat dengan tatapan aneh itu langsung menaikkan kedua alisnya.
"Oh, nona sulung. Silahkan, saya bantu bawakan kopernya!" ujar satpam itu.
Airin mengangguk, setidaknya ayahnya mengenalkan dirinya sebagai nona sulung di rumah ini.
"Bibi Ratih sering cerita tentang nona..."
Langkah Airin yang tadinya cepat, melambat. Dia berpikir, ayahnya yang menceritakan tentang dirinya pada satpam rumahnya itu. Ternyata malah bibi Ratih. Salah satu pelayan yang sudah bertahun-tahun bekerja di rumah ini. Harapannya pada ayahnya benar-benar terlalu tinggi.
"Nona sulung sekolah di Jerman, apa Jerman itu sangat bagus nona?" tanya satpam itu.
"Bagus" jawab Airin pelan seadanya.
Hingga satpam itu mengajak Airin lewat pintu samping, tanpa harus terlihat oleh orang-orang yang sedang berpesta di pekarangan utama rumah ayah dan ibunya itu.
Airin tidak bertanya pada satpam itu, mungkin dia sudah di instruksikan melakukan itu. Sayangnya, satpam itu malah berhenti di salah satu paviliun samping rumah mewah itu.
"Ini..." Airin menjeda ucapannya ketika satpam itu membuka pintu.
"Bibi Ratih sedang sibuk melayani para tamu nona. Kata bibi Ratih, kamar lama nona sulung di rumah utama itu, sudah dibuat ruangan lukis nyonya muda kedua. Bibi Ratih yang minta pada nyonya besar untuk bisa merapikan paviliun ini. Karena kata bibi, nyonya meminta bibi Ratih untuk merapikan gudang jika nona sulung pu...."
Satpam itu menjeda ucapannya. Dia juga menghentikan gerakan tangannya yang membuka lebar pintu paviliun yang berderit itu. Satpam itu saja merasa, kalau apa yang dilakukan oleh nyonya besarnya itu keterlaluan. Bagaimana bisa membiarkan nona sulung rumah ini tidur di kamar yang tadinya bekas gudang.
Satpam itu merasa tidak enak pada Airin. Dia berbalik dengan gerakan yang sangat lambat.
"Maafkan aku nona"
Airin tersenyum pada satpam itu. Dia sudah belajar banyak hal setelah dia tinggal sendirian di luar negeri. Dimana dia bahkan pernah hanya makan satu kali dalam satu hari, selama satu bulan karena memang hanya itu saja jatah dari asrama. Dia bisa bertahan. Hal seperti ini, dibandingkan dengan bagaimana dia bertahan hidup sendirian di Jerman. Ini bukan masalah sama sekali.
"Tidak apa-apa. Kamu kembalilah bekerja, aku harus bersiap. Tidak mungkin di pesta ulangtahun pernikahan ayahku, aku tidak hadir!" kata Airin dengan nada datar sekali.
Tidak ada intonasi yang menunjukkan kalau dia kesal atau marah karena masalah kamarnya yang harus terpisah dari rumah utama.
"Baik nona sulung, jika butuh apapun. Telpon saja ke pos. Kami ada disana 24 jam, bergantian!"
Airin mengangguk. Setelah satpam itu pergi, dia masuk ke ruangan yang memang hanya ada satu kamar mandi, satu dapur kecil, dan satu ruangan tengah tanpa tempat tidur itu. Itu memang hanya sebuah paviliun, yang kadang digunakan untuk tamu jauh yang menginap. Atau bahkan untuk pelayan yang masih di training dulu oleh mendiang ibunya.
Satu buah matras besar, yang Airin yakini itu adalah sesuatu yang disiapkan oleh bibi Ratih menjadi tempat Airin duduk.
Wanita itu kembali menghela nafasnya dengan begitu panjang sampai bahunya terangkat naik.
"Sambutan yang sangat hangat Susan. Jika kamu pikir aku akan sedih dan menangis, maka kamu salah. Baiklah, meski caramu ini seperti tidak menerima kedatanganku kembali. Tapi aku tidak akan menyerah, aku akan tunjukkan pada semua orang! nona sulung keluarga Rahardian, masih ada!" ucapnya dengan rahang sedikit mengeras.
***
Bersambung...